"Eh, maaf."
Spontan, Clara berucap. Ia terbangun dan menyadari kalau hari sudah gelap. Ia masih di dalam mobil San. Dan ....
San juga tertidur rupanya. Clara menatap laki-laki di sampingnya dengan kagum. San tidak membangunkannya dan malah ikut tertidur.
Apakah San sudah bisa dikategorikan sebagai laki-laki sejati? Ah, kenapa sosok San, selalu saja bertingkah mirip tokoh-tokoh utama lelaki di dalam novel-novel picisan yang Clara baca.
Clara masih senyum-senyum sendiri, mengingat sebuah pemikiran konyol, bahwa bisa jadi, San memang merupakan tokoh fiksi di dalam sebuah novel romantis yang loncat dari buku. Menjadi sosok yang bernyawa dan ditakdirkan untuk Clara saja. Konyol dan aneh. Gadis itu menepuk keningnya sendiri.
Hujan juga sudah reda sekali. Hanya tersisa genangan di jalan dan di daun-daun. Clara diam sebentar. Sudah pukul tujuh malam, ketika ia melihat jam digital di ponselnya. Ia bingung bagaimana cara yang paling lembut untuk membangunkan San. Jadilah ia hanya menatap wajah San lama-lama. Lagi dan lagi. Clara merasa itu adalah kesempatan yang langka.
Hanya beberapa menit saja hal itu berlangsung. Sebab muncul sebuah telepon membangunkan San. Clara terkejut ketika San memergoki dirinya sedang menatap dengan tatapan yang begitu lekat.
"Kenapa?" tanya San sambil tersenyum. Clara langsung mengarahkan pandangannya ke arah lain. Ia tertangkap basah saat itu.
"Itu telponnya diangkat!" teriak Clara, berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.
San mengecek siapa yang menelepon. Rupanya itu adalah orang yang sama, yang sebelumnya menelepon. San dengan cepat mematikan panggilan tersebut.
"Kenapa?" tanya Clara. Sedikit curiga.
"Apanya?" San balik bertanya, seolah itu bukan hal yang patut ditanyakan.
"Kenapa tidak diangkat?"
"Bukan telepon penting," jawab San dengan penuh ketegasan.
Clara mengangguk-angguk. Ia seharusnya sudah keluar dari mobil dan masuk ke rumahnya. Tapi, malah betah duduk bersama San. Seolah-olah, waktu yang Clara habiskan bersama San hari itu, masih belum cukup.
"Masih betah di sini?" tanya San, seolah menggoda gadis itu.
"Ah, iya. Aku akan masuk ke dalam rumah."
"Aku bercanda. Kalau mau tetap di sini untuk beberapa saat, boleh saja."
Clara menggeleng. "Tidak perlu. Aku harus ke rumah sekarang. Ini sudah malam."
San mengangguk. "Istirahatlah."
"Iya."
"Aku akan menelepon sebelum kamu tidur."
"Oke."
Pertemuan mereka hari itu berakhir. Sebelum San pergi, ia menunggu Clara benar-benar masuk dan menutup pintu rumahnya. Setelah itu, barulah ia berangkat untuk pulang.
Di perjalanan pulang, San menelepon balik seseorang yang tadi meneleponnya.
"Halo." Nada bicaranya agak kasar.
"Kamu dari mana saja? Ini penting. Kamu bahkan tidak hadir di pertemuan utama. Cepat datang."
Seseorang yang diajak bicara oleh San pun, tak kalah kasarnya.
"Oke. Aku akan segera ke sana."
San tidak pulang ke rumahnya malam itu. Ia ke tempat lain.
***
Clara jadi tidak bisa tidur. Sudah pukul sembilan, dua jam dari terakhir kali ia berpisah dengan San tadi, tapi rasanya ia ingin kembali mendengar suara laki-laki itu. Ingin melihat wajahnya, pokoknya ingin selalu di dekat San terus. Clara jadi sebal kepada dirinya sendiri. Ia tak ingin berlebihan dalam mencintai seseorang. Tidak lagi.
Clara melihat ponselnya dan teringat satu nama. Naren. Ah, laki-laki itu. Entah ia senang, entah ia sedih, entah ia sedang hampa, nama itu selalu saja terlintas. Bahkan Clara tak bisa berbohong. Ketika bersama San, seringkali Clara secara tidak sadar mengingat Naren.
Clara mencoba mencari cara agar terlelap. Memang begitu. Kalau ia tidur di jam-jam awal, lalu terbangun, maka akan sulit bagi Clara untuk kembali tertidur.
Clara berinisiatif. Kalau biasanya San yang menelepon Clara sebelum tidur, malam itu Clara mencoba untuk menelepon laki-laki itu lebih dulu.
Clara menunggu lama agar panggilannya diangkat. Namun, San tak mengangkat teleponnya juga. Sekali, dua kali, tiga kali, Clara menelepon, tapi tetap tak ada respon dari San.
Apa San lupa? Bukankah tadi ia berkata akan menelepon San sebelum tidur?
Clara tak mau ambil pusing. Mungkin, San sedang sibuk, pikir gadis itu.
Gadis itu kemudian memejamkan mata. Mencoba tidur, tapi tetap tak bisa. Ah, benar-benar. Ia menyesal karena sudah tidur lebih awal tadi. Tidur sore memang bukan ide yang bagus. Ia seharusnya menahan kantuknya saja tadi.
Selang beberapa menit, San menelepon balik. Clara dengan sigap langsung mengangkatnya.
"Halo," ucap Clara bersemangat.
"Belum tidur?" tanya San.
"Belum. Aku kesulitan untuk tidur," ucap Clara dengan nada mengeluh.
"Oh ya ampun. Karena tidur lebih awal? Sepertinya, aku juga sama. Aku kesulitan tidur, karena aku ikut tidur bersamamu tadi. Ya, kan?"
"Heemh. Emm, kenapa baru bisa menelepon? Apa kamu sedang sibuk? Kalau iya, kita tutup saja teleponnya."
"Sepertinya, kamu bisa membaca pikiranku. Ya, aku memang agak sibuk. Tapi sudah selesai tadi."
"Emm. Oke. Kalau masih sibuk, tak apa. Kita mengobrol lain kali."
"Tidak. Aku sudah selesai. Apa ada yang ingin kamu sampaikan sebelum tidur?"
"Emmmh, tidak ada. Hanya ingin dengar suaramu."
Ada tawa kecil dari San. Itu membuat Clara malu, tapi ia memang ingin mengatakan itu.
"Oke. Jangan berpikir berlebihan, ya. Soal apa yang mungkin terjadi di kantormu."
"Heemh. Oke. Aku sudah tidak memikirkan itu, kok."
"Bagus. Kita bicarakan saja soal kapan pertemuan dengan ibu dan adikmu. Bagaimana?"
Itu lagi. Clara garuk-garuk kepala sendiri. Bingung.
"Besok saja, bagaimana? Besok pagi, sebelum berangkat kerja, kita ke rumah ibu dan adikmu dulu."
Besok? Besok? Kepala Clara mendadak ramai dengan kemungkinan demi kemungkinan buruk.
"Lebih cepat lebih baik, Clif. Ketika kita akan melakukan sesuatu yang baik, jangan ditunda-tunda."
Ya, benar. Jangan ditunda-tunda, tapi Clara tidak siap.
"Jangan katakan kamu belum siap, Clif. Kamu tidak akan pernah siap. Kamu terlalu memikirkan hal buruk yang bahkan terjadi pun, belum tentu. Berhenti berpikir terlalu jauh. Singkirkan semua hal yang menghalangimu untuk mendapatkan hal-hal baik."
"Clif?" tanya San lagi, karena Clara tak kunjung menanggapi.
"Ya, aku akan bilang kepada Ibu kalau aku akan datang besok pagi ke rumahnya."
"Nah, benar. Bagus. Sekarang, istirahatlah. Tidurlah, walaupun sulit bagimu memejamkan mata."
"Heemh."
"Selamat malam."
"Ya."
Telepon ditutup dan setelahnya, Clara menatap lama-lama layar ponselnya sendiri. Kenapa ini jadi menjengkelkan? Padahal, semua yang San katakan itu memang benar dan seharusnya pun Clara setuju dengan hal itu.
Gadis itu beranjak. Mengambil segelas air putih dan duduk di meja makan. Menatap gelas kaca di hadapannya dengan tatapan paling kosong. Pikirannya melayang-layang, entah ke mana. Selalu saja demikian.
Clara berpikir kerasa tentang bagaimana harusnya ia menyapa pertama kali setelah sekian lama tidak bertatap muka dengan ibu dan adiknya, tentang bagaimana seharusnya kata-kata yang tepat yang ia ucapkan di depan mereka berdua dan tentang bagaimana baiknya ia mengenalkan San kepada mereka.
Sampai beberapa jam berlalu, hingga kantuk kembali menghampiri Clara, gadis itu masih menatap gelas kacanya. Airnya masih penuh, belum diminum sedikit pun.
Kalau saja ia tidak ingin bahwa besok harus berangkat ke kantor, mungkin kegiatan anehnya itu akan berlangsung sampai pagi. Tapi, ia ingat bahwa besok ia harus bangun pagi-pagi sekali.
Jadilah, Clara bangkit dan menjatuhkan dirinya di atas kasur. Memejamkan mata dan menyambut sisa kantuk yang ada.
Selamat malam.