Memperbaiki

1098 Words
Ketika Clara terbangun dan menyadari bahwa hari sudah berganti, gadis itu betul-betul tak ingin beranjak dari tempat tidurnya sama sekali. Kenapa sudah pagi lagi? Pertanyaan konyol itu terlintas begitu saja di kepalanya. Suara telepon membuatnya ingin berteriak saja. Clara sudah paham betul. Itu pasti dari San. Siapa lagi memang? "Halooo." Tanpa melihat siapa yang meneleponnya, Clara mengangkat telepon itu dengan malas. "Bagus. Sudah bangun. Mandi dan siap-siap, ya." "Iyaa." Percuma jika memulai perdebatan. Clara ingin sekali bilang kalau ia tidak enak badan, kalau ia tidak bisa menghadapi ibu dan adiknya hari ini. Intinya, ingin sekali gadis itu mencari berbagai alasan demi membatalkan rencana yang San katakan semalam. Ia benar-benar merasa tidak siap. Ingin menghilang saja rasanya. Dengan segenap keterpaksaan, Clara bangkit menuju kamar mandi. Ia bahkan memukul-mukul air di bak kamar mandi, sesekali menendang-nendang pintu kamar mandi juga, karena kesal. Bukan, bukan ia benci kepada ibu dan adiknya itu. Tidak sama sekali. Ia hanya takut dengan apa yang mungkin terjadi. Ia takut berhadapan dengan mereka. Apakah ia siap? Bagaimana kalau ibunya malah mencaci maki Clara dan San? Lalu San kecewa? Duh. Pikiran buruk itu menghantui. Sangat. Membuat Clara tak bisa melakukan segala sesuatu dengan tenang, seperti biasanya. Clara membasuh wajahnya. Ia mulai meniatkan diri dan bersiap. Membuat skenario-skenario kecil akan reaksi yang ibu dan adiknya tunjukkan nanti, serta bagaimana sebaiknya ia harus menanggapi. *** "Oke, semangat!" San mengacungkan kepalan tangan ke udara. Berharap wajah Clara yang cemberut bisa berubah jadi ceria. "Hei!" "Iyaa. Aku semangat!" Clara tersenyum, sambil menirukan apa yang San lakukan. "Bagus. Memang seharusnya begitu." Clara masuk ke dalam mobil dan San mulai menjalankan mobil. Sebuah lagu sengaja San putar, demi membuat suasana jadi agak santai. Clara mulai menyenandungkan lagu itu. Seperti biasa. Beautiful in White. "Lagu favorit," ucap Clara. Pandangannya ke luar jendela. Matahari muncul malu-malu. Pagi yang cerah. Clara berharap harinya juga akan cerah. Jangan sampai sebaliknya. "Ya. Aku suka lagunya." "Aku juga." San melirik ke arah Clara. "Kamu cemas?" Clara mengangguk. "Heemh. Tentu saja. Bahkan sejak semalaman, aku memikirkan kalimat apa yang harus kukatakan nanti di depan mereka. Mereka sudah jarang datang menemuiku. Aku juga jadi enggan berkunjung. Terakhir kali, Karin tak mengangkat teleponku. Dan bahkan ia tak mengirim pesan atau menelepon balik setelahnya. Aku berpikir keras, mereka mungkin tidak ingin bertemu lagi denganku." Ada getar yang tak biasa dari nada bicara Clara. San jadi mengerti, kenapa Clara sulit memutuskan tentang pertemuan yang akan mereka lakukan. Karena sepertinya, itu memang tidaklah mudah. Bahkan mungkin, bagi ibu dan adiknya pun, itu tak mudah. "Jangan berpikir berlebihan, Clif. Aku yakin, kamu juga memahami ini. Kamu menyadari kalau kamu selalu berpikir berlebihan, tapi tetap belum bisa menghilangkan kebiasaan buruk itu. Kupikir, itu masalahmu sejak lama. Betul?" "Iya. Aku tidak bisa menghilangkannya." Clara mengangguk. Benar. Itu masalahnya. Gadis itu selalu memikirkan segala sesuatu dengan berlebihan. Apa pun itu. Bahkan untuk hal-hal yang kecil dan belum terjadi. "Bukan tidak bisa, tapi belum bisa. Oke, mulai sekarang, dengar. Berhenti seperti itu. Jangan memikirkan masalah dengan berlebihan. Oke?" "Hei, kamu pikir aku tidak pernah mencoba seperti itu? Sudah sering aku berusaha. Aku banyak mengalihkan pikiranku kepada menulis atau membaca. Tapi itu tak mudah." San mengangguk. "Ya, aku mengerti. Terima kasih karena sudah berusaha. Maka, berusahalah terus. Aku yakin, suatu hari, kamu bisa berpikir dengan porsi yang pas. Mengendalikan semua perasaan-perasaanmu dengan lebih baik lagi. Seperti avatar. Kamu tahu? Dia bisa mengendalikan angin, api, air. Kendalikan semuanya. Angin, api, air, di dalam dirimu. Dengan benar." "Woahh." Clara bertepuk tangan. Seolah-olah, ia baru saja melihat sebuah pertunjukan besar. "Kenapa?" tanya San, salah tingkah dengan reaksi yang diberikan oleh Clara. "Kamu selalu membuatku kagum. Ah, bisa saja, sehariii saja. Kamu tidak mengatakan kata-kata mutiara atau kalimat bijak seperti tadi. Aku selalu merasa jadi orang aneh di depanmu. Aku mengaku penulis, tapi bahkan apa yang aku tulis, kadang-kadang tak sesuai dengan apa yang kulakukan." San tersenyum. "Kamu tidak sendiri, Clif. Aku juga begitu. Kamu hanya tidak tahu saja." Kamu, hanya tidak tahu saja. San merasa ia baru saja melakukan kesalahan karena mengatakan kalimat tersebut. Ia tiba-tiba jadi merasa dirinya 'sok' suci. "Apa yang tidak kutahu? Kita sudah cukup lama berkenalan." San terdiam karena kata-kata Clara. Ia tidak tahu harus menanggapi apa. "Jadi, di depan itu, rumah ibu dan adikmu?" San melihat-lihat ke luar jendela, memastikan. "Iya, itu. Yang cat hijau pastel." San akhirnya menepikan mobil di depan rumah tersebut. Rumahnya sederhana, tapi tetap lebih besar dari rumah yang Clara tinggali. "Aku sudah memberitahu Karin kalau aku mau ke sini denganmu. Dia tidak membalas pesanku." San menatap Clara. Mereka sudah di depan rumah ibu Clara. "Tidak apa-apa. Mari ketuk pintunya. Tegakkan kepalamu dan berikan mereka senyuman paling tulus. Senyuman adalah senjata utama meluluhkan hati yang memiliki rasa benci." Clara mengangguk, tersenyum. Kembali, hatinya dimantapkan oleh rangkaian kata dari mulut seorang San. "Oke. Aku siap!" Gadis itu bersemangat. San juga memberikan senyuman paling manis kepada Clara. Pintu diketuk. Tak butuh waktu lama, seseorang membukanya. Itu Karin. Ada jeda sesaat di antara mereka bertiga. "Halo, Karin, ya?" tanya San dengan sangat ramah. Karin mengangguk. "Silakan masuk." Ia sepertinya sangat canggung. Clara apalagi. Ia bahkan belum mengatakan apa pun. Sama sekali. "Bu, ada Kak Clara dan temannya!" Karin berteriak. Saat namanya disebut, Clara merasakan perasaan yang tak asing. "Ah, halo," ucap ibunya Clara. Perempuan itu tergopoh-gopoh datang dari arah dapur. Melihat Clara, perempuan tersebut langsung menunduk. Giliran Karin yang ke dapur. Untuk mengambil minuman dan camilan. Clara mempersilakan San untuk duduk, sebelum ibunya yang bicara. "Maaf, rumah kami, memang sederhana," ucap ibunya tersenyum ke arah San. Clara mengangguk-angguk. "Tidak apa-apa, Bu." Clara benar-benar sangat bingung harus bagaimana. "Kabarmu baik, Nak?" Clara sedikit terkejut. Gadis itu pun tersenyum sebelum menjawab. "Baik, Bu. Ibu, dan Karin, bagaimana?" Ibunya menatap Clara dengan lembut. Mata perempuan itu seolah menyiratkan penyesalan. "Kami baik-baik saja di sini. Sering-seringlah ke sini," ucap ibunya lagi. Mendengar itu, hati Clara terasa ditusuk jarum. Sakit. Perih. "Kami akan sering kemari setelah hari ini. Semoga Ibu mau menerima saya," ucap San dengan percaya diri. "Ah, tentu saja. Ibu pasti akan menerima kalian dengan baik." Tak lama, Karin datang dengan minuman dan camilan. "Silakan." Clara sepertinya sudah ingin menangis. Ia mencoba menahannya, tapi itu tak mudah. Gadis itu cepar-cepat berkata. "Tapi, Bu. Clara harus ke kantor." "Ibu masak nasi goreng untuk sarapan. Tunggu dulu. Ibu akan hidangkan untuk kalian." Clara menggeleng. Namun, sebuah tangan menyentuh lengan Clara, menggenggam jemarinya erat. "Kita sarapan dulu." San berucap tegas. Clara menggeleng lagi. "Aku akan terlambat." "Tidak akan. Percaya padaku. Ini tak akan lama." San mengusap air mata yang perlahan turun dari sudut mata Clara. Mengusapnya dengan lembut, sambil tersenyum. Senyum yang begitu menenangkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD