Di sela-sela makan siang, grup BBA di WA kembali ramai. Salah satu anggotanya, yaitu Lora, baru saja launching novel perdananya. Sontak saja, semua anggota BBA mengucapkan selamat. Termasuk Clara.
[Selamat, Lora!] -Clif/Clara
[Terima kasih. Aku senang sekali. Akhirnya novel pertamaku terbit. Terima kasih ya, semuanya. Ini juga karena support dari kalian, aku bisa sampai seperti ini.] -Lora
[Semoga novelmu jadi best seller, Sayang.] -Mami Renata
[Iya, Mami. Terima kasih banyak.]- Lora
[Oke teman-teman, sekarang kita tahu, kan. Misi yang harus kita tuntaskan hari ini?!] - Anrez.
Semua anggota kompak menjawab.
[Promosikan novel Lora!]
Clara pun segera membuat status di beberapa akun media sosialnya, untuk mempromosikan novel Lora.
"Aduh, sepertinya ada yang sedang sibuk," ucap Tora, melihat Clara anteng dengan ponselnya.
"Eh, hehe. Iya. Temanku baru saja launching novel."
"Wah, benarkah?"
"Iya."
Tora sepertinya hanya pura-pura tertarik saja. Sejak tadi, bahkan ketika Clara sibuk dengan ponselnya, laki-laki itu tak bisa menghentikan pandangannya dari wajah Clara.
"Oh iya. Kenapa yang lain tidak ikut makan siang dengan kita?" tanya Clara heran.
"Ah, iya. Mereka sepertinya sibuk dan memilih makan siang di ruangan masing-masing."
"Oh, begitu, ya. Enak juga, ya. Kalau makan di ruangan masing-masing."
"Oh, kamu tidak suka makan denganku?"
"Ah, bukan-bukan! Bukan begitu, hehe."
Clara merasa ada yang sedikit aneh dengan Tora. Tatapan Tora lain.
"Emh, Tora, aku sudah kenyang. Sepertinya, aku harus kembali ke ruangan. Boleh, ya. Aku duluan."
"Hanya minum jus saja? Kamu tidak mau pesan yang lain?" tanya Tora, seperti menyesalkan keputusan gadis itu untuk beranjak.
"Iya. Aku sudah kenyang. Maaf, ya."
"Ya, sudah. Tidak apa-apa. Santai saja, hehe."
Clara pun pergi. Ah, lega. Akhirnya ia bisa lepas dari situasi aneh yang ia rasakan barusan. Mungkin, apa yang San katakan ada benarnya juga. Ia harus berhati-hati. Apalagi, Tora sepertinya termasuk salah satu orang yang mudah dekat dengan orang baru. Mudah dekat dalam artian lain.
Gadis itu kembali masuk ke dalam ruangan dan menyadari bahwa ruangannya itu masih kosong. Kosong di sana maksudnya adalah, tanpa ada hiasan dan semacamnya. Gadis itu berpikir, mungkin ia harus menambahkan beberapa ornamen di ruangan tersebut.
Clara berjalan pelan, menyusuri ruangan. Ia menatap sekeliling dan seketika terdiam ketika melihat salah satu sudut di ruangannya. Di atas sana, ada CCTV.
Clara terdiam lama. Gadis itu terkejut karena baru menyadarinya. Ia kembali ke luar ruangan dan hendak menemui Tora, tapi tak lama, langkahnya melambat dan ketika ia melihat sekeliling gedung kantor, ia mendapati hal yang sama. Beberapa CCTV bertengger di beberapa sudut.
Tunggu, apa tidak terlalu berlebihan?
Langkah Clara melambat dan ketika tiba di depan ruangan Tora, gadis itu mengetuk perlahan pintunya.
Tak lama, Tora keluar.
"Clif?" Tora kaget.
"Apa aku boleh masuk?" tanya Clara, kemudian menerobos masuk dan melihat sekeliling ruangan Tora.
"Ada apa?" tanyanya heran.
"Kenapa, di ruanganmu tidak ada CCTV?" Ketika Clara masuk, ia langsung melihat ke sudut yang sama seperti sudut di ruangannya.
Clara terpaku. Ia benar-benar terkejut karena di ruangan Tora, tidak ada satu pun CCTV.
"Ah, iya. Tenang-tenang. Begini. Biar kujelaskan. Duduk dulu."
Clara pun duduk. Ruangan Tora berbeda. Ada banyak gambar dengan nuansa yang sedikit gelap. Tapi sekali lagi, tak ada CCTV.
"Begini ...."
Melihat raut wajah Tora yang biasa-biasa saja, maka Clara jadi tak terlalu panik.
"Kamu kan masih dalam masa percobaan, Clif."
Gadis itu masih heran. "Ya, aku tahu. Aku masih dalam masa percobaan. Tapi ini aneh. Aku benar-benar baru menyadari kalau di ruanganku terdapat benda itu. Dan di sini, tidak?"
"Ya, tidak. Tapi tiga bulan pertama aku bekerja di sini, memang seperti itu."
Clara terdiam. Ia mencoba mengingat-ingat kontrak yang ia tandatangani sebelumnya. Tak ada sedikit pun disinggung soal CCTV. Ia benar-benar ingat setiap poin di kontrak tersebut.
"Tenang saja, itu bukan apa-apa."
Tapi kalimat Tora tak juga membuat Clara tenang.
"Bukan apa-apa bagaimana? Aku merasa aneh, Tora. Kamera CCTV? Aku tidak tahu kalau pekerjaan ini harus sebegitu terawasi."
"Ya, memang. Awalnya aku juga kaget. Tapi setelah dipikir-pikir, tentu saja Kristo Wijaya memang wajar melakukan hal semacam itu."
"Wajar? Kita hanya menulis. Dan tulisan kita pun ditentukan. Hanya itu."
"Dia politisi."
"Ya, aku tahu."
"Ingat kemarin, saat kamu tanya di depanku dan teman-teman yang lain soal kenapa Kristo Wijaya harus repot-repot membuat staf khusus demi menjaga citranya?"
Clara mengangguk. Ia ingat kemarin tak ada yang menjawab pertanyaannya sama sekali. Tora dan teman-teman barunya seperti tak tahu jawaban apa yang tepat untuk pertanyaan Clara.
"Ya, kami tidak tahu apa jawaban yang tepat untuk pertanyaanmu. Jawaban yang bis aku berikan hanya satu. Dia itu politisi. Hanya itu. Pikir sendiri, Clif. Aku yakin, kamu pasti akan menemukan jawabannya."
"Oke, tapi ...."
"Tenang saja. Setelah tiga bulan dan masa percobaanmu berakhir, dan kalau kamu mungkin mau tetap lanjut bekerja, kamu akan tanda tangan lagi, kamera itu akan segera disingkirkan."
"Begitu, ya. Bisa-bisanya aku baru menyadarinya hari ini. Padahal, saat pertama kali aku masuk, aku memperhatikan semuanya. Sungguh."
"Sudah. Mungkin, itu dipasang pagi tadi, Clif."
Tora mendekat dan menepuk pundak Clara. Gadis itu tentu saja terkejut. Ia tak terbiasa dengan sentuhan yang tiba-tiba. Apalagi, dari seseorang yang baru saja dikenalnya.
"Oke. Terima kasih untuk penjesannya. Aku pergi dulu, ya. Aku harus kembali mengerjakan tugasku," ucap Clara. Ia berusaha untuk menghindari Tora. Gadis itu sedang tak bisa berpikir jernih. Ia masih bertanya-tanya dengan kenyataan yang menurutnya aneh. Kenapa harus ada CCTV?"
Karena Kristo Wijaya adalah seorang politisi.
Jawaban macam apa itu?
Kenapa? Apa karena pihak Kristo Wijaya takut ia berbuat macam-macam? Apa itu berarti ia tak diberi kepercayaan? Gadis itu tak mengerti. Ia hanya seorang penulis. Penulis biasa. Kenapa ia harus diawasi seolah-olah ia seorang mata-mata atau penyusup?
Clara kembali ke ruangannya dengan perasaan canggung. Ia tak berani melihat ke sudut di mana kamera itu terpasang.
Ia hanya fokus ke tugas-tugas yang harus ia kerjakan. Kembali menulis berbagai artikel dari video atau tayangan seorang Kristo Wijaya tengah melakukan kunjungan atau donasi.
Clara terbersit akan sesuatu. Apakah ada hal besar yang tersembunyi dari seorang Kristo Wijaya?
Ah, tidak. Clara menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ia menyangkal prasangkanya sendiri. Ya, bisa saja, itu hanya prasangkanya yang tak berdasar saja. Ia hanya terlalu banyak berpikir. Seharusnya, ia melakukan apa saja yang memang harus ia lakukan.
Clara kembali mengetik, mengetik, dan mengetik.
Namun, ia akan kembali mendiskusikan itu dengan San. Ya, ia pikir, hanya San, seseorang yang bisa ia percaya untuk mendiskusikan hal semacam itu.
Kalau di BBA, ia tidak bisa. Ada banyak anggota yang sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Clara tak ingin membebani mereka semua.