Fans

1033 Words
"Clara dalam keadaan koma. Kata dokter, penyebabnya tentu saja karena pukulan dari benda tajam, aku sudah lapor polisi. Tapi kupikir, itu tak akan berguna." Naren mengakhiri kalimatnya dengan tawa yang palsu. Menyakitkan. Laki-laki itu merasa tengah berada di bawah tekanan. Ia berusaha keras menghadapi semua dengan tenang, tapi sesungguhnya ia ingin sekali berteriak kencang, berlari dan menghabisi seorang manusia picik yang diduga sebagai dalang dari celakanya Clara. El dan anggota klub BBA yang melihat itu tak bisa berbuat banyak. Mereka bimbang. "Aku tahu, aku paham keadaan kalian seperti apa. Tentu saja karir kalian sedang sangat bagus. Dan kalau kalian ikut membantu, itu berarti kalian bisa saja bernasib sama seperti Clara." "Tidak, Naren. Aku tidak ragu untuk membantu. Aku mungkin akan mendapat masalah, tapi aku akan mencoba. Aku akan membantu kamu dan Clara diam-diam. Kalian, kalian tidak apa-apa jika tidak mau. Aku yakin, kalian memikirkan keluarga kalian. Teror itu bisa saja akan menimpa kita dan orang-orang terdekat kita." Anrez, Mami Renata, Sam, dan Lora hanya diam. Satu persatu mereka pun pergi angkat kaki. Mereka dalam kebimbangan. Sedangkan El dan Naren masih di depan ruang perawatan Clara. "Naren, kira-kira saat ini, Clara sedang apa? Apa dia sedang bermimpi?" Naren menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan dari El. "Iya, mungkin Clara sedang bermimpi." "Semoga mimpinya indah. Dia akan bangun dan bercerita soal mimpinya itu nanti." "Iya, semoga. Semoga Clara memang sedang bermimpi." *** Setelah telepon itu, Clara tak bisa berhenti memikirkan apa kiranya yang akan ia kerjakan nanti. Pak Kristo bukanlah orang sembarangan. Ia salah satu anggota dewan yang sangat dihormati dan bahkan tak memiliki rumor buruk sedikit pun. Gadis itu bertanya-tanya. Ia yakin, akan ada proyek besar yang tengah menantinya. Setelah pulang dari acara makan-makan, Clara tak bisa tidur. Ia menatap langit-langit kamarnya lama sekali sambil mengenang perjalanan karir menulisnya. Gadis itu merasa sedikit tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Novelnya benar-benar booming dan namanya semakin dikenal. Clara menghirup napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Ia mengambil ponsel dan mencari satu nama. Naren. Seseorang yang sejak dulu selalu mendukungnya, sahabatnya selama bertahun-tahun. Meskipun belum pernah bertemu, tapi Clara yakin. Naren adalah orang yang cukup berperan penting dalam karirnya. Seseorang yang selalu mau mendengar semua keluh dan kesah Clara. Sedih ketika gadis itu sedih, bahagia ketika gadis itu bahagia. [Hai.] Clara mengirimkan kalimat sapaan kepada Naren. Seperti biasa, gadis itu selalu mengawali percakapan dengan basa-basi yang basi. Setelah itu, Clara memejamkan matanya. Naren pasti tidak akan langsung membalas, pikir Clara. Lelaki itu masih sibuk mengejar studinya. Namun, pikiran Clara salah. Setelah beberapa detik, pesan Clara mendapat balasan. [Halo.] Seperti biasa, Naren minim kata. [Novelku laku keras!!! Aku benar-benar masih tidak menyangka kalau hal ini bisa terjadi. Aku sudah berjuang lama dan ya, kamu tahu, Naren. Betapa aku memang sangat ingin jadi penulis terkenal dan sukses.] Clara antusias. Bahkan sebelum Naren membalas pesannya itu, Clara kembali mengetik pesan lagi. [Bagaimana kuliahmu? Lancar? Sebentar lagi wisuda, 'kan?] Naren kembali membalas. [Syukurlah. Aku ikut berbahagia. Iya, ini saat-saat yang menegangkan. Doakan aku.] [Tentu saja, aku akan mendoakanmu. Bagaimana buku antologiku yang kamu beli dulu? Apa sudah selesai dibaca?] [Belum, aku baru selesai baca cerpen punyamu saja. Yang lain belum k****a. Haha.] Clara terdiam sebentar. Ia tak ingin percakapannya dengan Naren berakhir terlalu cepat dan tak meninggalkan kesan apa-apa. Lalu, Clara ingat tentang puisi yang ditulisnya untuk Naren di buku antologinya yang pernah dibeli oleh laki-laki itu. [Ya ampun. Bagaimana puisinya? Aku buat puisi itu, agar kamu bersemangat.] [Terima kasih. Puisinya bagus sekali.] Clara tersipu. Ia membenamkan kepalanya di bawah bantal. Ah, entah kenapa, tapi perasaan Clara campur aduk. Gadis itu sering bertanya-tanya. Apakah Naren bisa dianggap lebih dari seorang sahabat? Atau selamanya mereka hanya akan bersahabat? Ah, siapa yang tahu, bukan? Tidak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Naren yang dingin, mungkin bisa jadi manusia yang hangat nantinya. Clara membuka galeri ponselnya. Ia mencari foto yang menampilkan halaman pertama antologi yang dibeli oleh Naren. Gadis itu kembali membaca baris demi baris puisi yang pernah ia tulis untuk Naren. [Puisi Clara untuk Naren] Sebentar Lagi Sampai Engkau masih terjaga Meskipun mata meminta pejamnya Kertas-kertas masih saja menuntut untuk dibaca Tugas-tugas masih berkeliaran di kepala Kadangkala ketika hening Kau bergeming Tak acuh pada semua yang membuat pening Merasa ingin berhenti dan cari jalan lain Namun, di keheningan yang ke sekian Kau peduli Kau merasa tak boleh berhenti Sedikit lagi Sebentar lagi Sampai Kau pasti akan sampai Hanya jika kau terus bergerak Bukan diam di tempat Tasik, 2019 *** Percakapan Naren dan Clara berakhir seperti biasa. Gadis itu memang sudah terbiasa dengan hal itu. Tidak ada ucapan selamat pagi, siang, atau malam, atau bahkan pertanyaan sudah makan atau belum. Clara tersenyum. Gadis itu merasa sudah berpikir dan berharap lebih tentang Naren. Naren tidak mungkin bertanya hal-hal semacam itu. Agak mustahil memang. Sambil masih berbaring, Clara membuka DM di Instagramnya. Pesan-pesan biasa dan ada beberapa yang memintanya untuk melakukan promosi atau iklan. Gadis itu semakin percaya diri. Scroll ke bawah, ada satu pesan yang cukup menarik perhatian. Ada sekitar empat pesan dari akun yang sama. Dan beberapa pesan itu sudah lama sekali. [Halo, Clif. Aku masih seseorang yang mengidolakanmu jauh sebelum Immortal Souls meledak. Aku juga membeli antologi pertamamu. Kuharap kamu membaca pesan ini.] [Halo, Clif. Aku suka cerpenmu yang dimuat di koran Minggu ini. Membuatku merasa lebih bersemangat. Terima kasih.] [Hai, Clif. Aku yakin kamu akan jadi penulis sukses suatu hari nanti.] [Hai, Clif. Aku Arga. Senang dapat mengenalmu, membaca tulisan-tulisanmu. Semoga aku bisa bertemu denganmu suatu hari nanti.] Clara terdiam sesaat. Ia merasa bersalah karena baru membaca pesan itu. Gadis itu pun membalas pesan itu dengan sangat bersemangat. [Aku akan mengadakan seminar nanti. Datang, ya. Kita bisa minum kopi atau mengobrol setelahnya.] Ah, menyenangkan ternyata, pikir Clara. Ia memiliki seorang penggemar. Bahkan mungkin ada banyak penggemar lainnya nanti. Gadis itu memejamkan matanya sambil tersenyum. Sungguh kenyataan yang manis. Clara berharap kebahagiaan yang tengah ia cecap, bukan hanya kebahagiaan yang sementara. Note: *Pada baris ke tujuh puisi, aslinya (acuh) tapi aku sadar kalau acuh berarti peduli. Gak mungkin balik lagi ke masa lalu buat ubah puisinya. XD *Terima kasih untuk temenku yang memang beli buku ini dulu. Dan bener-bener baru baca cerpenku saja. :) :D Terima kasih!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD