Meeting yang dipinta oleh ajudan Pak Kristo akhirnya terjadi. Berkali-kali Clara mencoba menenangkan diri sebelum Pak Kristo benar-benar datang. Ya, gadis itu sengaja datang sekitar tiga puluh menit lebih awal, karena takut terlambat. Ia tak ingin kesan pertama yang dibuatnya adalah kesan yang buruk.
Meeting itu terjadi di sebuah resto yang cukup mewah. Tentu saja, itu karena permintaan Pak Kristo. Tadinya, Clara pikir ia akan diajak ke ruangan kerjanya Pak Kristo. Namun, Clara lebih bersyukur sebenarnya. Meeting di sebuah resto membuatnya tak terlalu tegang.
Gadis itu hanya memesan air putih. Ia bahkan sudah menghabiskan satu gelas dan akan memintanya lagi. Namun, sebelum itu, rencananya tak jadi terlaksana.
"Maaf, Nona Clif. Sudah lama menunggu? Padahal saya datang tepat waktu."
Clara berdiri. "Ah, tidak, Pak. Saya memang sengaja datang lebih awal. Saya takut terlambat."
"Oh, baik kalau begitu. Mau pesan apa?" tanya Pak Kristo sambil bergegas duduk di kursinya. Ada ajudannya juga.
"Saya sudah pesan tadi."
"Hanya air putih?"
Clara mengangguk. Pak Kristo tertawa.
"Jangan terlalu tegang, saya ini manusia biasa, kok. Sama seperti kamu."
Clara tersenyum. "Iya, Pak."
Manusia biasa? Ya, Clara tahu itu. Pak Kristo memang manusia biasa. Namun, aura orang kaya, orang berpengaruh, garis wajahnya yang tegas, membuat Clara merasa bahwa Pak Kristo bukanlah manusia sembarangan. Lelaki itu istimewa. Maka, pantaslah ia menduduki jabatan salah satu dewan yang selalu diagung-agungkan oleh semua orang.
"Mendiang Ayah saya pendukung setia Pak Kristo. Ibu saya juga."
Entah angin apa yang membuat Clara mengatakan kalimat itu. Hanya saja, memang benar, ayah dan ibunya Clara adalah pendukung setia Pak Kristo.
Lelaki itu terkekeh pelan. "Terima kasih banyak. Saya senang mendengarnya."
"Sama-sama, Pak."
Pak Kristo menyeruput kopi yang disuguhkan pelayan barusan. Clara masih merasa canggung.
"Clif, saya sudah baca novelmu. Bagus sekali. Saya sangat suka dan itu sesuai dengan apa yang selalu saya tekankan kepada orang-orang. Bahwa kebaikan akan menuntun kita kepada kebaikan lainnya. Immortal Souls membuka mata setiap orang untuk selalu dan tak pernah bosan dalam melakukan kebaikan."
"Saya menulisnya cukup lama, Pak. Saya senang, pada akhirnya hasilnya akan seperti ini. Saya masih tidak percaya sebenarnya."
"Hehe, baiklah. Bagaimana kalau sekarang saya akan langsung ke intinya saja. Saya ingin kamu jadi salah satu orang yang berkerja di bawah saya. Tugasmu hanya satu, menuliskan semua kegiatan saya atau apa pun yang saya lakukan, mungkin seminggu tiga kali. Ya, kalau perlu lebih sering lebih baik. Dalam rangka promosi dan menjaga citra saya sebagai tokoh publik."
"Wah, itu sangat sesuai. Saya akan sangat menyukainya."
Clara tentu saja langsung mengiakan. Karena Pak Kristo sendiri adalah orang yang bersih dan banyak disukai rakyat. Itu tidak akan jadi hal yang sulit bagi Clara.
"Aduh, saya tidak menyangka. Kalau kamu langsung menyetujuinya secepat ini. Kalau begitu, nanti, di pertemuan kedua, kita bisa bahas kontrak dan lain-lain. Kamu juga bisa pergi ke kantor khusus saya nantinya."
"Kantor khusus?"
"Iya, itu pun kalau kamu mau. Saya tidak akan memaksa. Kantor khusus saya yang isinya adalah orang-orang yang semuanya bekerja di media dan mengurus persoalan citra saya di mata publik."
"Ah, iya. Saya mengerti."
Citra di mata publik? Pak Kristo berkali-kali mengatakan hal itu. Clara merasa aneh sebenarnya. Citra bagaimana? Bukankah memang sejak dulu, citra Pak Kristo di mata publik sudah bagus-bagus saja, sudah aman-aman saja?
"Oke, segitu saja dulu, Clif. Saya kebetulan ada jadwal lain. Nanti, ajudan saya yang akan kembali menghubungi kamu untuk pertemuan kedua nanti."
Pak Kristo beranjak pergi. Clara berdiri dan melihat laki-laki itu sampai benar-benar hilang dari pandangan.
Clara kembali duduk. Ia menatap sekeliling resto mewah tersebut. Gadis itu merasakan ada keraguan di dalam hatinya. Namun, segera ia menepis keraguan itu. Mimpinya sudah dekat. Menjadi penulis yang dikontrak oleh orang ternama. Itu akan melebarkan sayapnya dan membuatnya hidup berkecukupan. Apa lagi yang ia butuhkan? Clara berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Bahwa memang segala sesuatunya akan selalu lancar-lancar saja. Clara hanya harus mengikuti alurnya saja.
Setelah beberapa menit hanya diam, Clara dikejutkan oleh sebuah panggilan telepon dari nomor tak dikenal.
"Halo."
"Halo, Clif?"
"Iya, dengan saya sendiri. Ini siapa?"
"Ini dengan San. Maaf meneleponmu tiba-tiba. Aku dapat nomor telepon ini dari Anrez."
"Oh, iya. Ada apa memang? Apa ada yang bisa kubantu?"
"Anrez kecelakaan."
"Hah?"
"Iya. Ponselnya rusak dan beruntung dia ingat nomormu."
"Ya ampun. Baiklah. Aku akan segera ke sana. Di mana kalian sekarang?"
"Di Rumah Sakit Kusuma."
"Oke."
Clara menghela napas panjang. Bisa-bisanya Anrez kecelakaan dan aduh, kenapa nomor Clara yang ia ingat? Sungguh aneh. Namun, buru-buru Clara menyingkirkan pikiran tersebut. Satu-satunya hal yang harus ia pikirkan adalah keselamatan Anrez.
Gadis itu terburu-buru memasuki rumah sakit. Setelah menanyakan beberapa hal kepada salah satu pelayan rumah sakit, Clara akhirnya naik ke lantai dua, tempa di mana Anrez mendapatkan perawatan. Saat tiba, ada San di depan pintu. Mungkin menunggu Clara agar gadis itu tidak terlalu lama mencari ruangan.
San, penulis surealis yang beberapa waktu lalu mengikuti Clara di i********:. Penampilan San yang kharismatik membuat gadis itu tersihir sejenak.
"Anrez baik-baik saja. Hanya tadi, dia sempat pingsan."
"Ah, oke."
"Mau masuk?"
Clara mengangguk. San membukakan pintu.
Jadilah, mereka satu ruangan. San, Anrez yang tengah berbaring, dan Clara.
"Apa yang terjadi?" tanya Clara saat melihat Anrez sudah tersadar.
"Aku kecelakaan. Beruntung ada San tadi. Terima kasih, ya," ucap Anrez. San hanya mengangguk.
"Tidak ada yang serius, kan?" tanya Clara. Anrez menggeleng.
"Oke. Aku akan hubungi kakakmu."
"Jangan."
"Kenapa?"
"Kalian saja yang menjagaku di sini. Aku tidak bisa menghubungi siapa pun. Lagi pula, mungkin saja sore ini aku bisa segera pulang. Tidak ada yang serius. Aku hanya perlu istirahat sebentar saja."
Clara terdiam. Ia mengerti ketakutan Anrez. Keluarga temannya itu sedang tidak baik-baik saja.
"Baik. Kita akan menjagamu di sini," ucap San. Clara menatap ke arah laki-laki itu.
"Hanya sebentar, kan?"
Clara mengangguk. "Baiklah."
Tak berapa lama, San mendapatkan panggilan telepon dan pamit keluar ruangan sebentar. Clara menatap Anrez tajam.
"Apa maksudnya? Aku tahu, kau menghapal banyak nomor telepon. Anak-anak BBA tahu kemampuanmu dalam mengingat sesuatu itu sangat super. Tapi, kenapa malah aku? Maksudku, maaf, aku tidak bermaksud bagaimana, hanya saja ...."
Anrez menahan tawa. "Tentu saja, aku langsung mengingatmu ketika aku tahu kalau yang menolongku adalah San."
"Ya ampun."
"Ini hal bagus, Clif. Apalagi kalau setelah ini kalian jadi dekat, benar-benar pasangan yang serasi, kan?"
"Diam."
Clara mendengkus kesal, sementara Anrez hanya senyum-senyum sendiri.