Orang dari Masa Lalu

1008 Words
Di rumah sakit. Naren terduduk pasrah. Ia masih teringat bagaimana kedua orang tua Clara menangis semalaman ketika melihat anaknya dalam kondisi tak berdaya. Dokter mengatakan kalau Clara mengalami cedera otak yang parah. Gadis itu koma dan masih belum bisa ditentukan kapan bisa kembali membuka mata. Sungguh Naren tak pernah berpikir kalau hal menyakitkan itu bisa terjadi lagi kepada Clara. Kasus Clara juga tak ditangani dengan baik. Polisi seakan menutup-nutupi kasus tersebut. Tentu, Naren sudah paham akan hal itu. Sekali lagi, dirinya merasa sudah dikalahkan oleh kekuatan yang sedari dulu memang berada di atas angin. Clara memang sudah tak punya apa-apa. Lalu, kenapa? Kenapa orang-orang itu terus mengusik kehidupan wanita yang sangat dicintainya itu? Apakah belum cukup, semua yang sudah diambilnya dari Clara? Naren bangkit. Laki-laki itu mengintip ke dalam ruang perawatan Clara dan menemukan ibu Clara masih di sana. Menunggu Clara bangun sambil menggenggam tangannya. Laki-laki itu mengambil napas panjang sebelum melangkah. Sudah beberapa hari, makannya tidak teratur. Jam tidurnya kacau, dan pikirannya dipenuhi keburukan. Naren sadar, ia perlu berhenti sejenak. Ia harus menguatkan diri dan mengurus diri dan tubuhnya dengan benar. Jangan sampai ia sakit dan nanti malah membuat repot orang lain. Naren bahkan mengabaikan panggilan telepon dari ibunya sendiri dan rekan kerjanya di kantor. Ia sudah menduga kalau pekerjaannya pasti akan mangkrak karena masalah Clara. Akan tetapi, percuma. Jika saja ia memaksakan diri untuk menjalani pekerjaannya, ia tak akan melakukan pekerjaannya itu dengan benar. Sebab di pikirannya saat ini hanya ada Clara dan Clara saja. "Karin, aku akan pergi mencari udara segar sambil mencari makanan. Jaga ibumu dan Clara, ya." Karin mengangguk pelan. Gadis itu masih saja sering menangis tiba-tiba. Meskipun mencoba terlihat kuat, tapi Naren mengerti bahwa Karin sebenarnya merasa tak sanggup menghadapi keadaan semacam ini. Menyusuri lorong rumah sakit, langkah Naren tiba-tiba terhenti. Sosok yang tak asing terlihat berjalan ke arahnya. Naren mengambi langkah cepat dan menghampiri sosok itu dengan perasaan kesal. "Mau apa? Kamu tidak diijinkan melihat Clara atau menemuinya. Tidak akan pernah sampai kapan pun." Sosok itu menatap Naren dengan iba. "Kenapa kau masih saja bersikap seperti ini. Aku tahu, ini berat bagimu. Aku datang ke sini sebagai seorang teman, bukan yang lain." "Aku tidak pernah menganggapmu teman," ucap Naren dengan tegas. "Berhentilah bersikap begini. Maafkan kesalahanku. Aku akan membantumu dengan kasus Clara." "Haha, lucu sekali, San. Aku sekarang berhadapan dengan staf khusus Kristo Wijaya? Dan dengan entengnya, bawahannya ini mengatakan akan membantu mengungkap kasus Clara? Kalau kau ingin membantu, seharusnya sejak dulu. Kalau saja dulu kau berniat, maka hari seperti ini tidak akan pernah ada." "Aku benar-benar akan membantumu," ucap San dengan nada setengah memohon. "Membantu untuk menghancurkan aku dan Clara?" "Aku bersungguh-sungguh." Naren menepuk pundak San. "Kesungguhanmu tidak diterima. Sekali pengkhianat, tetap pengkhianat. Pergilah." Namun, San tidak mengindahkan intruksi Naren. Laki-laki itu segera menyingkirkan lengan Naren dan kembali berjalan menuju ruang perawatan Clara. Naren mengejarnya dan mendorongnya, hingga tubuh San menempel ke dinding. "Berhenti kubilang!" "Kau yang harus berhenti. Orang-orang melihat kita sekarang. Dan mereka akan dengan mudah menentukan siapa yang kriminal dan siapa yang bukan." Mendengar itu, Naren melepaskan tubuh San. "Ibunya mengenalku dengan baik. Aku yakin mereka akan menerimaku." "Omong kosong macam apa ini? Aku sedang berhadapan dengan seorang penulis yang dulu terkenal idealis, padahal nyatanya sangat matrealistis, dan sekarang tidak punya malu? Predikat buruk macam apa lagi yang ingin kau sandang?" "Tidak ada. Aku hanya ingin membantu. Itu saja. Sangat sederhana. Biarkan aku membantu kalian. Apa susahnya menerima bantuanku?" "Bagaimana aku bisa mempercayaimu? Itu. Kamu pasti berpikir dulu, kan. Sebelum datang kemari. Jaminan apa yang bisa kamu berikan padaku untuk meyakinkanku kalau memang tidak ada kebohongan di sini. Aku tidak sepolos Clara yang dahulu. Aku selalu dan akan belajar dari masa lalu." "Aku bisa jamin, aku jamin aku bisa membantu kalian." "Jawabannya tetap tidak, San. Tidak ada kesempatan lagi. Aku yakin Clara juga akan mengambil tindakan yang sama denganku jika dia tidak sedang dalam keadaan koma." San terdiam cukup lama. "Aku ... tidak pernah memikirkan kalau pada akhirnya akan jadi seperti ini, Naren. Sungguh seandainya bisa, aku ingin kembali memutar waktu dan mengambil keputusan yang lain daripada keputusanku sebelumnya." "Tidak, San. Kau salah. Ini bukan akhir, dan kau tidak akan pernah bisa mengubah masa lalu. Jadi, sekali lagi, kau harus pergi. Jangan pernah kembali. Jalani hidupmu dengan baik bersama dengan orang yang kamu cintai itu. Jangan datang lagi." San membeku. Ia bungkam, tak tahu harus berkata apa. "Pergi." "Aku akan datang lagi besok." "Kubilang tidak perlu." "Aku ingin membantu." "Pergi saja. Aku tidak akan pernah meninggalkan Clara. Jadi, tidak akan ada kesempatan bagimu untuk menemuinya." Kemudian San benar-benar melangkah pergi. Naren merasa lega, tapi ia mengurungkan niatnya untuk keluar mencari udara segar dan makanan. Ia lebih memilih kembali dan mencoba memesan makanan via online saja. Lelaki itu takut kalau-kalau San datang lagi nanti. Di tempat lain, El mencoba menginvestigasi kasus Clara sendirian. Studio tempat kejadian berlangsung sudah tak dijaga dengan ketat, karena memang polisi tidak mengungkap kasus itu dengan sungguh-sungguh. El tak habis pikir sebenarnya. Pertanyaan-pertanyaan klasik selalu menghampiri kepalanya selama beberapa waktu. Pertanyaan seperti kenapa uang dan kekuasaan masih saja terus mengambil peran paling besar bagi semua manusia di bumi. Gadis itu merasa sedikit naif sebenarnya. El memang penulis yang idealis. Gadis itu tidak menulis demi popularitas atau uang. Makanya, kemarin ia dengan tegasnya ingin membantu Clara. Gadis itu melihat sekeliling studio dan merasa bahwa memang kejadian Clara sudah direncanakan jauh-jauh hari. El merinding, mengingat bahwa mungkin saat acara makan-makan di studio, ada seseorang yang tengah memperhatikan mereka diam-diam di sudut lain. Beberapa saat kemudian, El mendapat sebuah panggilan telepon dari nomor yang tak dikenal. "El." "Iya, halo. Dengan siapa ini?" "Berhenti menyelediki kasus Clara, atau karirmu akan hancur." El menelan ludah. Tak berapa lama, telepon itu pun terputus begitu saja. Gadis itu kini sudah masuk ke dalam lingkaran pantauan orang-orang yang mencelakai Clara. El tahu itu pasti akan terjadi. Meskipun awalnya ia tak ragu, tapi sekarang, ketakutan itu pun membuatnya bimbang. Apa yang akan ia pilih? Tetap membantu Clara atau sudahi saja? Karirnya? Gadis itu terdiam lama, memikirkan kiranya apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD