Arga, Anrez, Naren, dan Lain-lain

1004 Words
Clara masih terpesona kala memasuki ruang seminar kepenulisan. Ia melihat poster besar dirinya sendiri terpampang dengan jelas di pintu masuk. Clara mengambil napas panjang. Semuanya terasa begitu mengalir dan lancar, berjalan sesuai dengan keinginannya, sama sepertinya yang pernah ia harapkan jauh-jauh hari. Clara merasa mimpinya itu semakin dekat untuk digapai, semakin mudah untuk diraih. "Sudah siap, Clif?" Seseorang bertanya sambil menepuk bahu Clif. Rupanya itu salah satu panitia acara. "Siap, Kak." "Luar biasa. Datang empat puluh lima menit lebih awal? Sepertinya kamu sangat tertarik dengan seminar ini." "Jelas sekali, Kak. Ini adalah seminar pertama saya." "Pertama?" "Maksudnya, seminar pertama yang menjadikan saya sebagai tamunya. Sebab dari dulu, setiap saya datang ke acara seminar, pasti saya hanyalah duduk sebagai seorang peserta." Panitia itu mengangguk sambil tersenyum. "Sukses selalu, ya. Mari menunggu di dalam." Clara pun mengikuti si panitia. Gadis itu bisa melihat dengan jelas deretan kursi, poster, dan selebaran yang berisikan informasi tentang dirinya dan novelnya tentu saja. Ada perasaan bangga yang meluap. Sekali lagi, Clara merasa usahanya selama ini memang tidaklah sia-sia. Gadis itu duduk. Melihat kursi-kursi kosong yang mungkin sebentar lagi akan diisi oleh penggemar dan orang-orang yang berkecimpung di dunia literasi. Setelah beberapa saat, dalam pandangan Clara, ada seorang laki-laki yang juga datang lebih awal. Ia mengambil tempat duduk paling depan dan kemudian setelah tak sengaja matanya bertemu denga mata Clara, laki-laki itu tersenyum. Clara merasa seperti pernah tahu dan bertemu dengan laki-laki itu, tapi di mana? "Hai, Clif!" teriaknya. Clara terdiam. Melihat sekeliling ruangan yang memang sepi. Panitia yang tadi tak terlihat sekarang. Mungkin sedang mempersiapkan sesuatu yang lain, pikir Clara. "Apa kabar?!" teriaknya lagi. Clara tertantang. "Aku baik! Kenapa harus teriak! Kemarilah!" Setelah mendengar itu, laki-laki tersebut mendekat. Ia juga menghampiri Clara dengan menenteng novel Immortal Souls milik Clara. "Jadi, apakah aku penggemar pertama yang hadir di sini?" tanyanya lagi sambil menggeser kursi. Sehingga posisi mereka berhadapan dan lebih dekat. "Menurutmu?" Clara bertanya balik. Ia menerima buku Immortal Souls dan mulai membuka halaman pertama. "Siapa namamu?" "Arga." "Oke, baik. Arga ...." Clara hendak membubuhkan kata mutiara dan tanda tangan di halama pertama, ketika ia mengingat sesuatu tentang nama itu. "Arga?" "Iya. Kamu ingat sesuatu?" "Ah, ya ampun. Kamu yang selalu mengirim pesan itu, ya. Aku benar-benar minta maaf karena terlambat sekali membalas." "Tidak apa-apa, mengatakan kalau kamu akan mengadakan seminar, membuatku sangat senang. Akhirnya, ya. Kamu benar-benar akan jadi penulis yang sukses, Clif." "Akhirnya?" "Iya. Percayalah, aku penggemarmu sejak lama." Clara sangat terkejut. Gadis itu tak merasa takut atau bagaiman. Ia justru sangat ingin tahu lebih banyak tentang Arga. "Jangan takut, Clif. Aku sungguh hanyalah seorang penggemar, tidak lebih." Kalimatnya disambut senyuman oleh Clara. "Aku tahu, aku tahu. Terima kasih, ya. Aku sangat beruntung, karena bisa diidolakan oleh seseorang sepertimu. Sejak kapan kamu suka tulisanku?" "Sejak kamu sering menulis hal-hal yang kamu lakukan di status f*******:-mu, lalu tulisanmu beberapa kali muncul di media online. Aku selalu ikuti." "Wah, aku masih belum percaya soal ini," ucap Clara lagi sambil kembali menyodorkan novelnya yang sudah ditandatangani. "Terima kasih ya, Clif. Aku sangat suka tulisanmu, sekali lagi, aku harap tetap bisa membaca tulisan-tulisanmu yang lain nantinya." "Tentu saja, aku pasti akan selalu giat menulis. Aku yang harusnya berterima kasih!" Arga tersenyum. Panitia sudah keluar-masuk dari tadi. Beberapa peserta seminar juga ada yang sudah hadir. Melihat Clara sudah stay, mereka juga bergegas menghampiri. Arga segera menarik diri. "Aku akan duduk di barisan paling depan," ucapnya. Clara mengangguk. Setelah itu, acara seminar berlangsung dengan lancar. *** Sebuah telepon membuat Clara mendengkus kesal. Siapa lagi kalau bukan Anrez. Meskipun kejadian kemarin memang bukan apa-apa, hanya saja Clara masih merasa malu terhadap San. "Apa?" tanya Clara dengan nada yang cukup tinggi. "Ya ampun. Sahabatmu sedang sakit seperti ini, tapi kamu malah tidak peduli." "Bukannya tidak peduli, Rez, tapi aku sedang seminar. Aku akan ke kost-mu nanti, aku ajak El atau anak BBA yang lain." "Iya. Bawakan aku makanan enak." "Oke-oke. Aku akan bawakan dimsum kesukaanmu, ya." "Nah, begitu bagus. Jangan lama-lama. Kalau lama, awas saja, nanti aku akan telepon San." "ANREZ!!!" Laki-laki itu segera menutup telepon. Merepotkan sekali memang, anak-anak BBA kalau sedang sakit selalu manja. Clara tak bisa apa-apa, karena Anrez jauh dari keluarganya dan ya, sahabatnya itu selalu tak ingin kesusahannya itu diketahui oleh orang-orang selain anak BBA. Namun kali ini, ada San juga yang ikut repot? Clara tak habis pikir. Dalam perjalanan menuju rumah kost Anrez, Clara kembali mengingat pertemuan dengan San di rumah sakit kemarin. San adalah laki-laki yang sempurna. Ya, setidaknya itulah yang sering digemborkan media atau komunitas menulis. Meskipun sering kali misterius, mungkin karena hampir semua karya yang ia tulis mengusung genre surealis, tapi laki-laki itu memang tak memiliki cela. Nyaris, tak memiliki mungkin. Clara tidak tahu, sebab gadis itu belum mengenal San dengan detail. Clara bahkan selalu dan sangat menyukai caption-caption yang dibuat oleh San. Baginya, setiap pemikiran San yang muncul, lalu dibagikan di media sosial, seperti pemikiran yang tidak dibuat dengan asal-asalan. Seperti dibuat dengan perenungan yang panjang. Ah, Clara jadi semakin menyukai San. Semakin kagum. Gadis itu terdiam sesaat, tersenyum sendiri, sampai akhirnya mengingat seseorang. Naren. Gadis itu tak lagi tersenyum, ia menyingkirkan semua pemikiran tentang San dan mencoba mengecek notifikasi ponselnya. Siapa tahu Naren mengiriminya pesan? Ah, laki-laki itu .... Namun, tak ada. Mungkin sedang sibuk, pikir Clara. Gadis itu melihat ke luar jendela dari mobil yang tengah ditumpanginya. Naren, sedang apa? Apa yang tengah dipikirkan laki-laki itu? Clara selalu penasaran. Tak pernah ia berhenti ingin mengetahui semua hal tentang laki-laki itu. Bertahun-tahun sudah berlalu sejak mereka saling mengenal, saat masih remaja. Clara semakin merasa sikap Naren sangatlah dingin. Ia selalu ingin mencoba menembus kebekuan itu, tapi dengan cara apa, Clara tidak tahu. *** Mobil berhenti. Clara membayar ongkos dan segera memasuki area kost Anrez. Sejurus kemudian, Clara menepuk keningnya sendiri. Bukankah rencanya ia akan mengajak El atau anak BBA yang lain? Aduh. Clara melangkah ragu, masuk ke dalam rumah kost laki-laki sendirian? Ya, walaupun itu sahabatnya sendiri, tapi tetap saja. Gadis itu menarik napas panjang. Kemudian tersenyum atas kebodohannya sendiri. Ia segera menelepon El untuk menemaninya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD