Hari yang Membingungkan

1120 Words
Di hari berikutnya, Sonia tak lagi mengajak Clara makan siang. Clara merasa itu bukanlah masalah. Toh, ia bisa makan siang sendirian. Mungkin, adakalanya memang seorang teman bersikap tak biasanya. Tak apa, pikir Clara. Gadis itu keluar dari kantor dan memilih mencari tempat makan yang biasa ia dan Sonia datangi. Namun, betapa kagetnya Clara, ketika di depan restoran, ia menemukan sosok itu. Tora. Clara mencoba menatap sosok itu dengan lekat, demi meyakinkan dirinya kalau sosok itu memang adalah Tora. "Tora?" tanya Clara dengan ragu. Yang ditanya mengangguk pelan. Penampilan Tora betul-betul tak seperti biasanya. Ia memakai masker, kacamata hitam, baju yang sudah agak lusuh, meskipun tak butut-butut amat, tapi itu sangat di berbanding terbalik dengan apa yang dulu Tora selalu kenakan. "Iya. Ini aku." Lemas, Tora menjawab. Ia seperti tak bertenaga. "Mau makan siang?" tanya Clara, sambil menunjuk ke restoran. Tora mengangguk. "Tapi, jangan di situ. Di situ saja," ucap Tora, menunjuk salah satu kedai sedeharana di sudut. Nyaris tak terlihat. Clara mengangguk. Mungkin, Tora merasa malu, takut-takut ia bertemu dengan pegawai kantor yang lain. Clara mencoba memahami Tora, tanpa bertanya apa-apa dulu. Laki-laki itu harus makan siang terlebih dahulu. Setelah memesan makanan, Tora masih tak bicara apa pun dan Clara masih enggan bertanya. Gadis itu akan bertanya, kalau Tora sudah makan. Pelayan menyajikan beberapa menu. Clara hanya pesan minuman saja. Sebenarnya, ia sedang tidak terlalu lapar. Melihat Tora yang sangat lahap memakan apa saja yang disajikan di depannya, membuat Clara kenyang seketika. Apa laki-laki di depannya tidak makan berhari-hari? "Minum dulu," ucap Clara, ketika melihat Tora hampir tersedak. Tora menurut dan minum segelas air putih sebelum kembali menikmati makanannya. Setelah selesai, barulah ia bisa berbicara dengan nada yang lebih baik dari sebelumnya. "Terima kasih," ucap Tora, tanpa melihat mata Clara. Ia seperti merasa malu. "Sama-sama. Kamu sudah merasa lebih baik?" tanya Clara, berbasa-basi. Sebenarnya, ia ingin tahu banyak hal tentang Tora, tapi Clara menahan diri. Ia takut salah bicara. Alih-alih membuat Tora merasa lebih baik, nantinya malah ia menyakiti. "Sudah. Aku sudah merasa lebih baik dari sebelumnya. Lebih baik dari kemarin-kemarin. Kamu tahu, Clif. Hidupku hancur." Setelah kalimat itu, barulah Tora berani menatap mata Clara. Mata Tora seolah menjelaskan sehancur apa dirinya. Ada air mata yang berusaha laki-laki itu tahan mati-matian. "Kenapa?" tanya Clara sepelan mungkin. Suasana di kedai tampak tidak terlalu ramai. Clara berharap Tora bisa mengatakan apa yang sedang terjadi tanpa sungkan. Tora malah tertawa. Tawa yang seperti terpaksa. Pahit. "Clif, aku bingung harus mulai dari mana. Lagi, sepertinya kamu bukan orang yang harus mendengar ceritaku. Kamu tidak akan percaya, Clif. Kamu tidak akan pernah percaya dengan semua yang kukatakan." Giliran Clara yang tesenyum. "Tora, kalau kamu belum mengatakannya, mana bisa kamu menyimpulkan kalau aku akan percaya atau tidak? Jangan seperti itu." Tora menarik napas panjang. Sekali lagi, itu membuatnya tampak sangat menderita di mata Clara. Sudah penampilannya yang berubah drastis, wajahnya murung, dan embusan napas serta nada bicara Tora yang sedemikian berat, membuat Clara jadi lebih penasaran dan perasaan ingin membantunya semakin tinggi. "Aku bukan orang yang seperti kamu pikirkan, Clif." "Lalu?" Reflek, Clara bertanya. "Ya, aku tidak seperti yang kamu pikirkan selama ini, Clif. Kamu nanti akan benci padaku, kalau tahu seperti apa aku sebenarnya." Tora berucap dengan nada yang amat serius. Clara tak ingin itu jadi sesuatu yang membuat suasana jadi aneh. Ia pun berusaha mencairkan suasana, "Kamu pikir, selama ini aku berpikir kalau kamu orang baik? Tidak, Tora. Kadang-kadang, kamu sangat menyebalkan, haha." Tora menunduk, tak bereaksi apa-apa. Clara pun tersadar, kalau leluconnya sama sekali tidak tepat dan tidak lucu. "Oke. Kamu mau jelaskan seperti apa dirimu?" tanya Clara, berusaha mencoba memahami Tora lebih jauh lagi, walau ternyata agak sulit. Tidak ada Tora yang sangat percaya diri dan sesekali menggoda Clara atau mengatakan kalimat-kalimat yang amat meyakinkan. Sisi itu seolah menghilang. Tersisa Tora yang terus menunduk, seperti menahan rasa sakit, seperti ada beban sebesar gunung berada di pundaknya. "Aku, aku hancur." Clara mengangguk. Ia ingin penjelasan yang lebih dari itu. "Aku tidak tahu siapa yang salah. Apakah aku, apakah kehidupan ini? Apakah orangtuaku? Apakah orang-orang di sekitarku? Apakah Tuhan? Rasanya, apa pun yang kuinginkan, tak pernah benar-benar bisa kuraih. Sedangkan orang yang terlihat berusaha biasa-biasa saja, seolah bisa menggapai semua itu dengan mudahnya." Mendengar Tora mengatakan itu, Clara jadi ingat dirinya sendiri sebelum novel perdananya best seller. Dulu, ia tak dikenal, tak ada yang tahu kalau Clara adalah seorang penulis. Ia kadang-kadang membandingkan dirinya dengan orang lain dan menyalahkan takdir. Tapi, itu dulu. "Itu hanya sementara, Tora. Tidak akan selamanya begitu," ucap Clara. Berharap, Tora bisa merasa lebih baik. "Tidak, Clif. Aku sudah lama merasa begini." Clara jadi sakit kepala berhadapan Tora. "Oke. Kenapa kamu merasa begitu?" "Mungkin, karena aku memang pantas seperti ini. Hancur dan gagal." Meskipun kalimatnya putus asa, tapi wajah dan raut wajah Tora seolah tertawa. Clara jadi takut. Tora sepertinya butuh pertolongan lebih dari sekadar mencurahkan hati kepada Clara. "Tenangkan dirimu," kata Clara. Sebenarnya, gadis itu takut. Tatapan Tora terlihat lain. Tora kembali menunduk, tak berani menatap Clara. "Aku tidak tahu lagi, harus bagaimana. Aku ingin mati, Clif." Clara menggeleng. "Jangan. Apa masalahmu sebenarnya? Apa ini karena pemecatanmu di kantor? Kamu dipecat karena apa? Kesalahan apa yang kamu lakukan?" Akhirnya, pertanyaan-pertanyaan itu meluncur deras dari mulut Clara. Pertanyaan-pertanyaan yang ditahannya sejak tadi. "Kamu tidak akan pernah ingin tahu, Clif. Lagi, aku sebenarnya masih meyakini, kalau aku tidak melakukan kesalahan. Aku hanya tidak beruntung. Apa yang kulakukan, tidak sebanding dengan apa yang sudah orang-orang itu lakukan kepadaku. Aku tidak sepenuhnya salah. Merekalah yang salah." "Orang-orang itu? Siapa, Tora? Mereka? Siapa?" Tora menatap tajam Clara. "Kamu juga tidak akan pernah mau mengetahui siapa orang-orang itu, Clif. Tidak akan. Kamu tidak perlu tahu siapa mereka. Itu lebih baik untukmu." Clara menghela napas. Itu agak sulit. Ada banyak batasan yang Tora buat untuk dirinya sendiri, sehingga laki-laki itu tidak benar-benar bisa menceritakan semuanya dengan detail. Kalau begitu, bagaimana cara agar Clara dapat membantu Tora? Tentu saja, tidak akan mudah. "Tora, aku sangat ingin membantumu. Sebagai teman yang dengan entengnya menyapaku pertama kali di kantor, aku sangat berterima kasih. Kamu mungkin tidak tahu betapa berartinya itu untuk orang sepertiku. Jadi, aku akan membantumu. Tolong, katakan semuanya. Jangan setengah-setengah." Serius dan tulus, Clara menatap Tora. Gadis itu berharap, dengan mengatakan kalimat tersebut, Tora benar-benar bisa mengungkapkan semuanya. "Tidak, Clif. Aku tidak bisa." Tora memegang kepalanya sendiri, seperti ia sedang sangat pusing. "Kenapa? Kenapa kamu tidak bisa? Kamu hanya perlu katakan apa dan siapa yang membuatmu begini?" "Mereka orang-orang jahat, Clif. Kamu jangan dekat-dekat dengan mereka." "Iyaa. Siapa orang-orang yang kamu maksud itu? Beritahu aku." "Tidak. Aku harus pergi. Terima kasih untuk makanannya," ucap Tora, lalu beranjak pergi, berjalan setengah berlari ke arah luar. Clara tak memiliki kesempatan untuk menahan laki-laki itu. Gadis itu jadi bingung sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD