Saat Clara hendak keluar dari kedai, gadis itu mendapat telepon dari San.
"Kamu di mana? Sudah makan siang? Maaf aku baru menelepon. Ada beberapa hal yang harus diurus."
"Heemh. Tidak apa-apa. Aku mengerti, kalau akhir-akhir ini kamu sepertinya sangat sibuk. Aku paham dan itu bukan masalah."
"Baguslah. Nanti aku akan jemput seperti biasa, dan kita akan mengunjungi tempat yang kita suka. Atau ke manapun kamu mau, aku akan ikuti."
"Oke. Itu ide yang bagus. Oh iya. Kamu tahu, kan? Tora? Temanku yang dulu itu? Aku lupa apa aku pernah cerita atau tidak, tapi dia sudah tidak bekerja lagi. Dan tadi, aku baru saja bertemu dengannya. Jujur, aku kaget."
"Sebentar, apa maksudmu? Kamu bertemu dengan Tora? Di mana? Kenapa kalian bisa bertemu?" tanya San penuh selidik.
"Emh, aku tidak tahu. Mungkin kita hanya kebetulan bertemu. Aku mentraktirnya makan siang, tapi dia bicara banyak hal yang aneh. Jujur saja, aku kasihan melihatnya. Sepertinya, ia butuh pertolongan.
Terdengar San yang menghela napas, seolah apa yang baru saja Clara katakan adalah sebuah masalah besar.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Clara, memastikan.
"Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Sekarang, kamu di mana?"
"Aku mau ke kantor."
"Diam. Jangan ke kantor. Jangan ke manapun. Masuk lagi ke kedai tadi. Aku akan segera datang. Awas. Jangan ke mana-mana."
Clara tak mengerti. Teleponnya langsung ditutup dan gadis itu dilanda kebingungan. Namun, akhirnya ia memilih untuk menuruti apa yang San katakan. Clara segera kembali masuk ke kedai.
"Ada yang ketinggalan?" Reflek, pemilik kedai berucap. Clara menggeleng.
"Boleh pesan menu lagi? Emmh, ada temanku yang mau datang."
Sang pemilik kedai terlihat bingung, tapi akhirnya mengangguk. "Mau pesan apa?"
"Emmh, cemilan yang ringan saja."
"Apa saja?"
"Ya."
"Kentang goreng?"
"Boleh."
Clara segera terdiam setelah itu. Ia menatap ponselnya sendiri dengan tatapan kosong, seolah seseorang yang bicara dengan dirinya tadi bukanlah San. San marah dan itu agak menakutkan. Apalagi, Clara belum tahu San marah kepadanya tentang apa. Apa karena ia bertemu dengan Tora? San cemburu? Tapi, tadi itu, terdengar berlebihan.
Selang beberapa menit, yang ditunggu datang. San menghampiri Clara dengan napas yang terengah-engah.
"Kamu baik-baik saja?" tanya San. Tangannya merapa tangan Clara.
Gadis itu mengangguk heran. "Ya, aku baik-baik saja. Kenapa memang? Kamu tidak perlu lari tadi."
"Aku tidak lari dari tempatku. Aku lari setelah turun dari mobil."
San duduk di depan Clara. Menggulung lengan kemejanya, karena merasa gerah.
"Ya, maksudku, kamu juga tidak perlu berlari. Sekalipun itu setelah keluar dari mobilmu. Aku tidak apa-apa. Memangnya, ada apa? Kenapa dengan Tora?"
San berusaha menormalkan napasnya terlebih dahulu.
"Tidak ada apa-apa. Hanya, aku tidak mau terluka."
Clara jadi kesal. Tidak ada apa-apa. Itu adalah kalimat paling bohong. Karena kalau tidak ada apa-apa, tentu saja San seharusnya bersikap biasa saja.
"Kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa kamu bersikap aneh, San?"
Kamu pikir, aku bodoh?
"Ada yang belum bisa kuceritakan kepadamu."
"Apa?"
"Tidak. Tidak sekarang."
"Kenapa tidak sekarang?"
Tiba-tiba saja, San merasa kepalanya pusing. Pertanyaan Clara sudah menambah pelik rentetan peristiwa yang beberapa hari terakhir mengisi hidupnya.
Percakapan mereka terjeda, ketika pemilik kedai menyuguhkan kentang goreng dan minuman.
"Aku tidak pesan ini," ucap Clara.
"Itu hadiah."
Sang pemilik kedai tersenyum.
"Terima kasih."
Clara menerima secangkir minuman cokelat itu dan mulai meminumnya. San mulai menyisir kedai tersebut. Kedai biasa. Tak ada yang aneh. Pemiliknya pun terlihat biasa saja.
"Kenapa dia mau bertemu denganmu di tempat ini?" tanya San.
Clara menatap San tajam. "Aku akan jawab, kalau kamu sudah jawab pertanyaanku. Kenapa dengan Tora? Apa kamu mengenalnya dengan baik? Kalau iya, apa yang terjadi sebenarnya? Tolong, katakan. Aku butuh penjelasan."
"Dengar. Sudah kubilang, aku belum bisa menjelaskan ini kepadamu. Satu hal yang harus kamu tahu, kamu ingat, dan kamu lakukan adalah, jangan dekat-dekat dengan Tora. Lagi. Kapan pun itu. Di manapun itu. Jangan."
Clara tertawa. Tawa yang mengejek.
"Bagaimana mungkin, aku bisa menuruti apa yang kamu katakan, San. Sedangkan aku tidak tahu dengan jelas apa alasannya. Kenapa aku tidak boleh dekat-dekat dengan Tora?"
San memandang Clara dengan tatapan sedikit kesal. "Sudah kukatakan tadi. Kamu tidak seharusnya mengetahui ini sekarang."
"Sekarang atau nanti, itu sama saja, San."
San mengecek arlojinya. "Kamu harus ke kantor."
Clara pun melihat ponsel. Sudah lewat sedikit dari jam makan siang. Ia tidak pernah terlambat sebelumnya.
"Oke. Tapi, kamu harus janji padaku untuk memberitahuku semuanya. Apa pun yang kamu tahun tentang Tora."
San tak menjawab.
"Ayo, aku antar sampai kamu masuk ke kantor."
Clara menggeleng. "Tidak perlu. Tidak akan ada apa-apa. Jangan berlebihan."
"Aku akan tetap antar."
Clara tak bisa mendebat San lagi. Perempuan itu pun membiarkan San mengantarnya sampai benar-benar masuk ke dalam kantor.
"Aku akan jemput nanti."
"Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri."
"Tidak. Aku akan tetap jemput."
Clara terlalu malas untuk menjawab lagi. Ia segera berlalu untuk masuk ke dalam ruangannya.
Sementara itu, Tora masih memperhatikan pergerakan San dan Clara. Ia masih memantau dari jarak yang tidak terlalu jauh. Hati-hati dan begitu tenang. Tora tersenyum dan kembali ke kedai.
"Apa yang mereka bicarakan?" tanya Tora kepada ibu pemilik kedai.
"Banyak. Mereka sepertinya sedang bertengkar."
"Katakan semuanya, sejelas-jelasnya."
Ibu pemilik kedai kemudian menceritakan semua yang ia dengar saat memperhatikan Clara dengan San tadi.
"Bagus. Terima kasih. Dan minumannya?" tanya Tora memastikan, sambil menyodorkan sejumlah uang.
"Gadis itu meminumnya. Meskipun hanya sedikit."
***
Di ruangannya, Clara kesulitan untuk fokus kepada pekerjaan. Ia terus memikirkan soal bagaimana kondisi Tora, dan sikap San yang aneh. Gadis itu tak menyangka kalau San bisa marah kepadanya seperti itu, hanya karena ia bertemu dengan Tora yang sejak awal, selalu ia yakinkan hanya teman saja.
Bukan, San bukan sedang cemburu. Bahkan mungkin sejak awal, sejak Clara bercerita tentang Tora kepada San, San bukan cemburu. Clara merasa tidak bodoh-bodoh amat. Gadis itu semakin yakin kalau memang ada yang disembunyikan oleh San. Dan itu buruk. Itu bukan hal yang baik dan wajar.
Kalau wajar, kalau tidak apa-apa, kenapa San berusaha keras untuk menutupinya? Seharusnya, tinggal katakan saja. Beres.
***
Hujan. Sore yang cukup ramai, ramai karena derasnya hujan. Clara menatap ke luar dari lobi lantau pertama kantornya, memerhatikan beberapa orang ada yang dengan berani menerobos hujan untuk kemudian masuk ke mobil jemputan, atau masuk ke kendaraannya sendiri.
Sonia yang sedang duduk sebenarnya ingin menghampiri gadis itu. Ingin memulai percakapan-percakapan tentang prediksinya soal kantor. Hanya, mengingat reaksi Clara sebelumnya, Sonia pun urung. Clara terlalu polos dan Sonia benci itu.
Ia tidak suka kepada orang yang percaya kepada keajaiban di dalam hidup. Gadis itu tak suka dengan orang yang percaya kalau dengan bersikap baik, segala sesuatunya akan berjalan dengan baik juga. Baginya, itu kebodohan.
Clara masih menatap ke luar, sampai kemudian ia menyadari ada sosok yang melambaikan tangan ke arahnya. Dari luar, San turun dari mobil dan membuka payung. Clara bergegas menghampirinya. Ah, bagaimana mungkin, ia benci, ia kesal kepada sosok San yang seperti itu?
Sekali lagi, apa pun yang San sembunyikan, ia masih terlihat, sempurna. Sempurna.