Yang Sebenarnya

1210 Words
Hujan yang masih deras dan menimbulkan hawa dingin, membuat Clara beruntung bisa masuk ke dalam mobil tanpa kehujanan sedikit pun, karena San begitu sigap menjemput dan memayunginya. Di dalam mobil, rasanya hangat dan aman. San melajukan mobil perlahan, sangat hati-hati. Seperti biasa, jika hujan tiba, ia takkan mengendara terburu-buru. Kepala Clara dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang masih sama. Namun, ia yakin kalau saat itu bukan waktu yang tepat untuk mengeluarkan semua pertanyaan tersebut. Clara takut kalau San kembali menunjukkan kemarahan yang tak bisa ia duga. Gawat kalau itu terjadi. Bisa-bisa, nyawa taruhannya. Bayangkan saja. Hujan sangat deras dan yang pegang kendali untuk mobil yang sedang ditumpanginya adalah San. Makanya, Clara tak bisa. Manusia kan, tidak bisa ditebak. Sudah ada berapa banyak kasus di dunia ini, di mana diceritakan tentang manusia-manusia yang berubah dalam sekejap. Menjadi seperti orang lain. Dari baik, jadi buruk, atau sebaliknya. Berubah hanya dalam sekejap saja. Ah, lagi, Clara bersikap berlebihan! Gadis itu, tanpa sadar melihat San untuk beberapa saat yang cukup lama. "Aku tahu, kamu masih penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi," ucap San tiba-tiba. Itu membuat Clara jadi tidak nyaman. Padahal, ia sudah berusaha untuk tidak menunjukkan keinginannya dalam membahas hal itu, agar San merasa nyaman. Tapi, malah San sendiri yang memulai. "Ya, aku penasaran, tapi kalau kamu bilang ini waktu yang belum tepat untuk aku mengetahuinya, tak apa-apa. Aku tidak keberatan. Kapan pun kamu nanti mau menjelaskan, aku akan tunggu sampai saat itu." Untuk beberapa jenak, tak ada tanggapan dari San. Ia fokus menyetir dan sepertinya, tengah memikirkan sesuatu juga. "Kalau begitu, bagus. Tapi setelah aku memikirkannya, sepulang dari kedai tadi, memang akan lebih baik kalau kamu mengetahuinya sejak awal. Ya, itu yang kemudian aku sadari tadi." Akhirnya .... Clara berusaha menyembunyikan rasa senangnya. Akhirnya San mau juga menjelaskan. Clara sudah sangat penasaran. "Dulu, aku memang mengenal Tora dengan cukup baik. Aku adalah temannya." Temannya? Jadi, sudah sejak lama, San tahu tentang Tora? "Jadi, saat aku cerita soal Tora pertama kali, kamu sudah tahu kalau itu, kalau aku bercerita soal temanmu?" San mengangguk. "Makanya, aku langsung menyuruhmu untuk jangan dekat-dekat, aku tahu bagaimana sifatnya. Dia suka mendekati wanita hanya untuk bersenang-senang." Clara mengangguk-angguk, teringat saat Tora menjadi sok akrab dengan dirinya dulu. Namun, apakah Tora memang seburuk itu? "Apakah hanya karena itu?" Clara tidak bodoh-bodoh amat. Ekspresi serta kemarahan saat Clara bilang kalau ia bertemu dengan Tora siang tadi, itu lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa ada alasan lain yang lebih kuat dari sekadar ketakutan kalau Tora akan menggoda Clara. "Bukan." Bagus. San sepertinya memang akan jujur, pikir Clara. "Ada hal lain lagi. Dia bukan orang biasa, Clif. Dia bukan orang biasa seperti yang kita ketahui selama ini." "Maksudnya?" Clara semakin penasaran saja. "Ia adalah si ambisius. Dulu, kami memang berteman cukup baik. Di masa sekolah menengah pertama, maupun sekolah menengah atas, kami adalah dua orang dengan ambisi yang hampir mirip. Aku dan Tora. Kami ingin jadi penulis dan kami ingin mengubah hidup kami menjadi lebih baik lewat tulisan-tulisan yang kami buat. Kami percaya, kalau kata-kata, bisa jadi lebih tajam dibandingkan pedang. Ya, itu yang kami yakini. Bahkan sampai sekarang, pun. Sepertinya, kami masih akan meyakini kata-kata itu. "Lalu?" tanya Clara. San bercerita lebih jauh lagi soal masa lalu antara dirinya dengan Tora. Ia bilang, dulu mereka selalu mengikuti kompetisi menulis skala nasional, bahkan pernah mencoba mengikuti yang internasional. Meskipun lebih banyak kekalahan yang mereka dapatkan. Dua-duanya merupakan kutu buku. Dikenal amat sangat cerdas, cakap dan selalu tahu banyak hal. Di kelas, selalu jadi rebutan untuk mejadi ketua kelompok. Kalau dua-duanya sudah satu kelompok, maka tamat sudah. Dapat dipastikan kelompok merekalah pemenangnya. San dan Tora tumbuh dengan pujian dan pengetahuan yang mereka kejar terus-menerus. Mereka tak pernah merasa terbebani untuk terus belajar dan menyingkirkan waktu bermain mereka. Mereka tekun, rajin, dan pekerja keras. Namun, meskipun ada banyak kesamaan, ada satu perbedaan yang cukup mencolok di antara keduanya yang sulit dihapuskan. San berasal dari keluarga berada, sedangkan Tora, dari keluarga yang biasa-biasa saja. Sejak awal, Tora tak masalah dengan itu. San juga merasa itu bukanlah perbedaan yang berarti. Toh, mereka sama-sama bisa berprestasi dengan kemampuan masing-masing. Hingga suatu hari, San memenangkan kompetisi yang cukup bergengsi. Tora ikut senang, meskipun ia kecewa. Ia kecewa kepada dirinya sendiri dan merasa gagal karena tidak bisa melakukan yang terbaik. San tahu sikap Tora yang berubah. Ia mencoba menghibur Tora, mengatakan kalau kalah dan menang dalam sebuah kompetisi itu adalah hal yang biasa. Tora pun mengerti. Ia juga berpikir demikian. Lebih tepatnya, berusaha berpikir demikian. Namun, beberapa waktu setelahnya, San kembali memenangkan kompetisi, lagi dan lagi. Begitulah. Mereka berdua mengikuti kompetisi yang sama, tapi selalu saja San yang memenangkannya. Tora merasa, ada yang tak benar. Ada yang salah. Dan kali itu, yang salah bukan dirinya. Tora pada akhirnya mengetahui kalau ayahnya San, keluarganya San, sudah jadi keluarga yang semakin terpandang. Pikiran demi pikiran buruk dan prasangka demi prasangka negatif itu, telah mengantarkannya kepada kekalahan demi kekalahan selanjutnya. Tora jadi sulit fokus kepada apa pun yang ia lakukan. Dalam pikirannya, ia hanya berusaha untuk mengalahkan San, bukan fokus kepada kompetisinya. Ia telah kalah telak. Kalah yang sebenar-benarnya kalah. Setelahnya, hubungan keduanya pun renggang. Mereka tak lagi saling sapa, entah kenapa. San terlalu enggan untuk memulai, sebab ia selalu diabaikan. "Kalian pernah sedekat itu? Sekarang, sejauh ini? Mengesalkan." Clara berucap, seolah sudah mengetahui semuanya. Padahal, cerita San belum selesai. "Ya, begitulah hidup. Apa pun itu, hubungan pertemanan, percintaan, semuanya juga akan berakhir. Kalau tidak berakhir karena perselisihan, mungkin akan berakhir karena kematian. Pasti begitu." Clara terdiam sebentar. Apa yang San katakan, memang benar. Kalau tidak berakhir karena perselisihan, mungkin berakhir karena kematian. "Ya, tapi kenapa kalian tidak berbaikan saja? Itu sudah lama, bukan? Sekarang, situasinya sudah berbeda. Kalian sudah sama-sama dewasa dan bahkan Tora juga, kan. Dia, walaupun sekarang sudah tidak bekerja di bawah Kristo Wijaya, tapi dia pernah. Itu berarti, dia juga memiliki kemampuan yang cukup." San menghela napas. "Tidak semudah itu, Clif. Kalau Tora tidak mau berbaikan juga, bagaimana? Lagi, jalan kita sudah berseberangan. Kita sudah tidak bisa jadi teman lagi. Mungkin, dia memang punya kemampuan. Bahkan sudah berkembang pesat, tapi untuk apa? Dia tidak menggunakan kemampuannya untuk dirinya atau agar bermanfaat untuk orang lain. Dia menggunakan kemampuannya untuk mengalahkanku. Mungkin." "Apa dia melakukan kesalahan, hingga akhirnya dia dipecat? Seberapa besar? Seberapa banyak?" tanya Clara. "Banyak dan besar, mungkin." "Kamu tidak bisa memaafkannya?" "Tidak. Mungkin belum." Clara terdiam lagi. Untuk pertama kalinya, Clara menyadari kalau San tidak sempurna. San juga manusia. "Begitu, ya. Semoga suatu hai kalian bisa berbaikan. Kulihat, Tora sedang kesulitan." San menggeleng. "Berhenti mempercayai apa yang terlihat saja. Mungkin terlihat menderita, tapi bisa saja tidak begitu. Aku lebih mengenal dia, Clif. Jadi dengarkan aku. Hindari setiap pertemuan dengannya. Jangan sampai kamu bertemu atau mengobrol dengannya." "Oke. Sekarang, kamu menggambarkan Tora, seolah dia adalah seorang penjahat yang mengerikan." Tapi dia memang penjahat. "Sudah sampai," ucap San. Tepat ketika itu, Clara merasa sedikit pusing dan mengantuk. Seperti tiba-tiba. "Kenapa?" tanya San. "Aku mengantuk." San tersenyum. "Mau tidur di mobil lagi?" Clara menggeleng. "Tidak. Aku akan tidur di rumah. Mungkin, ibuku mampir ke rumah." "Ibumu?" Clara mengangguk, tersenyum. "Hubungan kalian makin baik. Aku senang," ucap San." "Iya. Ini juga salah satunya, karenamu. Terima kasih, ya." "Sama-sama." *** Setelah Clara masuk ke dalam rumahnya, San menelepon seseorang. "Kenapa dia bisa kabur?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD