Ketika sampai ke rumah, Clara mendapati ibunya sedang memasak. Gadis itu tersenyum, betapa ia senang sekali. Akhirnya, apa yang selama ini ia harapkan, terjadi juga. Ibunya bersikap kembali seperti biasa. Seperti tahun-tahun saat ayahnya masih ada. Ada banyak perhatian yang selalu ia dapatkan dari kedua orang tuanya.
"Ibu? Kupikir, Ibu tak akan kembali sore ini."
Ibunya tersenyum. "Karin kuliah sampai malam. Ibu rasa, kamu harusnya sesekali juga makan masakan ibu. Atau, sesekali kamu menginap di rumah kita dulu. Kapan-kapan, ya. Kamu harus menginap. Karin juga pasti senang, karena mungkin kamu bisa bantu tugas-tugas kuliahnya yang sangat banyak itu."
Clara mengangguk. Sebenarnya, ia juga ingin seperti itu. Tapi, ya, mungkin lain kali.
"Nanti saja, Bu. Karin sedang banyak tugas, ya. Dia sekarang sepertinya sangat bersemangat."
Ibunya mengangguk. "Iya. Dia begitu bersemangat."
Ah, anak itu. Clara lega. Akhirnya, Karin menemukan apa yang membuatnya sibuk. Dulu, saat ayahnya tiada, dan Karin masih terpukul, gadis itu sempat gamang dalam melanjutkan pendidikannya.
Setelah beberapa jenak, Clara merasa semakin mengantuk. Ia melihat sekilas ke luar jendela, dan mendapati seseorang dengan wajah tertutup berdiri di depan rumahnya. Seseorang yang cukup misterius.
"Clif," ucap ibunya. Clara tak bergeming.
"Clara," ucap ibunya lagi.
"Ya?" Clara mengalihkan pandangan kepada ibunya.
"Makanannya sudah siap, Nak."
"Ah, oke."
Jantung Clara berdegup kencang. Saat ia melihat ke luar jendela lagi, sudah tak ada siapa-siapa di sana. Segera, gadis itu menutup pintu dan menguncinya. Ada perasaan yang tak biasa, yang gadis itu tiba-tiba rasakan.
"Kenapa?"
"Ibu jangan pulang dulu, ya. Karin kan pulangnya malam. Atau, biar dia juga pulang ke sini saja, ya."
Ibunya heran. "Ada apa? Kamu seperti ketakutan."
"Aku ... aku, tidak enak badan," ucap Clara spontan, ketika kepalanya terasa pusing sekali. Gadis itu berusaha berjalan ke arah ibunya, tapi kemudian merasa lemas dan akhirnya pingsan. Clara jatuh, tak sadarkan diri.
***
Sementara itu, San bertemu lagi dengan Romi, asistennya.
"Lucu sekali, orang kita tidak bisa mengurusinya dengan benar."
Romi tertunduk. Sebenarnya, ia juga ingin membela diri. Melaporkan Tora ke polisi, tidak boleh. Dilenyapkan, juga tidak boleh. Apa yang sebenarnya San inginkan?
"Bukankah, lebih baik jika dilenyapkan saja? Disingkirkan saja?"
San menggeleng. Entah kenapa, tapi ia masih memiliki sedikit empati terhadap mantan sabahatnya itu.
"Menyingkirkannya, bukan ide yang bagus." San berdalih, berusaha agar Romi tak melihat perasaan empatinya.
"Aku merasa seharusnya kita tidak bekerja di-,"
Ucapan Romi terpotong ketika melihat tatapan tajam San. "Kita akan melepaskan diri suatu hari nanti. Tapi sekarang, belum bisa. Lebih tepatnya, tidak bisa."
Romi diam. Ia tak mau salah bicara, takut San salah paham dan nanti, ia akan dipecat lagi oleh bosnya itu. Ya, benar. Sudah beberapa kali Romi dipecat karena salah bicara, dan beberapa kali juga Romi memohon untuk dipekerjakan kembali. Sebenarnya, San juga butuh orang cerdas seperti Romi dan Romi, merasa tak akan bisa menemukan bos yang paling bisa memaklumi sikap uniknya, selain San. Mungkin karena mereka sudah bekerja sama selama bertahun-tahun.
"Cepat perintahkan orang-orang untuk menangkap Tora, dan kurung dia di suatu tempat. Sebelum pihak Kristo Wijaya yang lain menemukannya. Kita sudah dipercaya untuk mengurusnya. Jadi, pastikan kali ini jangan gagal lagi," ucap San tegas. Romi mengangguk mantap.
Setelahnya, San membiarkan Romi bekerja. Ia lalu ke lantai atas, ke kamarnya. Mencoba merebahkan diri dan memikirkan hal lain, yang mungkin bisa membuatnya sejenak melepaskan diri dari ingatan memusingkan tentang Tora.
Clara. Gadis itu. Seandainya San bisa, ia ingin jadi orang biasa saja. Bertemu dengan gadis biasa seperti Clara, hidup dengan keinginan yang biasa-biasa saja, hidup dengan pemikiran yang biasa-biasa saja, dan semua hal yang benar-benar biasa. Mungkin, kalau begitu, tidaklah akan terlalu rumit. Ia hanya perlu mencintai dan dicintai, hidup bahagia selamanya, seperti dalam kartun Disney.
***
Clara terbangun dan mendapati waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Gadis itu terkejut. Ia terperanjat, dan melihat ibunya tertidur sambil duduk. Di sampingnya, ada Karin juga yang sedang tertidur. Clara meraba kepalanya, pusing. Kenapa tiba-tiba ia bisa di sini? Di kamarnya?
Gadis itu berusaha mengingat dan pada akhirnya ia dapat menyimpulkan kalau ia memang pingsan. Sepertinya, itu pertama kalinya bagi gadis itu sampai tak sadarkan diri. Sebelumnya, ia tak pernah mengalami yang semacam itu.
Clara berusaha beranjak, hendak ke kamar mandi. Ia sangat berhati-hati dalam mengambil langkah, sebab tak ingin ibu dan adiknya terbangun.
Setelah selesai mencuci muka, Clara berdiri, mematung. Ada kecemasan yang tak biasa, sehingga gadis itu berjalan ke ruang tamu, ke bagian depan rumahnya, dan kembali melihat ke luar, lewat jendela.
Kenapa ia bisa pingsan setelah melihat ada orang misterius di sana? Atau justru, itu halusinasinya sesaat sebelum ia tak sadarkan diri? Clara bertanya-tanya, mempertanyakan kewarasannya sendiri saat itu.
Ah, itu tak berguna, pikir Clara. Gadis itu merasa lapar. Ia ke dapur dan mulai memanaskan air. Ia hendak memasak mie instan.
Clara memandangi air yang awalnya tenang, kemudian perlahan memanas, menimbulkan bunyinya yang khas, lalu mendidih. Tak lama. Segera gadis itu merebus mie-nya.
Setelah beberapa saat, ia baru ingat kalau ibunya memasak sesuatu. Clara menyesali kegiatannya memasak mie, tapi mau bagaimana lagi.
Mungkin karena bunyi yang sedikit berisik, ibunya Clara bangun. "Kamu sudah tidak apa-apa, Clif?"
Clara tersenyum melihat wajah panik ibunya. "Tidak apa-apa, Bu. Mungkin Clara hanya capek saja."
"Ibu cemas. Kalau begitu, jangan kerja saja dulu, ya."
Clara tidak tahu. Ia merasa baik-baik saja, mungkin kondisinya memang tidak apa-apa.
"Tidak apa-apa, Bu. Ini pasti hanya karena kecapean saja."
"Makanya, jangan kerja dulu. Istirahat saja dulu. Dan, kenapa masak mie instan? Ini, ibu masak ayam kesukaanmu."
"Iyaa. Aku lupa kalau Ibu sudah masak. Maaf, ya."
"Tidak apa-apa. Dicampur saja. Ibu juga belum makan sebenarnya. Hehe."
"Hah? Belum? Ya sudah, kalau begitu, ibu makan dulu. Ayo."
Mereka berdua pun makan bersama-sama. Makan dini hari.
Clara makan dengan lahap, karena memang ia sedang lapar sekali. Kemudian ia teringat kalau belum mengabari apa-apa kepada San. Ah, pasti sudah banyak pesan atau telepon yang ia terima. Clara buru-buru menghabiskan makanannya.
"Jangan langsung tidur lagi," kata ibunya. Clara mengangguk. "Siap, Bu. Aku mau cek ponselku. Takut ada yang penting."
Clara mencari ponselnya dan betapa merasa konyol dirinya ketika tak ada satu pun notifikasi dari San. Ya ampun. Gadis itu merasa malu.
Mungkin, San sedang sibuk. Ya, bukankah beberapa hari terakhir, laki-laki itu terlihat sangat sibuk sekali? Ya, Clara harus memahami hal itu. Tak apa. Mungkin, besok pagi, ia akan mendapatkan kabar. Atau, sekarang saja, ia kirim pesan lebih dulu?
Gadis itu menimbang-nimbang. Mana yang lebih baik, yang harus ia lakukan. Menunggu atau memulai lebih dulu?
Clara kemudian berhenti memikirkan hal itu. Ia kemudian cukup tertarik dengan notifikasi lainnya. Ada panggilan telepon dari nomor tak dikenal.
Siapa? Apakah itu hanya orang iseng?
"Sudah, jangan main hape terus," ucap ibunya Clara.
Sebuah kalimat diucapkan ibunya. Kalimat yang cukup ia rindukan. Kalimat yang dulu terlampau sering diucapkan oleh ibunya kepada Clara atau Karin.
"Nanti sakit mata," omel ibunya lagi.
"Iyaa, Bu."
Clara kemudian melihat ibunya beres-beres lagi. Aih, kenapa ibunya itu suka sekali dengan yang namanya beres-beres?
"Bu, sudah. Biarkan saja. Jangan beres-beres terus."
"Tidak apa-apa. Biar kamu nyaman dan tidak kecapean. Hari ini libur saja, ya. Jangan ke mana-mana."
Clara tersenyum. Mendapat peringatan seperti itu, gadis itu malah senang. Ia memang menginginkan kalimat-kalimat semacam itu.
"Iya, Bu. Aku akan libur hari ini."
"Nah, bagus."
Clara masih terus memandangi nomor asing di ponselnya. Mungkin, itu hanya orang yang sedang salah sambung. Ya, mungkin saja.
Mungkin juga bukan.