Cerita Tora

1248 Words
Pagi harinya, Clara bangun dan menyadari kalau ia ketiduran. Suasana rumah tampak sangat nyaman. Ibunya itu, ah benar-benar, membuat Clara tak bisa mencari cara lain lagi untuk menyuruhnya berhenti beres-beres. Apa semua ibu di dunia memang begitu? Mengkhawatirkan hal-hal yang remeh? Tapi ya, tidak dapat dipungkiri kalau Clara juga merasa bersyukur karenanya. "Sudah bangun, Kak? Ibu pulang ke rumah dan aku akan segera berangkat kuliah. Ayo sarapan. Ibu sudah buatkan roti isi untuk kita." "Ah, kamu mau berangkat? Kenapa tidak libur saja?" tanya Clara, sembari kembali merebahkan diri. Lagi. "Mana bisa begitu. Sudah, ya. Aku akan berangkat," ucapnya sembari dengan secepat kilat menghabiskan roti miliknya. "Oke. Terima kasih, ya," ucap Clara. Karin keburu pergi ke luar. Clara segera mengetik pesan ke salah satu bagian kantornya, mengatakan bahwa ia tidak bisa masuk dikarenakan sakit. Dan saat itu pula, Clara menyadari bahwa San sudah meneleponnya tadi. Mungkin sekitar tiga puluh menitan yang lalu, jika melihat jam-nya. Gadis itu juga menerima beberapa pesan dari kekasihnya itu. [Maaf aku tidak menelepon semalam. Aku masih sibuk.] [Pagi ini, aku tidak bisa menjemputmu. Maaf, ya.] [Kamu belum bangun?] Clara terdiam lama, sebelum akhirnya ia mulai membalas pesan-pesan itu. [Dimaafkan.] [Tidak apa-apa, aku tidak berangkat ke kantor hari ini. Aku sakit.] [Aku sudah bangun sekarang.] Setelahnya, Clara tahu kalau pesan-pesannya tak akan langsung mendapat tanggapan San. Gadis itu pun kembali berbaring dan melamunkan beberapa hal. Seperti yang sering ia lakukan. Ah, tiba-tiba saja ia ingat kepada salah satu penggemar fanatiknya. Siapa lagi kalau bukan Arga. Apa kabar ia sekarang? Pikiran Clara terus melayang-layang. Dari satu lamunan, ke lamunan yang lain. Memang selalu begitu. Salah satu kebiasaannya yang sulit dihilangkan. Kadang, kalau kebiasaannya itu bisa mendatangkan imajinasi yang unik, maka itu akan jadi sesuatu yang bagus. Kadang, jika kebiasaannya itu mengarah kepada overthinking, maka itu akan menghasilkan sesuatu yang sangat buruk. Ketika gadis itu hampir saja kembali tertidur, sebuah telepon membuatnya kembali tersadar. "Halo," ucap Clara pelan. Itu rupanya adalah telepon dari nomor yang tidak dikenal lagi. "Halo, Clif. Ini aku. Tora." Deg. Clara sedikit waspada. Tora? Kenapa ia menelepon dari nomor yang berbeda? Seingatnya, dulu ia juga punya nomor Tora, tapi hanya disimpan saja, tak pernah mereka saling bicara di telepon. "Ada apa? Ada perlu apa?" tanya Clara lagi. Gadis itu mengingat semua yang San katakan. Maka dari itu, ia jadi berusaha berhati-hati. Ia tidak mau terjebak dalam basa-basi. Atau lebih jauh lagi, tertipu. "Kenapa begitu ketus?" tanya Tora lagi. Ada nada sedih di dalam kalimatnya. Clara berusaha menyingkirkan perasaan iba terhadap Tora. Tidak, bisa saja itu hanya kepura-puraan. Clara berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Makanya, ia bersikap to the point saja. "Maaf, aku tidak bermaksud bersikap ketus. Aku hanya ingin cepat tahu saja, ada apa kamu menelepon. Itu saja." "Maaf," ucap Tora. Clara jadi bingung. "Tidak perlu meminta maaf. Katakan saja, ada apa?" "Tidak. Aku harus meminta maaf." "Ya, sudah. Oke, aku maafkan. Meskipun aku tidak tahu salahmu itu di mana." "Tapi Clif, di dunia ini, memang ada orang-orang yang selama hidupnya lebih sering meminta maaf ketimbang menerima kata maaf. Meskipun seringnya mereka tidak tahu salah mereka di mana, meskipun seringnya mereka tidak mengerti apa yang salah, meskipun seringnya, mereka tidak bersalah sama sekali. Mereka tetap meminta maaf. Kadang dengan kerelaan sepenuh hati, kadang dengan kekesalan sepenuh hati, tapi disembunyikan dalam sekali. Tapi tidak apa-apa. Mereka mungkin lebih kuat dibandingkan aku atau kamu. Kita hanya tidak tahu saja. Tidak, kita juga kuat. Kita juga muungkin orang baik. Mereka hanya berusaha. Kita juga hanya berusaha. Tak ada yang salah." Tunggu. "Lalu, mereka yang tidak diberi kesempatan membela diri, mereka yang terlalu takut menyakiti dan tak terlampau berani membalas perkataan buruk dengan perkataan buruk lagi, mereka orang-orang kuat. Kamu tidak tahu saja, Clif. Kamu tidak tahu. Lalu, ketika mereka sudah memiliki keberanian itu, pada akhirnya mereka menyesalinya dengan begitu cepat. Clara terpaku. "Kenapa kamu bicara sampai sejauh ini?" "Aku hanya ingin kamu tahu. Tahu saja. Itu cukup." "Oke, kamu benar, Tora. Ada orang-orang yang seperti itu. Tapi, siapa yang seharusnya berubah? Mereka atau orang-orang yang menyakiti mereka? Kenapa orang-orang yang seperti itu tidak jujur saja?" "Tidak semudah itu, Clif." Kepala Clara mendadak pening. Pembicaraan Tora benar-benar menguras tenaga. Untuk pagi harinya yang belum ia isi dengan sarapan, rasanya itu merupakan satu topik yang terlalu berat. "Oke, maafkan aku. Kenapa kita tidak ke pertanyaan awal saja? Ada apa kamu menelepon?" Simpati Clara berubah jadi emosi. Ya, ia tahu. Tora mungkin sedang dalam kesulitan. Tapi pembicaraan setengah-setengah yang tidak jelas, membuat Clara agaknya jadi muak. Tora dan San. Keduanya sama saja. Dari kemarin, penjelasan mereka selalu setengah-setengah. Mana bisa Clara bersimpati kalau begitu? Ya, kalau pun simpati, simpatinya pun setengah saja. "Aku hanya butuh seseorang untuk mendengarkan. Aku juga ingin meminta maaf untuk kemarin. Kepadamu." "Baik. Aku sekarang ini, sedang mendengarmu, kan? Dan kemarin, kenapa? Aku tidak masalah mentraktirmu." "Bukan. Bukan soal itu." "Lalu, soal apa?" "Tidak jadi." Ingin rasanya Clara membanting ponselnya, tapi sayang. "Ya, sudah. Aku akan tutup teleponnya." "Jangan. Dengarkan aku." "Baik. Aku akan dengarkan." "Kalau kamu tidak dengarkan, aku merasa, lebih baik aku mati saja." Clara yakin, dari nada bicara Tora, laki-laki itu tidak sedang bercanda. Laki-laki itu sedang serius. "Aku sudah bilang, aku akan dengarkan. Jadi, ceritakan saja. Ceritakan semuanya." "Aku yakin, kamu akan sangat membenciku setelah ini." "Siapa yang tahu, bukan? Kita tidak tahu, apakah aku akan membencimu, atau tidak. Kalau kamu belum menceritakan apa-apa." Clara merasakan perutnya yang lapar. Ia segera beranjak untuk mengambil roti di meja makan. Sementara ponselnya masih ia tempelkan di telinga. Setelah jeda yang cukup lama, kembali terdengar suara Tora yang hendak bercerita. "Aku akan bercerita tentang seseorang. Juga tentang hidupku." "Baik. Aku akan dengarkan." Clara menggeser tempat duduk. Gadis itu sesekali mengunyah rotinya pelan, berharap tak menimbulkan suara yang berarti, yang mungkin membuat Tora merasa terganggu karenanya. Tora kemudian mulai bercerita. Dan ceritanya itu, hampir persis dengan cerita yang San ceritakan. "Aku berteman lama dengan seseorang. Dulu sekali. Aku kagum kepadanya dan aku juga merasa beruntung berteman dengannya." Ah, tentu saja. Clara cukup lega mendengar itu. Karena mungkin, apa yang akan Tora ceritakan, itu akan jadi pembuktian bahwa cerita San memang cerita yang benar. "Aku dan dia berteman baik, kami sama-sama bercita-cita jadi seorang penulis. Sampai akhirnya aku tahu kalau ia adalah pengkhianat." Deg. "Pengkhianat? Apa maksudmu?" "Ya, aku mendengarnya sendiri. Aku mendengar salah satu keluarganya menyuap salah satu juri kompetisi agar dia menang. Lucu sekali. Tapi menyakitkan bagiku. Jangan tanya kenapa aku tidak melaporkan atau berkoar-koar untuk itu. Keluargaku berada di bawahnya. Kuakui, aku berutang banyak kepadanya. Tapi, ketika harga diriku dilukai, rasanya jauh lebih menyakitkan." Clara berhenti mengunyah rotinya. "Clif, betapa menyedihkannya hidup orang sepertiku, bukan?" "Tora, dengar ...." "Ah, tentu saja. Kamu tidak akan mungkin percaya dengan semua yang aku katakan. Aku benar-benar tidak cukup bisa dipercaya, bukan? Apalagi setelah pertemuan kita di kedai kemarin. Aku juga minta maaf karena membuatmu pingsan." Pingsan? "Apa?" Clara jadi merinding. Gadis itu melihat sekeliling. Apa-apaan? Apa maksud Tora? "Apa maksudmu?! Bicaramu itu, yang jelas." Clara tidak tenang. Ia merasa seperti sedang diawasi. "Kamu meminum yang tak seharusnya kamu minum." Clara langsung teringat dengan minuman gratis pemilik kedai. "Jangan main-main denganku." "Aku tidak main-main. Sekarang, kamu tidak percaya padaku lagi, kan?" Clara ingin sekali berteriak. MANA MUNGKIN AKU BISA PERCAYA? "Maaf," katanya lagi. Pelan. Pelan sekali. "Oke. Tidak apa-apa." "Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin tahu bagaimana reaksi San kalau kamu pingsan." Clara benar-benar ingin segera menutup teleponnya dan menghubungi San saja. Ia terlalu takut. "Aku di depan rumahmu. Kemarilah. Atau aku yang ke sana?" Clara membeku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD