Kebenaran yang Mana

1205 Words
Saat Clara hendak mengunci pintu, Tora sudah lebih dulu membukanya. "Tora ...." Penampilannya jauh lebih baik. Tidak seburuk kemarin. Atau mungkin, kemarin itu hanya pura-pura? "Kamu, kita bicara di luar saja, ya?" Clara menahan pintu yang baru setengah terbuka itu, agar tak benar-benar terbuka sepenuhnya. Ia takut. "Tidak. Kita tidak bisa bicara di luar. Di luar tidak aman. Bicara saja di dalam. Jangan takut. Aku tidak bisa melakukan apa pun lagi kepadamu. Tidak akan. Kamu terlalu baik untuk disakiti. Itulah salah satu alasanku ingin bertemu denganmu sekarang. Kita punya kesamaan. Dulu, aku juga sama sepertimu." Ketika Clara sudah merasa bahwa tak ada tanda-tanda Tora akan melakukan kejahatan, gadis itu menurunkan kewaspadaannya. Ia mundur dan membiarkan Tora masuk. Apakah itu merupakan hal yang benar? Clara masih belum tahu. Hanya, ia sudah bersiap untuk kemungkinan terburuk. Ia tak akan lengah. Di tangannya, ponsel menempel. Tidak akan pernah ia lepaskan. "Rumahmu, bagus." "Ya, bagus." Clara tidak benar-benar membiarkan pintunya tertutup. Ia lalu mencari minuman untuk disuguhkan. "Tak perlu repot-repot," kata Tora. "Tidak, ini tidak merepotkan. Ini sudah jadi keharusan. Mana mungkin, aku tidak memberimu apa-apa, sekadar minum mungkin." "Baiklah. Aku senang, seseorang yang mungkin pernah aku sakiti di masa lalu, mau memperlakukanku dengan begitu sopan. Bahkan seseorang yang sudah mengenalku bertahun-tahun lamanya, tidak memperlakukanku sebaik dirimu." Apa seseorang itu, San? "Temanmu itu, yang kamu bilang tidak lagi memperlakukanmu dengan baik, apa dia yang dulu sangat dekat?" Tora mengangguk. Kemudian setelah menyuguhkan minuman, mereka berdua duduk berhadapan. "Apa yang mau kamu sampaikan?" tanya Clara. Sungguh, ia tak ingin berlama-lama. "Aku hanya butuh tempat bercerita." "Ya, baik. Aku akan dengarkan." "Terima kasih banyak." Tora menunduk, lesu. "Aku minta maaf, aku tidak bermaksud melakukan hal buruk kemarin. Kepadamu." "Haha. Aneh sekali, Tora. Mana bisa aku berpikir jernih, kalau kamu berusaha membuatku tertidur kemarin? Apa maksudnya itu?" "Aku pikir, kamu menghabiskan minumannya dan tidak sadarkan diri di depan pacarmu itu." "San?" Tora mengangguk. Akhirnya, Tora secara tak langsung mengakui kalau yang ia ceritakan selama ini ya, San. Siapa lagi memang. Ah, ya ampun. "Oke. Jadi, sekarang aku sudah tahu siapa yang kamu maksudkan selama ini." Tora mengangguk. "Ya, sekarang, kamu sudah tahu. Apa kamu percaya dengan semua yang aku ceritakan? Bahwa San itu, mendapatkan semua kesuksesannya bukan karena kemampuannya, tapi karena koneksi keluarganya, karena kelicikannya." Clara ingin sekali berpura-pura mengiakan. Akan tetapi, ia tidak bisa. Ia berharap, dapat membuat Tora tersadar kalau San tidak seperti yang laki-laki itu pikirkan. "Kalian itu, dulu bersahabat dekat, bukan?" Tora mengangguk lagi. "Kamu pasti sudah mengenalnya lama, ya. Aku iri." "Iri?" Clara mengangguk. Percakapan mereka perlahan jadi santai. Sepertinya, Tora memang sudah kehilangan rencana untuk berbuat buruk lagi. Ia sudah di tahap ingin menyerah dan pasrah dengan semua yang akan terjadi. Lebih jauh dari itu, tentang ia yang hanya butuh tempat untuk bercerita, itu memang benar adanya. "Ya, aku iri. Kadang, meskipun aku sudah mengenalnya, aku merasa belum benar-benar tahu isi hati dan pikirannya, Tora. Aku kadang bertanya apa benar, aku ini pacarnya?" Tora tersenyum. "Itulah kenapa aku ada di sini. Dan untuk semua yang pernah kuceritakan padamu, itu semua benar. Tak ada yang kusembunyikan." Clara mengangguk. "Ya, katakanlah itu benar. Katakan kalau dulu, ia pernah licik dan memanipulasi hasil kompetisi. Katakan bahwa dulu, ia dan keluarganya, pernah menyuap orang agar pupularitasnya naik. Katakanlah begitu. San yang kamu kenal, adalah San yang demikian. Buruk dan licik. Tapi, bagaimana dengan San yang datang kepadaku di masa kini? Dia bukan lagi San yang kamu kenal, Tora. Bukan. Manusia bisa berubah." Tora tertawa terbahak-bahak. "Kamu ini, benar-benar, ya." Clara jadi kesal. Ingin sekali ia membanting gelas yang ada di depannya kepada Tora. "Yang aku katakan itu, benar, Tora. Kamu tidak boleh menutup mata untuk hal itu. Kamu pasti memahami, kalau manusia itu bisa berubah. Kamu, meskipun aku berusaha mengerti bagaimana keadaanmu, tapi aku mengenal San yang di masa sekarang, mungkin lebih lama darimu. San yang kamu kenal lama, adalah San yang berada di masa lalu." Tidak dapat dipungkiri, apa yang Clara katakan, semuanya itu ada benarnya juga. Namun, Tora masih ingin tertawa. Masih merasa lucu. "Kamu ini, Clif. Kamu belum tahu saja, siapa sebenarnya San itu. Seperti yang kamu bilang di awal tadi itu, kamu kadang merasa bahwa kamu belum benar-benar mengenal San? Ya, sepertinya memang begitu. Kamu harus tahu beberapa hal tentang San di masa sekarang. Semua yang mungkin kamu tahu itu, sebagiannya bisa jadi adalah kebohongan." Sebagian dari diri Clara ingin menyangkal semua yang Tora sampaikan. Gadis itu ingin sekali mengucapkan kalimat demi kalimat pembelaan, tapi tak ada. Clara tak memilikinya, karena di lubuk hatinya yang dalam, gadis itu juga ingin tahu apa yang Tora "katanya" tahu. "Baik. Ini yang pertama kali harus kamu tahu, Clif." Nada bicara Tora jadi semakin serius. Clara yakin, laki-laki itu tidak sedang berbohong. Clara bisa merasakannya. "Apa?" "San, tidak sebaik yang kamu pikirkan. Tidak sehebat yang kamu pikirkan. Dia, juga sama saja. Sepertimu. Sepertiku dulu." "Apa maksudmu?" "Ya, dia juga bekerja di bawah Kristo Wijaya. Persetan dengan idealisme. Dia juga budak." Clara terdiam mendengar itu. Tatapan Tora, kata-kata tegasnya, nada bicaranya, semuanya, terlihat bahwa tak ada satu pun kebohongan yang ia sedang tunjukkan di sana. "Sebentar ...." Clara masih belum bisa menerima semua informasi yang Tora katakan tadi. Semua itu seperti masuk ke dalam kepalanya, tapi kemudian tertahan. Ditahan oleh semua kalimat demi kalimat bijak San yang selalu ia terima. Dan lagi, bukannya memang ia penulis yang idealis? Semua orang tahu itu! Tora pasti berbohong! "Aku tahu, Clif. Sulit bagimu untuk percaya. Ya, kan? Tapi, itulah kebenarannya." Kebenaran? Apa? Yang mana? Clara jadi pusing. "Oke. San tidak pernah mengatakan kepadaku kalau ia tidak bekerja di bawah Kristo Wijaya. Dia juga tidak mengatakan kalau dia bekerja di bawah Kristo Wijaya. Dan aku, tidak pernah bertanya. Jadi, dia tidak berbohong. Ya, kan? Apa masalahnya?" "Benar, Clif. Dia memang tidak berbohong. Tapi, dia tidak bicara soal itu kepadamu. Kenapa? Apa alasannya? Kalau memang itu bukan pekerjaan yang buruk, kalau memang pekerjaannya di bawah Kristo Wijaya itu bukan pekerjaan yang buruk, lalu kenapa dia tidak terang-terangan saja mengakuinya? Bukankah itu akan lebih mudah bagi kalian. Hei, pasangan kekasih bekerja di bawah perusahaan yang sama. Itu seharusnya membuat siapa pun bangga. Tapi, dia tidak. San berusaha menyembunyikannya darimu." Clara jadi semakin pusing saja dengan kata-kata yang terus diucapkan dengan mudahnya oleh Tora. "Kristo Wijaya itu, pengkhianat negara. Dia korup." "Apa yang kamu katakan, Tora? Omong kosong macam apa itu?" "Aku tidak bohong. Dia memang jahat. Dia sembunyi di balik topeng manusia baik. Kita juga ikut andil dalam menyembunyikan kejahatan-kejahatannya. Kita terus menaikkan citra baik untuknya, sampai tak ada sedikit pun celah untuk membuat namanya ternodai. Kamu pikir saja, Clif. Tidak mungkin ada manusia yang sempurna. Apalagi seorang politisi. Kamu pikir saja." "Oke. Ini semakin membuatku pusing." "Dan kamu tahu, San juga berperan penting untuk Kristo Wijaya dalam menutupi kejahatannya. Dia bukan penulis biasa, Clif. Dia bukan penulis surealisme biasa yang kamu atau orang lain tahu. Dia tidak begitu." Sebuah panggilan telepon membuat Clara terkejut. Telepon itu dari San. "Halo, San?" Clara mengangkat teleponnya. Tora menggelengkan kepala, memberi isyarat agar Clara tak memberitahu kalau sedang bersama Tora. "Kamu sakit?" "Ya, aku sakit. Tidak enak badan." "Aku akan ke sana." "Hah? Apa? Tidak perlu, aku baik-baik saja." "Kamu sedang bersama seseorang?" Sekilas, Clara melihat ke arah Tora. "Ya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD