Siapa yang Kalah?

1218 Words
"Siapa?" Clara melihat Tora sekali lagi. "Ibuku. Dia sering datang sekarang." Tanpa berkata-kata lagi, hanya tersenyum saja, Tora kemudian pergi dari rumah Clara. Clara tak bisa menahan laki-laki itu. Lagi, ia memang menginginkan percapakan antara dirinya dengan Tora segera berakhir. Jadi, ya. Sudah. "Baguslah. Kamu, apa yang sakit? Aku boleh datang, kan?" "Tidak ada yang sakit. Aku sudah lebih enakan." "Oke. Aku ke sana, ya." "Kalau kamu sedang sibuk, ya, jangan. Tidak usah." "Ya, aku sibuk. Terima kasih untuk semua perhatiannya. Tapi, aku tetap ingin datang." Clara tak bisa menolak lagi. Jika ke ngeyel, kemungkinan besar, San pasti akan menaruh kecurigaan terhadapnya. "Oke, baik. Bawakan aku makanan enak, ya, hehe." Clara menutupnya dengan sangat manis. Berharap itu dapat menutupi kegugupan yang tengah ia rasakan. Dan sepertinya berhasil. Setelahnya, Clara bersiap-siap. Ia singkirkan gelas-gelas yang tadi ia suguhkan untuk Tora, lalu menyapu, menyemprotkan pengharum ruangan, pokoknya berusaha menghilangkan jejak kalau sudah ada orang lain yang masuk ke rumahnya. Tak lama setelah itu, San datang. Seperti biasa, walaupun terlihat agak lelah, laki-laki itu tetap bersikap ceria. "Ini makanannya. Roti yang enak. Kamu harus makan ini." Clara mengangguk. "Wah, aku suka ini. Terima kasih, ya." "Sama-sama. Aku akan duduk sebentar saja." "Oke. Mau minum apa?" "Emh, tidak perlu. Sebentar ...." Clara segera berbalik ketika San menahan kalimatnya. "Apa? Ada yang salah?" "Apa ada yang berubah dari tatanan ruangan ini?" "Ah, iya. Ibuku. Beberapa barang, Ibu yang pindahkan. Dia itu senang sekali dengan yang namanya beres-beres. Tidak tahu kenapa, aku sampai kehabisan cara untuk menyuruhnya berhenti beres-beres. Tetap saja, Ibu ingin melakukan itu. Katanya, agar aku tidak terlalu capek." "Kurasa, semua ibu di dunia ini memang begitu. Mereka selalu berusaha membantu pekerjaan anaknya." "Iya. Aku mau tanya sesuatu." Clara kini duduk berhadapan dengan San. Gadis itu menatap San dalam-dalam. "Ada apa? Ya ampun. Aku tidak suka suasana semacam ini. Membuatku takut saja, hehe." "Bukan apa-apa. Bukan hal yang serius, tapi aku ingin bertanya tentang, keluargamu." "Oke, boleh." "Kamu kan sudah banyak tahu tentang keluargaku, bukan? Nah, giliran aku yang juga ingin banyak tahu tentang keluargamu." "Boleh saja. Apa yang ingin kamu tanyakan. Silakan. Bebas. Tanyakan banyak hal soal keluargaku. Aku akan dengan senang hati menjawabnya." Clara berpikir sejenak. Sebenarnya, itu adalah pertanyaan spontan. Ia hanya ingin berbasa-basi dan menahan San lebih lama. Namun, kalau itu juga bisa membuat Clara yakin, bahwa semua yang Tora katakan adalah kebohongan semata, maka Clara harus memanfaatkan kesempatan bertanya sebaik-baiknya. Bisa jadi, di hari lain, tak ada lagi kesempatan. "Apa ayahmu anggota dewan? Aku banyak dengar soal ini." San mengangguk. "Ibumu juga politisi?" "Ya, sekarang sudah tidak terlalu aktif tapi. Ibuku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, membantu pekerjaan ayahku sesekali, dan ya, begitu. Seperti kebanyakan ibu lainnya." Clara mengangguk-angguk. Tidak ada yang aneh soal itu. Lalu, bagaimana caranya agar bisa mematahkan semua yang Tora katakan? Bahwa San bekerja di bawah Kristo Wijaya, bahwa laki-laki di hadapannya kini merupakan salah satu orang yang berperan juga dalam menutupi kasus jahat Kristo Wijaya. Itu membuat Clara jadi kembali pusing. San yang melihat perubahan ekspresi Clara, tersenyum jahil. "Kamu ini, kenapa?" "Hah? Tidak. Aku, tidak apa-apa. Aku hanya ...." Clara berpikir, "aku hanya pusing. Sebaiknya aku tidur, mungkin." "Ah, iya. Benar. Kamu harus istirahat. Aku akan permisi." "Kamu sudah mau pergi?" tanya Clara dengan konyolnya. "Bukannya tadi, kamu bilang mau istirahat?" "Eh, iya. Hehe. Oke. Kalau begitu, selamat bekerja, ya!" Clara mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi. San tersenyum. "Iya. Aku akan semangat bekerja. Terima kasih, ya." "Aku tang terima kasih. Terima kasih untuk rotinya, untuk kunjungannya. Terima kasih untuk semuanya." "Iya, sama-sama." Clara mengantar San sampai ke depan rumah. Gadis itu melambaikan tangannya ketika San meliriknya lewat kaca jendela mobil. Sebelum mobil itu benar-benar melaju, meninggalkan rumah Clara. San sudah pergi. Clara kembali bersikap waspada. Takut kalau Tora kembali lagi ke rumahnya. Segera, ia menutup pintu rumahnya rapat-rapat dan menguncinya. Selanjutnya, Clara duduk di depan laptop kesayangannya. Karena ia merasa tak ingin terlalu fokus kepada hal-hal yang belum jelas dan begitu membuatnya sakit kepala, sambil mengunyah roti dari San, gadis itu mulai menulis. Menulis apa saja, berusaha mengalihkan pemikirannya. Ada tiga poin yang harus ia yakinkan. Pertama, apakah Kristo Wijaya betul-betul menyembunyikan sesuatu dan sesuatu itu adalah keburukannya? Kedua, apa benar San bekerja untuk Kristo Wijaya dengan mengetahui semua itu? Ketiga, kenapa San harus menyembunyikan semua itu darinya? Apa karena takut Clara kecewa? Semua poin itu Clara kumpulkan dan akan ia cari tahu segera, tapi tak perlu buru-buru. Karena bisa jadi, Toralah yang sebenarnya sedang membual. Bisa jadi, ialah orang aneh dan gila yang sebenarnya. Dan Clara hanya sedang membuang-buang waktu saja. Upaya menulisnya tidak berhasil. Ia beralih kepada kegiatan lain. Membaca buku. Apalagi memang, pelarian seorang penulis, kalau tidak menulis, ya, membaca. Atau kadang membuat skenario di dalam kepala. Clara pun mulai terhanyut dengan buku yang ia baca. Gadis itu berhasil keluar dari pemikirannya yang sejak tadi berputar hanya kepada San dan Tora saja. *** San menyetir mobilnya dengan lebih cepat, ketika ia mendapat kabar bahwa Tora menyerahkan diri kepada Romi. "San, coba tebak, apa kabar yang paling membahagiakan pagi ini?" "Apa?" "Tora sedang ada di hadapanku. Ia menyerahkan dirinya kepada kita. Lihat, sepertinya ada yang sudah bosan melarikan diri," ucap Romi lagi. "Baik. Aku akan segera ke sana." San bergegas. Ia tak ingin Tora kabur lagi. Kasus tersebut harus segera diselesaikan. San merasa sudah cukup lama mantan sahabatnya itu bermain-main. Cukup sudah. Waktunya sudah banyak yang terbuang hanya karena mengurusi kasus tentang Tora itu. San kembali mengingat kata-kata Kristo Wijaya beberapa waktu lalu, ketika kasus bullying yang terjadi kepada San dan Clara di waktu yang bersamaan. "Selesaikan sendiri, kalau kamu memang mau semuanya aman. Kekasihmu akan baik-baik saja. Pekerjaannya juga tak akan lepas. Tapi, kamu harus selesaikan sendiri, kalau tidak, orangku yang lain akan menyelesaikannya lebih cepat." San tahu, kata-kata 'lebih cepat' di sana, itu adalah berarti dilenyapkan oleh yang namanya kematian. Dan ia, tak sampai hati jika harus melihat mayat Tora karena sesuatu yang berhubungan dengannya. Jika pun suatu hari Tora mati, maka San tak ingin ia punya kaitan dengan hal tersebut. Tak lama, San sudah sampai di sebuah rumah yang selama ini cukup tersembunyi. Cukup jauh dari keramaian dan tak begitu mencolok. Laki-laki itu masuk perlahan ke rumah, dan berjalan terus, kemudian turun ke bawah, ke sebuah ruangan di bawah tanah. Sedikit gelap. "Lihat, siapa orang yang sedang ada di depan kita sekarang," ujar Romi dengan bangga. Ada bekas pukulan di wajah Tora. Itu pasti ulah Romi. "Lain kali, jangan lakukan apa pun tanpa seizinku," ucap Tora dengan tegas. Romi pun menjauh dari Tora. Tora terlihat sangat pasrah. Ia tak diikat. Hanya duduk dan jelas, kalau tak ada perlawanan apa-apa darinya. San dan Tora kini saling berhadapan. San meraih kursi lain, sehingga mereka benar-benar dekat. Tora yang sedari tadi menunduk, perlahan mengangkat kepalanya. "Apa kabar?" tanya Tora pelan, tapi penuh percaya diri. "Menurutmu, bagaimana? Dengan semua kekacauan yang kamu buat, aku baik-baik saja?" "Haha. Setidaknya, pada akhirnya, aku tetap kalah, bukan? Jawab aku, San. Siapa yang kalah? Aku? Kamu? Kita? Jujur saja. Santai denganku." San hanya menatap tajam ke arah Tora, tanpa bisa membalas perkataan laki-laki itu. "Siapa yang sebenarnya kalah, San? Aku? Aku menyerahkan diriku sekarang. Aku mengakui semua kesalahan atas apa yang telah kulakukan terhadapmu dan Clif. Tapi, sebelum aku dimatikan, apa kamu punya kata-kata terakhir?" San tertawa. Bukankah seharusnya ia yang menanyakan itu kepada Tora?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD