Pertemuan Kembali

1200 Words
Akhirnya pertemuan dengan Arga pun terjadi. San yang tadinya hendak ikut serta, rupanya ada pekerjaan mendadak. Awalnya San seperti tidak rela, jika Clara bertemu dengan Arga tanpa dirinya. Akan tetapi, Clara mencoba meyakinkan San kalau pertemuannya dengan Arga memang betul-betul hanya sebatas penggemar dan idola. Tak lebih. Padahal, sebenarnya, pada kenyataannya, Clara lebih menganggap Arga itu seperti teman. Ya, ia ingin menganggap kalau penggemar adalah teman. Clara sebenarnya tak ingin terlalu dipuji-puji. Sebab ia menyadari, kalau kemampuannya masih harus terus digali. "Maaf, menunggu lama?" tanya Arga. Ia terlihat panik. Clara mengangguk. "Ya, aku menunggu lama. Hampir seminggu, aku menunggu balasan darimu. Ck-ck-ck. Sebenarnya, yang penulis aslinya itu siapa? Jangan-jangan sebenarnya aku ini yang penggemarmu." Karena mengatakan kalimat itu sambil tersenyum, Arga tahu kalau Clara sedang bercanda. "Maaf, ya. Aku harus cek dulu ke dokter tadi." "Cek? Kamu belum sembuh benar?" "Ah, tidak. Hanya cek biasa. Untuk memastikan. Tenang saja, aku sudah sehat. Kamu bisa melihat sendiri, kan? Lihat," ucap Arga sambil memperlihatkan gerakan-gerakan konyol demi meyakinkan Clara kalau ia memang sudah bugar. "Haha. Oke-oke. Aku percaya. Kamu mau pesan apa?" tanya Clara. "Aku akan pesan makanan dan minuman yang sama denganmu." "Wah, baik-baik. Itu sudah membuktikan kalau kamu memang benar penggemarku." Arga tersenyum. "Terima kasih, ya." "Heh, aku tidak akan membayar makananmu, kenapa harus berterima kasih?" "Bukan-bukan, lagipula, siapa yang memintamu membayar makananku. Aku hanya ingin berterima kasih karena sudah mau bertemu denganku. Aku tidak menyangka kalau aku bisa bertemu dengan idolaku sekarang." "Ya, betul. Sebelum aku benar-benar jadi sangat sukses dan terkenal, maka kamu harus memanfaatkan kesempatan ini, Arga." "Panggil saja, Ar." "Oke, Ar." "Ya, betul, Clif. Sebelum kamu terkenal, jumpa fans dengan banyak penggemar yang ratusan atau puluhan ribu jumlahnya." "Aduh, kamu ini, Ar. Bisa saja. Terima kasih, ya. Aku benar-benar tak pernah menyangka. Bahwa ternyata, di dunia ini, ada yang menyukaiku sungguh-sungguh, bahkan dari dulu, dari aku yang bukan siapa-siapa. Terima kasih ya, Ar." Clara tersenyum, matanya lurus menatap Arga. Namun laki-laki itu menunduk. "Kamu tidak pernah menjadi bukan siapa-siapa. Di mataku, kamu adalah sosok paling menginspirasi. Lewat karya, tulisan, setiap apa yang kamu tampilkan, semuanya." Clara jadi semakin senang saja. Mendengar kalimat demi kalimat dari Arga, membuatnya merasa kalau setiap usahanya dalam meniti karir sebagai penulis, tidaklah sia-sia. Mereka menikmati makanannya. Dua makanan dan minuman yang sama dan dua-duanya adalah makanan dan minuman kesukaan Clara. Buttermilk waflle dan jus alpukat. Tak lupa air putih juga. Ya, Clara adalah salah satu manusia yang setiap makan atau minum yang ada rasanya, pasti harus minum air putih. Seringnya ia merasa heran kepada orang-orang yang setelah makan, mereka cukup minum jus saja. Tanpa air putih lagi. Dan hal itu pun, membuat Arga tertarik. "Padahal sudah ada jus." "Ya, aku tidak bisa tanpa air putih." "Menarik," ucapnya. "Manusia itu unik, bukan?" Arga mengangguk. "Apa ada kebiasaan lain yang sama uniknya dengan ini?" Arga penasaran. Layaknya seorang penggemar, pasti selalu ingin tahu perihal apa saja yang dikerjakan atau yang disukai sang idola. "Aku, apa, ya? Aku suka menatap dinding kamar." Arga tertawa pelan. "Menatap dinding kamar? Untuk apa? Kenapa? Apa dinding kamarmu memiliki ukiran kuno?" "Tidak. Dinding kamarku putih, polos." "Ya ampun. Memangnya, apa yang kamu pikirkan ketika menatap dinding yang polos itu?" "Emmh, begini. Ketika aku overthinking, berpikir berlebihan terhadap sesuatu, atau ketika aku merasa kebingungan harus memutuskan di antara dua pilihan, maka aku akan melakukan itu. Aku akan menatap dinding kamarku yang berwarna putih polos itu." "Supaya?" "Supaya berpikir lebih jernih. Ketika aku menatap dinding kosong, pikiranku juga seolah ikut dibersihkan. Dan dengan begitu, akan lebih mudah bagiku untuk lebih tenang, untuk lebih bisa berpikir bijak." Arga semakin terkagum-kagum saja. Ia merasa sudah tidak salah dalam memilih idola. "Aku tidak salah." "Tentang?" "Aku memilihmu sebagai idola. Sebagai seseorang yang kukagumi," ucap Arga. Lagi-lagi, Arga memuji Clara. "Sudah, cukup. Jangan terus memujiku, Ar. Kamu tidak tahu saja, aku juga punya banyak kekurangan." "Tidak masalah. Aku tetap akan kagum." "Oke-oke. Sebaiknya, kita bicarakan saja hal lain. Dari tadi, sepertinya kita hanya bicara tentang aku saja." "Oke-oke. Memangnya, apa yang mau kamu tahu dariku, Clif? Aku orang biasa yang sebenarnya, tidak terlalu punya bakat apa pun." "Emmh, tidak punya bakat? Kalau begitu, apa kamu punya hal yang paling kamu sukai? Apa hobimu?" "Aku tidak terlalu tahu. Banyak yang sangat kusukai, tapi aku tidak bisa melakukan semuanya." Clara tertawa pelan. "Kenapa tidak?" "Ya, karena, karena memang tidak bisa saja. Aku bahkan pernah berpikir pergi jalan-jalan, keliling dunia, ke manapun yang kuinginkan. Aku belum pernah melakukan perjalanan jauh, tapi meskipun belum pernah, aku yakin, aku akan menyukainya." Arga mengatakan kalimat demi kalimat tadi dengan sangat bersemangat. "Jadi, kamu sudah yakin, kalau kamu akan menyukai suatu hal, padahal itu belum pernah kamu lakukan?" Arga mengangguk. Kemudian ia meminum jus alpukatnya yang tinggal seperempat. "Apa kamu suka menggambar?" tanya Clara lagi. "Aku tidak yakin, tapi gambarku tidak terlalu buruk." "Mungkin, kamu bisa menggambar atau melukis sesuatu, untuk kover di novelku? Menggambar atau melukislah, aku tunggu karyamu." Arga tersenyum. "Baik. Kalau begitu, aku akan belajar menggambar atau melukis. Agar aku bisa ikut andil dalam karyamu." "Bagus. Tapi, Ar, kamu harus tahu. Sekarang aku bekerja. Ah, sungguh itu benar-benar membuatku kehilangan banyak waktu untuk menulis cerita-cerita yang biasa kutulis sebelumnya." "Bekerja?" "Ya, maksudku, aku bekerja di bawah kontrak perusahaan. Aku tetap menulis, tapi sesuai dengan prosedur yang berlaku di perusahaan itu." Arga mengangguk-angguk. Ia tidak terlalu tertarik soal di mana Clara bekerja. "Apa itu menyenangkan? Apa itu membuatmu merasa bahagia? Nyaman?" Ya, Arga lebih tertarik dengan perasaan Clara ketika memilih bekerja di bawah perusahaan. Apakah gadis itu bahagia? Apakah idolanya merasa nyaman? "Baik. Lumayan. Aku suka. Dan ya, kamu tahu, Ar. Hidupku jadi lebih terjamin. Aku juga jadi bisa membantu keuangan keluargaku." "Bagus kalau begitu. Aku ikut senang mendengarnya. Sebagai penggemar yang baik, aku akan selalu mendukung apa pun keputusan idolaku, asalkan itu baik dan membuatnya merasa bahagia." "Maaf, ya. Aku tahu kamu mungkin menantikan beberapa karyaku lagi." "Ah, tidak apa-apa. Santai saja." "Oke, selain ingin keliling dunia dan dengan sedikit paksaan, mau belajar menggambar Karen aku mau kamu yang membuatkan kover untuk bukuku selanjutnya, meskipun belum ada tanda-tanda aku menulis buku lagi, hihi. Aku mau tanya lagi." Arga senyum-senyum melihat tingkah dan ekspresi Clara yang lucu. "Tanya apa? Silakan." "Emh, apa kesan pertamamu saat bertemu denganku?" "Saat di seminar itu?" Clara mengangguk. "Baik. Kesan pertama saat bertemu denganmu, tentu saja itu adalah hal yang luar biasa. Bagi seorang penggemar, itu kesempatan emas." Clara tertawa. "Oke-oke. Sepertinya pertanyaanku salah. Ini kalau begini, aku akan kembali memancing kalimat-kalimat darimu yang berisi pujian." "Hehe. Tentu. Apalagi memang yang bisa kusampaikan selain kekagumanku." "Wah, aku jadi merinding." "Eh, tenang-tenang. Aku bukan orang aneh." "Iyaa. Aku hanya bercanda." Sebuah telepon membuat percakapan mereka berhenti. Clara mengangkat telepon dari San. Katanya tadi, laki-laki itu hendak menyusul setelah selesai dengan urusannya. "Iya. Ya, masuk saja. Aku di meja nomor 15." Tak lama, San datang. Laki-laki itu melambaikan tangan dan Clara menyambutnya. "Sudah selesai pekerjaanmu? Kenalkan, ini Arga. Arga, ini San." Keduanya saling bersalaman. San menatap Arga sedikit selidik. "Apa aku pernah melihatmu? Sepertinya, wajahmu tidak asing." Sontak saja, Arga tertawa. "Sepertinya terbalik. Aku yang harusnya bertanya. Kamu kan penulis terkenal. Aku yang sering melihatmu." San mengangguk-angguk. Ya, benar juga, pikirnya. Mungkin, itu hanya perasaannya saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD