Pulang dari makan malam, Clara tak bisa tidur. Ia pandangi lagi kertas pemberian dari San. Ia baca berulang-ulang kata-kata yang tertera di sana.
"Clif, jatuh cinta kepadamu, aku sudah seperti jatuh ke jurang tanpa dasar. Dalam dan tak akan pernah sampai. Tak ada ujungnya. Tak ada habisnya. Serius."
Clif loncat-loncat kegirangan di atas tempat tidurnya. Layaknya bocah kecil yang mendapatkan sebuah mainan yang sudah didambakan sejak lama.
Ia memejamkan mata, berbaring. Mencoba tenang dan karena itu, ia dapat mencium aroma lime dan vanilla dari pengharum ruangan. Ya, ia membeli pengharum dengan aroma yang sama seperti pengharum di mobil milik San. Lime dan vanilla. Ia menyukainya dan semakin menyukainya.
Setelah beberapa lama, Clara membuka ponselnya. Rupanya ada beberapa pesan di WA grup, dan pesan dari seseorang yang ternyata setelah Clara cek, itu pesan dari Naren.
[Ada yang mau aku sampaikan.]
Pesan itu sudah dikirim sejak tadi rupanya. Mungkin saat San sedang menyatakan cinta, atau saat Clara fokus hanya kepada San saja.
[Tentang apa?]
Clara bertanya balik. Agak dingin, karena entah kenapa, suasana bercakap dengan Naren tak lagi memiliki nuansa yang menyenangkan seperti sebelum-sebelumnya.
Tak disangka, Naren langsung membalas.
[Aku minta maaf. Karena aku belum bisa memenuhi apa yang sudah kukatakan sebelumnya.]
Clara mencoba mengingat apa yang sedang dibicarakan oleh Naren.
[Minta maaf, kenapa?]
Akhirnya Clara mengirim pesan berisi pertanyaan itu. Ia belum mengingat dan belum paham dengan apa yang sejatinya sedang dibicarakan oleh Naren.
[Maaf, karena aku pernah bilang akan mengajakmu bertemu. Tapi, aku belum bisa. Aku sedang ada kesibukan.]
Clara menghela napas membaca pesan dari Naren. Memangnya, kapan Naren tidak sibuk? Clara menggerutu di dalam hati. Naren selalu sibuk. Bahkan terlampau sibuk. Gadis itu bahkan merasa kalau Naren terlalu keras kepada dirinya sendiri.
[Tidak apa-apa. Semoga nanti kita benar-benar bisa bertemu. Jangan lupa istirahat, ya ....]
Clara memandangi pesannya itu. Belum menekan tombol send. Ia menimbang apakah memberi perhatian kepada orang lain, selain San, itu akan jadi sesuatu yang salah? Bukannya Clara sudah jadi kekasih San? Dan dengan Naren, hubungannya adalah teman?
Clara menhapus beberapa kata di pesannya.
[Tidak apa-apa. Semoga nanti kita benar-benar bisa bertemu. Semangat, ya! Sukses selalu!]
Benar. Clara merasa apa yang ia sampaikan kepada Naren sudah paling tepat. Memberi semangat lebih baik daripada memberi perhatian menyuruh istirahat. Lagipula, Naren kan sudah dewasa. Kalau ia lelah, pasti istirahat.
Clara terdiam. Ya, sudah, itu memang paling betul, ucapnya dalam hati. Mencoba meyakinkan dirinya sendiri, kalau apa yang ia sampaikan memang sudah tepat.
Ada yang memang terasa aneh. Seperti ada ruang kosong antara dirinya dan Naren. Setelah kehadiran San, ruang itu menganga lebar. Membuat Clara tak lagi bebas mengatakan banyak hal kepada Naren.
Namun, itu tak masalah. Toh, Naren baik-baik saja dengan itu semua. Laki-laki itu tetap dingin dan cuek. Seperti setelah pesan dari Clara tadi. Pesan Clara tak lagi mendapat balasan apa-apa dari Naren. Barang ucapan terima kasih atau kata 'iya' pun tak ada.
Sedikit terbersit di dalam pikiran Clara, soal apa yang membuat Naren jadi sedemikian dingin seperti kulkas.
Mungkin, ada sesuatu. Ah, kenapa pula ia harus penasaran dan sepeduli itu? Kenapa pula ia harus mencari tahu sebab berubahnya pribadi seseorang? Clara sudah bertekad. Ia harus lebih memikirkan dirinya dan hubungannya dengan San. Ya, tidak boleh ada yang lain.
Gadis itu kembali memandangi kertas dari San. Ah, entah. Mungkin jika satu juta kali pun ia membaca tulisan San, itu tak akan pernah sedikit pun membuat perasaan senangnya berkurang.
Clara terpejam sambil tersenyum. Ia berharap, ia akan bermimpi yang indah-indah. Semua tentang San, mungkin. Ya, ia berharap mimpinya hanya tentang laki-laki itu saja.
***
Pagi harinya, Clara mendapat pesan dari Arga. Salah satu penggemar Clara yang selalu mendukung Clara. Dan rupanya, pesan dari Arga itu cukup banyak. Sepertinya, semua pesan itu dikirim sejak tadi malam.
Pesan pertama.
[Clif, aku minta maaf. Aku baru membaca pesanmu.]
Kedua.
[Aku tahu, ini sangat tidak sopan. Mengabaikan pesanmu, aku benar-benar menyesal. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tidak sehat beberapa hari ini. Aku minta maaf.]
Ketiga.
[Clif, maaf.]
Keempat.
[Kalau kamu tidak sibuk, bagaimana kalau kita jadwalkan ulang pertemuan kita? Aku ingin bicara banyak hal denganmu. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Ini adalah permintaan murni dari seorang penggemar.]
Clara tersenyum membaca deretan pesan dari Arga. Sungguh, Clara tak memikirkan hal yang bukan-bukan kepada salah satu penggemarnya itu. Malah, semua kalimat dari Arga terkesan sangat lucu baginya.
Gadis itu pun mengirim balasan kepada Arga.
[Oke. Mari jadwalkan. Tapi hari ini aku bekerja. Ya, mungkin kamu belum tahu, kalau aku sudah kerja di kantor sekarang. Jadi, aku tidak akan bisa bertemu denganmu di siang hari. Mungkin sore, sepulang kerja. Dan, satu lagi. Pikirkan saja dulu soal kesehatanmu. Kita bisa bertemu kapan pun. Ya, kan? Masih ada hari esok.]
Setelah membalas pesan Arga, Clara merenggangkan otot-ototnya yang sedikit kaku. Ia menguap dua kali, sebelum akhirnya berhasil melawan kemalasan dan kebiasaan anehnya--menatap dinding kamar berlama-lama-- dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Sesekali, Clara bersenandung riang. Ah, ia sedikit gugup sebenarnya. Mengingat San akan kembali menjemputnya lagi seperti kemarin dan ya, mereka akan bertemu dalam keadaan sebagai sepasang kekasih. Sambil menggosok gigi, Clara menatap cermin di kamar mandinya dan senyum-senyum sendiri. Ia ingat tentang wajah San yang malu-malu, bingung, dan canggung malam kemarin itu.
Clara tertawa kalau sudah ingat ekspresi San. Ah, kenapa ia mentertawakan laki-laki itu? Padahal, bisa jadi, ekspresi wajah yang Clara miliki saat menerima pernyataan cinta San juga sama anehnya. Ya, Clara dapat menebak kalau wajahnya pastilah sangat aneh saat itu. Itu jelas sekali.
***
Kegiatan lagi hari Clara, hampir sama seperti hari kemarin. Dijemput oleh San, bicara banyak hal tentang berbagai topik yang acak, sesekali bercanda dan saling mengejek. Lalu sarapan bersama, bercerita tentang project masing-masing, dan masih banyak lagi tentang hal lainnya.
Mungkin, terdengar seperti kebiasaan yang membosankan. Akan tetapi, bagi Clara yang baru saja menemukan sosok seperti San. Yang sangat mengerti dirinya, sangat baik dan selalu membuat Clara merasa nyaman, setiap hari, sekalipun kegiatannya hampir sama, tapi bersama dengan San, segala sesuatu yang biasa, selalu jadi istimewa.
"Oke. Nanti pulangnya, aku akan jemput kamu lagi, ya."
Clara mengangguk. Sesaat setelah itu, ia tiba-tiba teringat sesuatu.
"Apa aku boleh pergi menemui seseorang?"
"Siapa?"
"Penggemar."
"Ah, kamu ada acara temu penggemar?"
Clara menggeleng. "Ayolah, aku belum seterkenal itu untuk memiliki acara temu penggemar besar-besaran seperti yang mungkin sedang kamu pikirkan sekarang."
"Hehe. Aku yakin, suatu hari kamu juga akan memiliki acara yang seperti itu."
"Ya, semoga saja. Terima kasih, ya. Eh apa jawabannya? Aku boleh bertemu dengan penggemarku?"
"Ya, boleh saja. Kenapa aku harus melarang? Selama kamu menginginkan itu, selama itu baik dan membuatmu bahagia, kenapa tidak? Ya, kan?"
Clara tersenyum. Sebenarnya, ia sudah menduga kalau jawaban San, pastilah tidak akan mengecewakannya.
"Tapi, penggemarku itu, yang mau bertemu denganku itu, tidak banyak."
"Ya, tidak apa-apa. Namanya juga baru merintus. Ya, ibaratnya kamu ini kan baru merintis. Perlahan saja, semua penulis atau penyanyi, public figure, atau apa pun itu, yang menyangkut kepopuleran, pada awalnya juga sama. Mereka tidak langsung terkenal dan memiliki banyak fans."
"Oke. Baik. Aku suka pandanganmu."
"Memangnya ada berapa orang, Clif?"
"Satu."
"Apa?"
"Ya, satu. Namanya Arga."
"Oke. Kapan bertemunya? Sore ini? Aku ikut, ya. Terima kasih. Silakan masuk ke kantor."
Clara tak diberi kesempatan untuk bicara lagi. Namun, ia senang. Melihat San sedikit protektif, membuat Clara merasa sangat diperhatikan.