"Ini sebenarnya, merupakan sebuah prosedur yang tidak tertulis, Clif. Semua pegawai di kantor kami, semuanya, pasti akan melewati tahap ini. Setelah tiga bulan dan kontrakmu diperpanjang, maka, kamera pengawas itu tidak akan ada lagi."
Suara ajudan Kristo Wijaya begitu tegas. Clara mengangguk, mencoba mencerna pernyataan dari ajudan tersebut. Jujur, ia merasa sedikit takut. Padahal, ajudan Kristo Wijaya, sejak awal selalu bersikap ramah kepadanya.
"Maaf, Pak. Saya hanya merasa terkejut saja. Sebab itu tidak diberitahukan dari awal. Dan itu, saya baru menyadarinya di hari kedua. Di hari pertama, kamera tersebut belum ada. Saya hanya merasa takut. Saya takut sudah melakukan kesalahan."
Clara berusaha merendah. Alih-alih menyalahkan, ia pakai cara seperti itu.
Ajudan Kristo Wijaya terkekeh pelan. "Justru itu, Clif. Justru, kamera itu ada, agar kamu lebih berhati-hati. Tidak, bukan karena kamu sudah melakukan kesalahan. Itu justru agar kamu tidak melakukan kesalahan. Sepertinya teknisi kami terlambat memasang kamera itu. Jadi, di hari pertama, kamera itu belum ada."
"Begitu, ya."
Sebenarnya, jawaban dari ajudan Kristo Wijaya tidak membuat Clara puas. Ia masih penasaran dan bertanya-tanya. Atau, seharusnya ia memang berpikir seperti San. Mereka pasti bertanggung jawab? Apa Clara memang seharusnya terima saja?
"Maaf, Clif. Saya ada telepon penting."
Entah ajudan Kristo Wijaya memang ingin menghindar, atau ia benar-benar ada telepon penting.
"Oh, ya. Silakan. Saya permisi ya, Pak."
"Iya."
Clara keluar dari ruangan. Ajudan tadi terlihat buru-buru mengangkat telepon. Clara merasa biasa-biasa saja. Ia malah memikirkan tentang apa yang akan terjadi nanti malam. Ya, sekali lagi, fokus Clara terpecah belah karena seorang San. Laki-laki itu memang sudah mengubah hidup Clara.
"Eh, Clif."
Tora terlihat terkejut ketika berhadapan dengan Clara. Clara sama terkejutnya. Clara terkejut karena ekspresi Tora yang ketika melihat dirinya, seperti sedang melihat hantu saja.
"Kenapa?"
Tora menggeleng. "Maaf, ya." Laki-laki itu menunduk dalam-dalam. Clara jadi kebingungan.
"Maaf untuk apa?"
"Emmh, untuk apa saja."
"Oke, baik. Aku maafkan."
Walaupun Clara sedikit kebingungan, tapi gadis itu tak terlalu peduli. Mungkin Tora sedang dalam mode aneh atau apalah. Manusia memang macam-macam sifat dan karakternya. Clara tak mau ambil pusing.
Ia pun kembali masuk ke dalam ruangannya. Gadis itu terdiam sejenak sambil menatap tajam ke CCTV. Ia tersenyum lebar, seolah sengaja seperti itu, lalu kembali mengerjakan apa yang seharusnya ia kerjakan.
Sesekali Clara memikirkan apa yang akan terjadi nanti malam. San, San, San. Laki-laki itu terus saja mondar-mandir di dalam pikirannya.
***
Ketika istirahat tiba, Clara mendapati Tora mengajak teman-temannya yang lain untuk makan siang lagi dengannya. Tak seperti kemarin, mereka hanya makan berdua saja.
"Aneh. Kamu mengajak kami makan, kemarin saja kamu bilang ingin makan berdua dengan Clif," ujar Senny, salah satu pegawai. Aku terkejut dan Tora tersedak mendengar hal itu.
"Ah, bukan begitu. Clif, kamu jangan salah paham. Aku tidak bermaksud apa-apa."
Ah, mungkin karena hal itulah, tadi pagi Tora meminta maaf kepada Clara. Clara mulai memahami.
"Tidak apa-apa. Santai saja," ucap Clara. Toh, yang paling penting, jangan sampai kejadian kemarin terulang lagi. Kelancangan Tora terhadapnya.
"Ya ampun, Tora. Menyukai seseorang itu kan bukan dosa. Biasa saja. Clif juga biasa saja. Lagipula, dia kan masih sendiri. Betul?"
Giliran Clara yang tersedak. Ia buru-buru mengambil minuman.
Pegawai yang tadi bicara jadi kikuk. "Eh, maaf. Atau kamu memang sudah tidak sendiri?" tanyanya lagi.
Clara hanya tersenyum. Ia bahkan tak bisa memastikan statusnya itu apa. Kalau ia bilang sendiri, bagaimana dengan San? Mereka sudah sering bersama, serta semakin hari, Clara juga sudah mulai semakin yakin kalau San memang memiliki perasaan yang sama terhadapnya.
"Ya, sepertinya memang Clif sudah ada yang punya, ya."
Pegawai itu, dengan agak canggung berkata demikian. Clara tak berusaha menyangkal. Setelah dipikir-pikir, memang lebih baik ia bertindak demikian. Itu akan membuat jarak antara dirinya dengan Tora dapat dipangkas dan tentunya, Tora tak akan melampaui batas pertemanan.
Setelah makan siang itu, Clara kembali masuk ke ruangannya dan bertambahlah keheranannya. Kamera pengawas itu sudah dicopot.
"Apa pimpinan perusahaan ini memang labil?" gumam Clara. Merasa lucu dengan setiap kejadian yang berlangsung beberapa hari terakhir.
Tak lama, sebuah telepon muncul. Dari ajudan Kristo Wijaya.
"Halo, Clif?"
"Ya, halo."
"Sedang makan siang?"
"Tidak, Pak. Saya baru saja kembali ke ruangan. Saya sudah makan siang."
"Ah, baik. Terkait dengan kamera pengawas, saya sudah bicarakan langsung dengan pusat dan mereka setuju untuk memberimu keistimewaan."
Clara tersenyum. Hampir ia berteriak kegirangan.
"Ya, baik. Terima kasih ya, Pak."
"Baik. Sama-sama. Selamat bekerja, ya."
Oke. Satu demi satu hambatan dan perasaan negatifnya sudah memudar. Clara kembali menatap layar laptop dan melanjutkan pekerjaannya.
***
Hari begitu cepat berlalu. Tibalah malam yang ditunggu-tunggu. Sejak San menjemputnya, sampai mereka berdua berada di dalam mobil dan menuju tempat yang sudah San pesan, mereka agak canggung. San seperti sedang menyimpan sesuatu yang membuatnya tak banyak bicara.
"Ehm, bagaimana tentang promosi novel Lora?"
Clara teringat akan hal itu. Clara sudah menyampaikan apa yang ia ingin sampaikan kepada San soal promosi novel Lora.
"Ah, iya. Aku lupa, hehe. Maaf, ya. Aku akan segera promosikan."
"Begini, maaf, ya. Kalau kamu memang tidak mau, tidak apa-apa."
Clara jadi sedikit tidak nyaman dengan permintaannya.
"Tidak-tidak. Kamu jangan berpikir begitu. Aku sudah bilang kan, kalau aku bersedia. Aku mau dan akan membantu temanmu itu. Soal promosi novelnya."
"Ah, oke-oke. Terima kasih banyak, ya."
"Sama-sama."
Setelah itu, hening lagi. Laju mobil, dirasa Clara jadi begitu lambat. Entah kenapa.
"Sebenarnya, kita akan ke mana?" Clara bertanya lagi. Berharap, ia dapat memecahkan kecanggungan yang ada.
"Kita akan ke suatu tempat."
Singkat, San menjawab.
"Tenang saja, kamu jangan berpikir macam-nacam," lanjutnya kemudian. Dan hal itu membuat Clara tertawa.
"Kenapa?" tanya San, merasa tak ada yang lucu.
"Aku tidak berpikir macam-macam. Justru kamu yang mungkin berpikir kalau aku berpikir yang macam-macam. Kamu terlihat sangat gugup, San. Kamu tidak apa-apa, kan?"
San tersenyum. Ia menarik napas panjang.
"Terima kasih sudah bertanya. Ya, sebenarnya aku sedang sangat gugup."
"Ehm, kenapa?" Clara jadi penasaran. Padahal, sebenarnya kepalanya sudah diisi dengan berbagai macam tebakan.
San akan mengungkapkan cinta kepadanya. Ya, itu adalah tebakan teratas yang mondar-mandir di dalam kepala Clara.
Bahkan sesampainya di restoran, Clara dan San masih merasa canggung. San masih tak dapat mengatasi perasaan gugupnya.
Laki-laki itu, menuntun Clara ke meja yang sudah di-booking. Gadis itu dag-dig-dug. Sudah dapat dipastikan kalau San sepertinya memang akan mengungkapkan perasaan.
Clara berusaha keras untuk menahan senyumnya. Jujur, ia kesulitan untuk tak mengekspresikan perasaan senangnya.
Mereka duduk berhadapan. Kepala San dipenuhi oleh berbagai rangkaian kalimat demi kalimat untuk mengungkapkan perasaannya. Ya, tebakan Clara ternyata benar.
Setelah cukup lama, selesai mereka makan malam, tibalah San untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Clara. Namun, sungguh ia kesulitan berkata-kata.
"Apa, ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Clara. Ia merasa San sudah terlalu lama hening.
"Aku, ada yang ingin kukatakan," ucap San.
"Apa?" tanya Clara, menunggu.
"Begini ...."
Tanpa mengatakan apa-apa, San menyodorkan kertas bertuliskan kata-kata yang membuat Clara tak bisa berkata-kata.
Clif, jatuh cinta kepadamu, aku sudah seperti jatuh ke jurang tanpa dasar. Dalam dan tak akan pernah sampai. Tak ada ujungnya. Tak ada habisnya. Serius.
Penulis memang beda, pikir Clara. Ia tersenyum dan bingung harus bagaimana. Wajahnya memerah, menahan malu.
"Jadi, bagaimana?" tanya San.
"Apanya?" Spontan, Clara bertanya.
"Aduh, masa kamu tidak paham."
Clara tertawa. "Iya."