Romi kembali ke rumah San dan mendapati San sudah sadar. Untung saja Romi tidak lupa membelikan San makanan. Sesuatu yang bisa ia jadikan alibi.
"Dari mana?" tanya San. Ia masih terduduk lemah, tapi sebenarnya pikirannya kembali tertuju kepada Clara dan banyak hal lainnya.
"Mencari makanan. Ini."
San menyodorkan bungkusan berisi kue. "Tadi Randi datang dan memeriksamu. Dia sudah memberiku suntikan apa, aku tidak tahu. Dan ya, itu ada obat juga. Makanlah kuenya, lalu minum obatnya."
"Jangan pergi menemui Clara," ucap San tiba-tiba.
"Tidak," balas Romi. Lelaki itu berusaha agar tidak ketahuan. Rupanya feeling San cukup kuat.
"Bagus. Jangan terlalu ikut campur. Akan kupastikan, ini akan aku selesaikan dengan baik. Tanpa harus kamu ikut campur lebih jauh lagi."
"Ya, terserah saja. Sekarang, yang paling penting adalah kesehatanmu. Percuma bicara panjang lebar soal apa pun, tapi fisikmu hancur. Semuanya akan jadi sangat tidak berguna."
San tertawa. Tawa yang pahit. Seandainya saja, ia tidak pernah terlibat sejak awal. Seandainya saja, ambisinya itu tak ia turuti gila-gilaan. Mungkin, ia tidak akan semenderita sekarang.
San meraih kue yang disodorkan oleh Romi. Memakannya sepotong saja, lalu meminum obat dengan cepat. Ia tak punya waktu untuk berlama-lama berdiam diri. Bahkan mungkin, ia hampir kehabisan waktu.
"Mata-mata itu, kau tahu siapa? Apa menurutmu, dia akan bertindak lebih jauh?"
"Entah. Hanya saja, apakah kekasihmu tidak akan bertindak sembarangan, bukan?"
"Tenang. Aku percaya padanya. Ya, aku pikir, dia mendengarkan apa yang kukatakan."
Ada sedikit keraguan pada kalimat San. Clara memang bisa dipercaya, tapi kecerobohannya, itu yang membuat San agak sakit kepala. Ia tak ingin gadis baik itu kenapa-kenapa.
Gadis baik itu.
San merebahkan tubuhnya kembali. Romi keluar hendak menyalakan rokok. San mengijinkan dirinya sendiri untuk tetap sejenak beristirahat. Padahal beberapa saat yang lalu, sebelum minum obat, ia sudah akan melakukan hal lain.
Gadis baik itu, Clif. Clara. Kenapa ia jatuh cinta kepadanya? Kenapa?
Dari sekian banyak kenalan perempuan yang ada di lingkungan kerja, yang ada di lingkaran elit yang juga sama-sama bekerja di bawah Kristo Wijaya, San memilih Clara. Gadis baik-baik yang awalnya San ragu apakah gadis itu akan menerimanya atau tidak.
Perlahan, ia mengingat banyak hal soal Clara. Mengingat pertemuan awal mereka, dan semua hal yang membahagiakan. Perlahan juga, kantuk mulai kembali datang. Efek obat yang diminum San barusan. Di dalam pejamnya, wajah Clara mondar-mandir. Sulit enyah.
***
Di sebuah ruangan, Kristo Wijaya tengah berbincang dengan beberapa rekannya, termasuk ayahnya San.
"Maafkan soal sedikit keributan yang disebabkan oleh anak saya. Saya berjanji akan membereskannya dengan cepat." Ayahnya San bicara sehati-hati mungkin dan kepalanya pun sembari menunduk.
Kristo Wijaya mengangguk-angguk. "Ya, aku percaya padamu. Kamu pasti bisa membereskannya dengan benar. Hanya saja, mata-mata yang kukirimkan barusan melaporkan hal lain. Anakmu terlalu dekat dengan penulis perempuan itu. Dan mata-mataku juga, sudah memastikan kalau penulis perempuan itu pernah dekat dengan Tora dan sepertinya, dia juga sudah mengetahui hal yang tidak seharusnya dia ketahui. Penulis itu harus disingkirkan."
Tidak ada pembicaraan apa-apa lagi setelah kalimat terakhir yang tegas dari Kristo Wijaya. Tidak ada yang berani bicara.
"Kalian boleh keluar dari ruangan ini. Kecuali, kamu, Regan. Ada yang ingin kubicarakan soal anakmu itu. Ini agak penting."
Ayahnya San--Regan, mengangguk. Sebenarnya, jantungnya berdegup kencang, tak karuan. Namun, ia berusaha agar tetap tenang, tak ingin terlihat kikuk atau lemah di depan Kristo Wijaya. Ia sudah menduga, pembicaraan empat mata mengenai anaknya pasti akan terjadi juga. Jika tidak hari itu, maka di hari lain, pasti akan terjadi. Siap tidak siap.
Setelah tersisa dua orang itu, Kristo Wijaya dan ayahnya San yang bernama Regan, ruangan jadi lebih hening dari sebelumnya.
"Hmmm. Sebenarnya, aku menaruh harapan besar terhadap anakmu itu. Dia juga dari dulu, selalu membantuku. Dia sudah banyak berkorban waktu dan tenaga. Meskipun begitu, dia sangag berprestasi. Kudengar, buku-bukunya terjual banyak. Ada banyak selebriti yang juga mengidolakan anakmu. Bukan hanya kalangan masyarakat saja. Anakmu memang berbakat."
Ayahnya San menunduk, mengangguk. Ia tak mau terlena dalam pujian-pujian yang meskipun terdengar sangat tulus, tapi tetap saja, ia takut setelah dilambungkan ke langit, ia takut dijatuhkan sekuat tenaga ke bawah. Mengerikan. Makanya, ia hanya diam saja. Ia merasa itu lebih baik.
"Regan, sebaiknya, San dikirim saja ke luar negeri."
"Apa?"
Sebuah kalimat yang membuat ayahnya San sangat terkejut. Bagaimana mungkin? San sedang mencecap popularitasnya sebagai seorang penulis hebat. Penjualan buku-bukunya juga meningkat pesat dari tahun ke tahun. Lalu, ia harus pergi ke luar negeri? Lelucon macam apa itu?
"Tidak bisa." Ayahnya San menggeleng, tak terima.
"Kenapa tidak? Hanya sebentar. Tak akan lama. Aku punya rencana yang sepertinya, kali ini, San tidak perlu terlibat. Kulihat, anakmu itu juga sepertinya butuh jeda sebentar. Jangan memaksakan anakmu untuk jadi sepertu dirimu, Regan. Kau ini, dari dulu, tidak pernah berubah."
Ayahnya San terdiam. Mencoba memikirkan hal baik apa yang akan terjadi kalau San ke luar negeri. Jawabannya adalah, tidak ada. Ia takut kepopuleran anaknya akan lenyap seiring tinggalnya San di luar negeri nanti.
"Regan, kita harus menyingkirkan orang-orang yang menghalangi kita. Dan itu sudah kita lakukan berkali-kali. Kali ini, juga. Dan kali ini, kita tidak bisa menerapkan cara yang biasa. Aku ingin mendapatkan perhatian publik lebih besar lagi. Agar nanti, akan ada dukungan yang melimpah dan simpati yang tak terbendung yang aku dapatkan. Yang kita dapatkan. Makanya, aku tidak bisa melibatkan San dalam hal ini."
Ayahnya San mengerti kenapa seorang Kristo Wijaya mengatakan itu. Ia juga paham, bahwasanya San memang mudah terbawa perasaan ketika berurusan dengan orang yang dikasihinya.
"Dia masih bertemu dengan ibunya?" tanya Kristo Wijaya. Itu pertanyaan yang cukup mengusik privasi. Namun, ayahnya San tetap mau menjawabnya.
"Sesekali. Tapi sudah jarang."
"Hmmm. Bagus. Jangan berhubungan dengan orang-orang yang jalannya berseberangan. Aku akan ceritakan sedikit mengenai
Ayahnya San mengangguk lagi.
***
Ayahnya San masuk ke dalam mobil untuk pulang. Ia memikirkan rencana yang Kristo Wijaya sempat ceritakan sebelum ia benar-benar pulang. Ah, sepertinya, memang ada yang harus dikorbankan. Beruntung, bukan anaknya.
Laki-laki itu segera mencari aplikasi untuk memesan tiket pesawat dan mencocokkan jadwalnya dengan jadwal San.
San harus pergi ke luar negeri dalam waktu dekat. Tidak bisa tidak. Tidak bisa ditawar.
Di dalam pikirannya, ayahnya San sedang menyusun kalimat demi kalimat yang mungkin harus ia sampaikan ketika mendapat penolakan dari San. Ya, itu sudah pasti akan terjadi. San mungkin tidak akan mau pergi ke luar negeri tiba-tiba, tanpa alasan. Ia pasti menaruh curiga.