Cinta yang Bebal

1117 Words
Romi memburu San yang ambruk. Suhu badan San meninggi. Demam yang cukup parah. Asistennya itu segera meminta pertolongan. Memanggil seorang dokter untuk segera datang dan menangani San. Tidak biasanya San sampai seperti itu. Bagaimanapun, pola hidup San selalu sehat, jadi ia jarang sakit. Mungkin, itu bukan karena fisiknya. Secara batin, San mungkin sedang merasa lelah dengan semua kenyataan yang terjadi. Itulah yang pikiran Romi simpulkan. *** "Sudah diberikan obat dan penanganan. Sudah lama, ya. San tidak seperti ini," ucap si dokter yang bernama Randi. Ia merupakan teman San dan Romi juga. Mereka sudah cukup akrab. "Ya, dia ini jarang sekali sakit, Ran. Terima kasih, ya. Sudah mau menyempatkan waktu untuk datang. Padahal, kamu mungkin sedang sangat sibuk." "Santai saja. Itu sudah tugasku. Nanti juga dia akan segera sadar. Oh iya. Pesanku, jangan biarkan dia memikirkan hal-hal atau pekerjaan yang berat-berat. Katakan padanya, kalau tubuh dan pikirannya juga harus istirahat. Romi mengangguk. "Baik. Akan kusampaikan kepadanya nanti." "Kalau begitu, aku permisi dulu." "Iya, silakan. Sekali lagi, terima kasih." Randi pun pergi. Romi menatap San yang masih tak sadarkan diri. Ada-ada saja, pikirnya. Sepertinya, keadaan memang cukup buruk. Bahkan ayahnya San, tadi, saat berpapasan dengan Romi di luar, melayangkan tatapan yang sangat tajam kepadanya. Tatapan yang membuat Romi merasa sangat terintimidasi. "Hei, seharusnya kau tak berbaring di saat suasana sedang genting. Kalau begini, maafkan aku. Sepertinya, terpaksa aku harus turun tangan." Romi menatap arlojinya sendiri. "Oke, San. Jangan bangun sebelum aku kembali. Aku akan mempermudah apa yang bagimu sedikit sulit." Roni beranjak dan meraih kunci mobil. Ia merasa cukup bisa berperan dalam hal memutuskan hubungan San dengan Clara. Harus. *** Clara masih terkejut dengan perlakuan San kepadanya tadi. Pintu dan jendela rumahnya sudah ia kunci rapat-rapat. Soal mata-mata yang San singgung di percakapan mereka, membuat Clara merasa haruslah berhati-hati. Ia merasa seperti sedang di dalam film laga saja. Ada mata-mata segala, pikirnya. Gadis itu agak kebingungan. Ia melihat sekeliling rumahnya, setiap sudut, takut-takut ada seseorang yang sedang bersembunyi di dalam rumahnya tanpa ia sadari, atau ada kamera yang tersembunyi juga. Duh, pikirannya semakin kacau saja. Clara segera mencari selembar kertas yang ia duga menjadi biang dari kekacauan yang dialaminya. Gadis itu menatap lembaran kertas tersebut dan mengutuknya sedikit. Dasar kertas pengacau, gumamnya kesal di dalam hati. Setelahnya, ia menyobek-nyobek kertas itu dan membuangnya ke tong sampah. Selesai sudah. Lega rasanya. Sekarang, ia merasa tak ada kaitannya lagi dengan apa pun soal keburukan Kristo Wijaya. Namun, jauh di dalam hatinya, Clara ingin keluar dari keadaan tersebut. Apakah ia berhenti kerja saja? Kontrak kerja yang ia tandatangani sebelumnya belumlah berakhir. Sebelumnya, setelah masa percobaan tiga bulan, kontrak tersebut sudah diperpanjang untuk setahun ke depan. Ia akan berhenti. Ya, memang itu yang harus ia putuskan. Ia akan berhenti dari pekerjaannya sebagai seorang pegawai yang menaikkan dan mempertahankan citra Kristo Wijaya. Di matanya, sudah tak ada lagi politisi hebat dan terpercaya itu. Pandangan Clara terhadap Kristo Wijaya sudah pudar dan mungkin tidak akan pernah terbangun kembali. Suara pintu yang diketuk, menarik Clara dari lamunan sulitnya. Ia was-was. Siapakah itu? Apakah ibunya? Atau siapa? Ia takut kalau-kalau itu adalah mata-mata yang San sebutkan. Tapi, mana ada mata-mata yang menunjukkan dirinya terang-terangan. Clara agak ragu, tapi ia membuka pintu itu perlahan. "Siapa?" tanya Clara. Ia merasa tak asing. "Aku Romi. Kau dan San pernah pergi berdua waktu itu dan aku menjemput kalian. Waktu itu hujan. Ingat?" tanyanya. Clara langsung mengangguk cepat. "Ya, benar. Aku ingat. Sangat ingat. Romi, ya. Oke. Ada apa? Ada yang bisa dibantu?" Clara belum membiarkan Romi masuk ke dalam rumah. "Emh, apa kamu sudah tentang mata-mata? Akan berbahaya kalau kita bicara beberapa hal penting di luar rumah," bisik Romi. "Ah, iya. Maaf. Oke, silakan masuk." Mendengar kata mata-mata, tentu saja Clara langsung takut. Clara membuka pintu rumahnya lebar-lebar dan membiarkan Romi untuk segera masuk. "Maaf, rumahku sederhana," ujar Clara sambil berlalu, mengambil minuman untuk disuguhkan. Romi yang sudah duduk manis menyangkal kalimat basa-basi itu. "Ah, tidak apa-apa. Itu bukan hal yang penting sekarang. Karena, ada hal yang lebih urgent yang harus kusampaikan kepadamu. Ini menyangkut San dan kehidupannya." Mendengar itu, Clara cepat-cepat menyajikan minum dan duduk berhadapan dengan Romi. "Apa? Ada apa dengan San? Apa dia baik-baik saja?" "Hmm, ini akan jadi cerita yang cukup panjang sebenarnya. Akan tetapi, kamu harus tahu, Clif. Kamu harus tahu. Malah, kupikir, kamu merupakan satu-satunya orang yang bisa mengubah keadaan ini dengan cepat." "Jelaskan saja semuanya ya, Romi. Aku tidak mau mendengar cerita yang setengah-setengah." Clara sudah muak jika nantinya harus mendengar cerita yang belum tuntas. Sudah dari Tora, sudah dari San, jangan lagi dari Romi. "Baik. Akan kujelaskan." Romi menarik napas panjang sebelum memulai ceritanya. Ia sudah bertekad harus bisa berhasil meyakinkan Clara untuk mengambil tindakan serius terhadap hubungannya dengan San. Romi pun menceritakan masa-masa sulit yang dialami oleh seorang San selama bertahun-tahun. "Dia tidak sebahagia yang pernah kamu bayangkan, Clif. Aku adalah seseorang yang selalu ada di sisinya, tapi kadang malah tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkannya ketika keadaan sulit. Sama seperti saat ini." "Sesulit apa keadaannya sekarang? Aku juga, sepertinya sedang sangat kesulitan." "Ya, kita semua, sedang dalam kesulitan. Tapi Clif, kalau kamu benar mencintainya, kamu mungkin bisa melakukan sesuatu." Clara semakin tertarik dengan pernyataan yang dilemparkan oleh Romi. Ia bisa melakukan sesuatu? "Kamu bisa menyelamatkan San dari keadaan genting ini." "Katakan padaku. Segenting apa keadaannya." "Kita bisa saja mati, Clif. Jika tidak di tangan Kristo Wijaya, mungkin di tangan ayahnya San." "Ayahnya?" Romi mengangguk. "Ya, seandainya kamu tahu seperti apa keluarga San memperlakukan San. Dia adalah anak yang malang. Dituntut keadaan, ditekan kenyataan." "Keadaan dan kenyataan." "Ya. Lepaskan dia, Clif. Maka, semua orang akan selamat. Semua orang akan baik-baik saja." Semua orang akan baik-baik saja? Romi sedang bercanda. Bagaimana mungkin, dua orang yang sedang menjalin hubungan, saling mencintai, lalu berpisah karena suatu hal yang tidak semestinya, keduanya akan baik-baik saja? Romi terlalu dini dalam menyimpulkan. "Akan kupikirkan matang-matang." Clara menanggapi apa yang Romi katakan dengan tegas. "Baik. Cepat dan putuskan. Oh iya. San sedang sakit. Mungkin dia tidak akan memberimu kabar apa-apa dalam beberapa waktu ke depan." "Aku boleh datang ke rumahnya?" tanya Clara penuh cemas. Ia ingin mengetahui bagaimana kondisi San secara langsung, dengan mata kepalanya sendiri. "Tidak. Terlalu terlihat. Saranku, kalian jangan bertemu dulu. Situasi ini, tidak terlalu bagus." Clara mengangguk. Keadaan yang cukup mengesalkan. "Baik. Aku permisi dulu." "Ah, iya. Jaga San, ya. Semoga dia akan cepat baik-baik saja." Romi mengangguk. "Tentu. Aku akan menjaganya dengan baik. Kau juga harus menjaga dirimu dengan baik." *** Sepulangnya Romi dari rumah Clara, Clara termenung. Ya, mungkin memang seharusnya ia melepaskan San. Dengan semua ketidakjelasan soal apa yang sebenarnya San kerjakan, seharusnya Clara tak diam saja. Seharusnya ia memang pergi saja. Tapi cinta, kenapa harus sebebal ini? Kenapa harus. Sebebal. Ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD