"Apa kamu bertengkar dengan San?" tanya Sonia.
"Bukan, bukan begitu," bantah Clara.
"Ah, itu sudah jelas. Kalian memang bertengkar. Siapa yang berbohong? Dan soal apa itu? Aku penasaran."
"Aku dan dia sama-sama berbohong. Soal apanya, itu tidak bisa kubicarakan sekarang. Itu privasi. Kamu atau siapa pun, belum boleh tahu soal ini."
Sonia tak menanggapi lagi. Percuma mengorek soal itu, sebab Clara pasti akan tetap bungkam.
Di jam makan siang tersebut, percakapan mereka soal hubungan Clara dan San pun berakhir. Digantikan dengan percakapan dengan topik lain. Dan ya, memang keinginan Clara pun demikian. Ia tak ingin Sonia tahu masalah pribadinya.
"Aku curiga. Kasus Pak Edo sama dengan kasus Tora. Atau, entahlah. Kasus-kasus semacam itu, selalu saja terjadi di lingkaran kerja kita. Kamu mungkin tidak begitu tahu, karena masih baru. Tapi percayalah, ada beberapa kasus yang selalu hampir mirip."
Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Sonia itu, memantik rasa penasaran Clara. "Sama? Apa yang kamu maksud? Aku jadi penasaran."
Clara yang tahu kalau Tora merupakan dalang di balik kasus bully yang pernah ia alami, ingin menyangkal itu, tapi ia mencoba menahan diri.
"Pak Edo, bisa saja sebenarnya tidak bersalah."
"Kamu tahu dari mana?"
"Hanya dugaanku saja. Hanya feeling. Perasaan. Tora, juga mungkin tidak bersalah. ya, kan?"
Clara hanya mengaduk jusnya. "Tidak semua yang berasal dari feeling atau perasaan, sekalipun itu kuat, betul-betul benar. Bisa saja, itu salah. Jadi, tidak ada yang bisa menjamin kebenaran dari perasaanmu itu."
Sebenarnya, Clara juga merasakan hal yang sama.
Sonia mengangguk. "Ya, memang. Aku hanya menebak-nebak saja. Dan oh iya, selama ini, aku sudah kenal Pak Edo cukup lama dan dia itu, orang baik. Benar-benar orang baik. Aku tidak bohong. Buat apa dia mencuri data perusahaan?"
"Sudah jelas, kan. Kalau dia itu punya anak yang sakit parah. Mungkin untuk membiayainya."
"Kalau soal itu, itu memang benar. Dia punya anak yang sakit parah dan pasti memerlukan biaya yang tidaklah sedikit. Tapi, dia bukan orang yang seperti itu. Aku cukup mengenalnya, Clif."
"Seseorang kadang berubah. Tanpa kita duga, tanpa kita sadari."
"Ya, tapi tetap saja, Clif. Tetap saja, Pak Edo, aku yakin tidak seperti itu."
Clara lama-lama, tak terlalu tertarik kepada kasus Pak Edo. Pikirannya masih bergelut tentang San dan keinginannya untuk meminta penjelasan lagi. Seharusnya, ia tak menolak untuk dijemput tadi. Seharusnya, ia menggunakan kesempatan itu untuk menuntut penjelasan lagi.
***
Clara pulang dan memutuskan untuk menunggu bus dengan tenang. Di saat-saat seperti itu, ia memanfaatkan waktunya dengan merenungkan semua yang sedang terjadi. Hal-hal baik, hal-hal buruk yang terjadi di dalam kehidupannya. Sangat beragam.
Ibu dan adiknya sudah kembali. Keluarganya kembali baik-baik saja dan itu tak lepas dari campur tangan San. Kalau saja San tidak terus-menerus meyakinkan Clara soal bertemu dengan ibu dan adiknya, mungkin ia masih belum bisa menemukan kedamaian di dalam keluarganya tersebut.
Ada banyak hal-hal baik yang San lakukan untuknya. Ada banyak kalimat-kalimat menenangkan dan menyenangkan yang selalu San lontarkan ketika Clara merasa tidak baik-baik saja.
Clara mulai bertanya-tanya, apakah ia adalah kekasih yang baik bagi San? Belum jadi yang terbaik untuk San? Karena setelah Clara berpikir lagi, kalau saja San betul-betul berniat mencintainya dengan tulus, seharusnya ia jujur saja sejak awal. Ah, ini ruwet.
Clara berusaha berpikir soal itu. Tak lama, pandangannya tertuju kepada sosok yang dengan entengnya duduk di samping Clara.
"Bukannya kamu sibuk?" tanya Clara.
Laki-laki yang ditanya itu adalah San.
"Ya, sibuk. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu pulang sendirian. Aku ingin tahu rasanya naik bus bersama denganmu."
Clara menatap wajah laki-laki itu. Ada raut lelah yang jelas terlihat dari sana. San bertingkah seolah tidak ada apa-apa. Seolah semuanya baik-baik saja.
"Baiklah. Mari kita naik bus bersama-sama," ucap Clara cukup bersemangat. Tak lama, bus datang. Keduanya masuk ke dalam bus. San terlihat lebih antusias.
"Hei, apa ini pertama kalinya bagimu?" tanya Clara yang heran dengan sikap San, seolah-olah itu baru pertama kali baginya.
"Tidak. Hanya saja, duduk dengan seseorang sepertimu, tentu saja itu adalah pengalaman pertama."
"Oke. Terserah saja."
San duduk di dekat jendela dan mulai bicara soal beberapa hal.
"Jadi begini ya, rasanya. Saat kamu duduk di sini, saat berangkat naik bus."
"Heemh. Ya, beginilah. Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Ini menyenangkan."
"Ya ampun. Kalau memang ini sedemikian menyenangkan, kenapa kamu tidak melakukan hal yang sama juga? Naik saja bus setiap hari. Kalau kamu memang mau."
San tersenyum. "Bisakah, kita seperti ini saja? Selamanya?"
Clara seperti tahu dengan apa yang sedang San rasakan. Semacam sebuah penolakan untuk menerima kenyataan kalau perlahan, ada yang sudah berubah dari hubungan mereka.
"Tidak bisa, San. Kita harus bicara soal apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak akan marah untuk apa pun. Sungguh. Aku juga akan jujur untuk semuanya."
San tak menanggapi. Matanya masih menatap ke luar jendela bus. Memandang jalanan yang terlewati.
"Kita tidak bisa bersikap seolah tidak ada yang terjadi."
"Aku tidak ingin ini berakhir," ucap San. Pandangannya beralih kepada Clara.
"Tidak ada yang akan berakhir. Tidak semudah itu, San. Sungguh. Katakan. Apa pekerjaanmu? Apa benar Kristo Wijaya itu pembohong?"
San kembali mengalihkan pandangan. Ia benar-benar tak mau membicarakan soal itu. Bahkan jika bisa, selamanya saja jangan bicarakan soal itu lagi.
"Kamu tidak mau menjawabnya? Kalau begitu, biar aku yang cerita soal Tora."
"Cerita saja."
Clara pun menceritakan semua yang Tora ceritakan tentang masa lalunya dengan San. Tentang bagaimana mereka bersaing dan tentang San serta keluarganya yang diduga oleh Tora melakukan sebuah kecurangan agar San terus meraih popularitas dan prestasi.
San tidak menampik hal itu dan berkata bahwa memang benar, itu memang terjadi.
"Itu semua ambisi. Keluargaku. Aku awalnya tidak menyadari hal itu. Aku pikir, semua yang kudapatkan adalah murni dari usahaku sendiri. Nyatanya, ada orang-orang di belakangku yang memuluskan jalanku dengan cara-cara yang tidak kuketahui."
"Sudah kuduga. Itu yang terjadi. Tora sepertinya tidak ingin percaya kalau kamu sebenarnya tidak seperti itu."
"Mungkin dia terlanjur sakit hati, kemudian jadi nekat melakukan hal yang membuatnya rugi."
"Iya. Orang-orang yang terlanjur sakit hati, melakukan apa saja, berusaha membalas, meskipun tahu sebenarnya mereka juga akan mendapatkan kerugian."
"Seharusnya dia tidak membuang waktunya untuk hal-hal seperti itu."
"Tora? Iya. Tapi karena dia menceritakan semuanya, aku jadi mengerti kesedihannya dan keadaanmu juga. Aku bisa semengerti itu, San. Terhadap Tora yang bahkan pernah tidak kusukai. Apalagi kepadamu. Tidak mungkin aku tidak berusaha memahami."
Bus yang melaju berhenti.
"Sudah sampai," ucap Clara. Menyadari San yang hanya melamun, gadis itu bersuara.
Keduanya pun turun. Hanya harus berjalan sebentar untuk sampai ke rumah Clara.
"Ah, iya. Ada hal penting yang harus kusampaikan."
"Apa?"
"Tora meninggalkan sesuatu di rumahku. Seperti selembar kertas yang isinya angka-angka. Seperti laporan keuangan atau apa, aku tidak tahu."
San menatap tajam ke arah Clara. "Berhenti. Berhenti bicara.
"Apa?"
San menggeleng, memberi isyarat agar Clara tak mengatakan apa pun lagi.
"Ke-kenapa?" tanya Clara, pelan, setengah berbisik.
San tidak menjawab.
Ada yang mengikuti mereka sejak tadi. Dan San baru saja menyadarinya saat itu.