1. Bertemu
Embun tertidur pulas  diseluruh bagian luar mobil putihnya, jika embun-embun itu Manusia  mungkin mereka sudah mengumpat kesal saat Aley mengelap kaca depannya  secara cepat. Dinginnya angin malam, ah entahlah sepertinya malam  menjelang pagi, dia sendiri tidak tau jam berapa sekarang.
Yang ia pikirkan sekarang bagaimana caranya dia pulang ke rumahnya  dengan cepat dan selamat. Itu saja. 
Hari ini memang hari yang panjang  baginya. Tidak, setiap malam memang pekerjaannya mengurusi cafe miliknya  yang susah payah ia rintis itu dan akan pulang jam 2 pagi. Tadi dia  ketiduran satu setengah jam di sofa membuat lehernya seperti mau patah  karna tertekuk. 
Setelah selesai mengurusi embun-embun itu dia masuk ke mobil, mengucap do'a lalu menghidupkan mesin.
Dia menyusuri jalanan kota yang tidak terlalu sepi menurutnya karna berhubung tadi malam adalah malam minggu.
Seperti biasa dia memilih jalan pintas agar bisa cepat sampai ke  rumahnya. Kadang saat melintas di jalan itu dia bergidik ngeri  memikirkan hal aneh, entah seperti merasa ada yang duduk di bangku  belakang mobilnya, ataupun merasa ada yang memperhatikannya dari luar  melalui kaca mobil.
Tapi tiba-tiba hampir saja umpatan ataupun caci makian terlontar dari  mulutnya dengan kecepatan 1000 km/jam ketika dia tidak sengaja menabrak  tubuh laki-laki berkepala botak licin seperti telur ayam yang  mengkilat..
Awalnya dia menggerutu tidak jelas karna laki-laki berkepala botak itu  menyebrang seenak jidat di tengah malam, namun sedetik kemudian mata  Aley terbelalak kaget. Tangannya langsung lemas saat melihat kegaduhan  yang tak jauh dari mobilnya sekarang. Yang dia lihat seorang laki-laki  sedang di pukulin dua pria berbadan besar.
Aley kaget sekali lagi ketika laki-laki botak tadi menggebrak bagian depan mobilnya dengan keras. 
Dengan cepat Aley membuka kaca mobilnya. "Woy! Kalau mobilku lecet mau  tanggung jawab, ha?!" Ucapnya berteriak. Yang benar saja mobil  kesayangannya yang ia beli dengan keringatnya sendiri di pukul  seenaknya.
Si botak itu menatap tajam bahkan dia berniat mendekati Aley di bangku  kemudi, namun Aley buru-buru turun dan menodongkan senjata seperti  pistol ke arahnya.
Mata si botak itu terbelalak kaget, dia mengangkat tangannya. "Wah.."  ucapnya sambil menggelang tak percaya "Anak kecil sepertimu menyimpan  senjata ilegal."
"Cepatlah pergi, bawa dua temanmu sebelum kalian membusuk di kursi  roda." Aley menatap dingin. Matanya tajam. Dia sangat kenal benda yang  dia pegang sekarang. Benda yang mirip dengan pistol tapi percayalah itu  bukan senjata api melainkan senjata yang akan mengeluarkan jarum kecil  dengan racun pelumpuh saraf, lebih parahnya menyebabkan pelumpuhan organ  karna racunnya.
Si botak tersenyum tipis "Berani sekali kau anak kecil. Tapi urusanku  dengan pemuda itu sudah selesai. Beritahu padanya jangan sampai kami  berurusan dengannya lagi." Dia melambai pada dua temannya mengisyaratkan  'ayo pergi' dan kedua temannya itu menuruti.
Ingin rasanya dia menembakkan ke kepala tiga orang itu, namun  skenarionya akan tambah panjang dan dia terlibat urusan orang lain.  Bahkan dia juga tidak tau siapa yang bersalah disini.
Aley mengantongi senjatanya. Ya, itu senjata andalannya. Senjata yang ia  desain sendiri dengan racun pelumpuhkan saraf yang ia buat dengan resep  rahasia ibunya. Tentu saja reaksinya sangat cepat apalagi jika  tertancap tepat di kepala.
Dia berjalan mendekati laki-laki yang di pukuli tadi. Bahkan dia tidak  tau entah seganteng apa laki-laki itu hingga tetap indah dengan darah  dan luka di wajahnya.
"Kau sangat tampan walaupun dalam keadaan seperti ini." canda Aley garing. Ya, siapa juga yang akan menanggapi candaannya.
Laki-laki itu meringis kesakitan. "Sialan, sempat-sempatnya bercanda."  Ucapnya pelan di sela ringisannya. Bahkan dia terduduk lemas sambil  memegangi dadanya yang sakit. "Tolong antarkan aku pulang. Aku akan  membayarnya." ucapnya pelan dengan nada memohon.
Aley menatapnya sejenak, kemudian dia berjongkok agar sejajar dengan  laki-laki itu. "Aku mau menolong jika kau bisa meyakinkanku kalau kau  itu bukan orang jahatnya disini."
Laki-laki itu mendengus, bisa di tebak dia menyumpahi Aley di sela  rintihannya menahan rasa sakit. "Aku bukan orang jahat, mereka  memukuliku karna aku menolak seorang gadis, dan mereka itu suruhan gadis  itu."
Aley langsung bangkit dari jongkoknya, kemudian membantu laki-laki itu  untuk berjalan ke mobilnya tanpa bersuara ataupun berkomentar. Dia tau  betapa sakitnya laki-laki itu menahan rasa sakit dilihat dari wajahnya  yang sudah babak belur.
"Awas kalau tidur. Aku tidak tau jalan rumahmu." Kata Aley saat dia sudah duduk di bangku  kemudi.
"Hmm."
**
Mobil putih Aley berhenti di depan rumah yang sangat mewah berwarna  Putih bergaya klasih modern. Dia menatap rumah itu lalu menatap  laki-laki di sampingnya. 'Nah kalo begini pastinya dia bukan orang  jahat, rumahnya saja sebesar ini' pikirnya.
Aley mengklakson sekali namun tak ada yang membukakan gerbang. Dua kali, tiga kali, empat kali, bertubi-tubi.
"Ssstt... kau bisa di lempar batu sama tetangga. Kau pikir rumahku di  pegunungan es tidak punya tetangga?" Laki-laki itu menatap kesal Aley,  yang ditatap hanya nyengir-nyengir kuda. Dia menyodorkan iphonenya ke  Aley. "Tolong telponkan abangku suruh dia buka pintu."
Aley menerima iphone itu. " Kenapa tidak kau saja yang menelpon?."
"Malas. Cari disitu namanya Karel. Kode iphoneku 880088."
Aley mengalah, dia menelpon laki-laki bernama Karel itu sesuai perintah,  yang di telpon mengangkat setelah 3 kali Aley menelponnya. Baru saja  Aley mengatakan tolong bukakan pintu gerbang, telpon sudah dimatikan  secara sepihak, membuatnya mengelus d**a menahan kesabaran.
"Gila... aku belum selesai ngomong." Ucap Aley menatap tak percaya layar  ponsel yang ada di genggamannya, sedangkan yang di sampingnya hanya  menatap ke depan tak peduli.
Tak berapa lama kemudian pintu gerbang itu terbuka sendiri. Aley hanya  bisa menggeleng kagum ketika pintu gerbang sebesar itu bisa bergerak  sendiri, menampakkan bentuk rumah yang kokoh. 
"Wah...." Hanya kata wah yang bisa terlontar dari mulut Aley ketika  matanya berhadapan langsung dengan rumah megah di hiasi lampu-lampu yang  dia yakini lebih mahal dari harga mobilnya.
Setelah mobilnya terpakir di depan rumah, Aley langsung membantu lelaki  itu turun dari mobilnya. Namun setelah matanya menangkap sosok yang  berdiri dengan wajah datar di ambang pintu hampir saja dia merosot  ke-tanah. Entahlah, laki-laki yang dia yakini bernama Karel itu begitu  tampan dengan celana ponggol hitam dan kaos putih abstraknya.
Dua tangan Karel ia masukkan ke saku celana. Tatapannya datar pada dua  orang yang bersusah payah masuk ke dalam rumah. Rambutnya yang  berantakan dan matanya yang belum rela terbuka itu terkesan seram  menurut Aley tapi tetap saja gadis itu memuji wajah Karel yang bisa di  sebut wajah yang diciptakan dengan kemubaziran ketampanan. 
Setelah masuk ke rumah, Aley menidurkan laki-laki itu di sofa ruang  tamu. Dia menghela nafas kasar, kemudian melirik Karel dengan tatapan  sinis. Ingin sekali dia berkata 'Dasar laki-laki tidak punya hati,  membiarkan seorang gadis memapah laki-laki sendirian tanpa berniat  membantu' tapi itu tidak mungkin dia katakan, karna menatap mata dingin  itu saja membuatnya membeku.
"Nama dia siapa?" Ya, akhirnya hanya pertanyaan ini yang keluar dari mulutnya.
Karel yang berdiri sambil bersandar di dinding yang tak jauh dari Aley  menjawab. "Lean," dengan singkat. Tapi mata Karel langsung menatap Lean  dan Aley secara bergantian. "Kau pasti bukan pacarnya."
"Ya, bukanlah. Aku juga kurang beruntung bertemu dia tadi dipukulin  orang tak dikenal." Kata Aley sambil mengingat betapa tadi dia ingin  pura-pura tidak tau tapi hati kecilnya ingin menolong, seperti dia  merasa familiar dengan wajah Lean.
Aley memandangi Lean yang langsung tertidur ketika tubuhnya menyentuh  empuknya sofa. Mata lelaki itu terpejam dengan darah dan luka di  wajahnya. Dia mempehatikan wajah cowok itu, wajah yang ada sedikit  kemiripan dengan Karel. "Lean ini abangmu?" Tanya Aley pada Karel yang  masih berdiri di tempatnya, namun sedetik kemudian dia menyadari  kebodohannya karna tadi Lean sudah bilang kalau yang bernama Karel itu  adalah abangnya.
"Dia adiknya." Jawab Karel.
Ya... bagaimanapun siapa saja akan mengira Karel adalah adiknya dan Lean  abangnya. Secara Karel memiliki wajah baby face dan warna kulit Karel  lebih terang dari Lean. Rambut Karel berwarna coklat tua dan Lean hitam  malam. Sama dengan iris mata mereka yang juga berbeda. Karel memiliki  iris mata coklat seperti kacang almond dengan bentuk mata yang besar dan  Lean hitam malam dengan bentuk mata biasa tapi indah.
Bahkan Aley merasa dia beruntung bertemu dua laki-laki tampan yang  bersamanya sekarang. Dua pemuda itu memiliki hidung mancung sempurna  denga bibir tipis, bahkan Aley meringis karna kalah cantik. Ingin  rasanya dia jalan mendekati Karel dan menyentuh permukaan wajah cowok  itu yang Aley yakinin sangat halus seperti kulit bayi.
"Jadi ini bagaimana?" Tanya Aley pada Karel.
Karel hanya mengangkat satu alisnya keatas tanda dia tidak mengerti.  Yang dia tangkap malah Aley meminta uang balas budi karna sudah  menolong.
Aley mendengus kesal, Karel benar-benar menguji kesabarannya. "Ini  adikmu dibiarkan seperti ini saja gitu? Lukanya tidak dibersihkan?"  tanya Aley. 
Tiba-tiba Aley menyadari sesuatu ketika mata Karel menatapnya sedikit  lama, dia melihat mata itu terasa begitu familiar. Ada rasa aneh yang  langsung membuat kepalanya sakit, bahkan tiba-tiba hadir setitik air  mata di sudut matanya. Tangannya menyentuh setetes air mata itu dengan  bingung, tapi dia memilih tidak memperdulikan itu, yang ia pedulikan  bagaimana bisa matanya tidak bisa lepas dari sosok Karel.
Karel mengibaskan tangannya menyuruh Aley menjauh karna dia ingin  melihat keadaan adiknya. Sempat tergores hati Aley ketika Karel  menyuruhnya menjauh, seperti dia hama dan laki-laki itu tidak mau  dekat-dekat dengannya. Tapi dia hanya bisa sabar, toh memang orang  seperti dia bukanlah se-level Karel.
Setelah memperhatikan keadaan Lean, Karel berjalan ke bagian dalam  rumah.  Tak berapa lama kemudian dia keluar kembali sambil membawa tas  peralatan kedokteran. Karel membuka tas itu dan Aley mengerutkan  keningnya karna yang pertama kali ditangkap oleh kepalanya bahwa Karel  adalah seorang Dokter ataupun calon Dokter. Alat-alat yang di pakai  Karel adalah alat-alat mahasiswa kedokteran. 
"Kau dokter, ya?" Tanya Aley penasaran. Ketampanan Karel berubah jadi  100 persen dimatanya kalau memang benar cowok itu seorang Dokter.
"Bukan, Lean yang dokter." jawab Karel singkat.
Sumpah demi apapun Aley langsung mengerjapkan mata tak percaya. "wajah-wajah bad boy seperti ini Dokter?" batinnya.
Aley duduk di sofa sebrang memperhatikan Karel membersihkan luka Lean  dengan gerakannya yang tenang bak laki-laki bangsawan, itu merupakan  pemandangan yang sangat indah yang pernah Aley lihat, sangat  menakjubkan. Tapi entah mengapa lama-lama semuanya terasa melayang dan  dia masuk ke dalam dunia mimpi. Dia langsung tertidur ketika tubuhnya  menyentuh sofa mahal.
"Berapa yang kau minta aku akan membayar bantuanmu ini." Tanya Karel tapi  tak ada jawaban dari gadis itu. Dia menoleh mencari sosok Aley dan hanya  bisa menghela nafas ketika melihat Aley yang tertidur pulas tanpa dosa.
Bersambung...