Dewi bertemu Dewa

1258 Words
“Tolong cari tahu kehidupan wanita itu. Dia tinggal di sebuah tempat tak jauh dari rumahku.” Sadewa melirik ke arah map yang tergeletak di meja. Di dalamnya, informasi alamat tempat kontrakan Dewi yang sempat ia lihat dari jauh. “Aku akan kirimkan alamatnya. Selidiki dengan rapi. Jangan sampai ada yang curiga, apalagi tahu.” “Baik, Tuan.” Suara di seberang menandakan panggilan berakhir. Sadewa menatap kembali foto Dewi yang kini terbuka di laptopnya. Ia berbisik, nyaris seperti mengakui sesuatu pada dirinya sendiri. “Kenapa sekarang aku malah berharap... kalau Bu Dewi tidak baik-baik saja ya... dengan suaminya itu?” Sunyi. Angin malam menyusup masuk lewat celah jendela. Tapi yang dingin malam itu bukan hanya udara, melainkan rasa bersalah dan harapan yang diam-diam tumbuh di hati Sadewa. Keesokan harinya di kontrakan Dewi. Jarum jam dinding bergerak pelan, menunjukkan angka empat tepat. Dewi terbangun. Matanya terbuka perlahan, tubuhnya masih meringkuk di kasur tipis itu. Ia duduk pelan, menyandarkan punggungnya ke dinding yang dingin. Matanya menerawang jauh. Kejadian semalam kembali menyeruak ke dalam benaknya—saat ia akhirnya tahu bahwa uang yang selama ini ia kira ditabung untuk membangun rumah mereka, justru dipakai Rendi untuk membelikan rumah di perumahan… untuk Roro. Sesak. Matanya terasa panas, tapi ia menahan air mata itu. Ia menarik napas dalam, memaksa dirinya tetap kuat. “Aku tetap harus kerja,” bisiknya lirih. Hari ini seperti hari-hari sebelumnya. Ia harus berangkat pukul setengah enam, menjemput hari sebagai buruh pabrik sepatu. Tangannya perlahan menarik selimut ke samping dan ia berdiri. Tegap, meski hatinya rapuh. Pandangan matanya jatuh pada cermin kecil di pojok kamar. Ia menatap wajahnya sendiri. “Aku yang dulu sering dapat rangking satu di kelas sepertinya bodoh…” suaranya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Seharusnya aku nggak dengarkan omongan Rendi tujuh tahun lalu. Waktu aku mau melamar jadi guru, dia malah nyuruh aku jadi buruh. Katanya gaji jadi buruh lebih besar…” Ia menatap bayangan dirinya yang semakin tampak letih. “Aku bahkan nggak pernah ikut tes CPNS. Dihalang-halangi terus… Aku percaya aja. Bodohnya aku…” Matanya mengeras, marah pada dirinya sendiri. “Nikah pun… waktu itu ibunya cuma kasih uang dua juta. Tapi Rendi mintanya macam-macam. Mau prewedding, mau souvenirnya yang keren, mau seragam buat keluarganya, Semua aku yang keluarin.Tabunganku terkuras habis. Katanya mau diganti setelah nikah. Tapi enggak! Bodoh. Bodoh banget!” Ia mendengus pelan, lalu menggeleng cepat, menepis pikiran-pikiran itu. “Udah. Cukup. Nggak boleh terus-terusan nyesel. Usiaku sudah menjelang kepala tiga. Aku harus bangkit.” Dewi bangkit, mengambil pakaian kerja, lalu bersiap untuk mandi. Ia membuka pintu kamar perlahan dan berjalan menuju kamar mandi. Pakaian untuk kerja ia bawa ke kamar mandi. Tapi langkahnya terhenti. Aroma nasi goreng tercium dari arah dapur. Wangi bawang putih yang ditumis dan kecap manis yang khas menusuk hidungnya. Ia berjalan pelan ke dapur. Dan disanalah Rendi. Memakai kaos oblong dan celana pendek, berdiri sambil membalik nasi goreng di atas wajan. Melihat Dewi datang, Rendi menoleh dan tersenyum. “Hai, istriku,” sapanya dengan nada sok akrab. Dewi diam. Tanpa menanggapi, ia langsung berjalan cepat ke kamar mandi. Pintu kamar mandi tertutup. Dari dalam, Dewi menggigit bibirnya menahan amarah dan rasa muak. “Suami macam apa yang memanggilku istri setelah membohongi aku selama ini…” bisiknya lirih. Air mulai mengalir dari keran. Suara air menutupi suara hatinya yang hancur. Sementara itu Rendi masih berdiri di dapur, membolak-balik nasi goreng di atas wajan. Wajahnya tampak serius, tapi dalam hati ia menyusun rencana. “Aku harus jadi suami yang baik. Aku harus bikin Dewi terkesan. Biar dia batal gugat cerai. Dia nggak boleh pergi,” gumamnya lirih. Ia menyendok nasi goreng ke dua piring. Satu untuk Dewi, satu untuk dirinya. Tiba-tiba— Ponselnya berdering. Di layar, nama “Mbak Roro” terpampang jelas. “Sial…” desis Rendi. Ia cepat-cepat mengangkat telepon itu sambil menjauh dari dapur, masuk ke pojok ruang tamu yang sempit. Telepon tersambung. Suara Roro langsung menyembur tajam dari seberang. “Kok kamu belum juga transfer uangnya sih, Ren?!” Rendi melirik ke arah kamar mandi, lalu menunduk dan menjawab pelan. “Nanti ya, mbak. Aku lagi ribut sama Dewi…” “Mbak nggak mau tahu ya, Ren! Mbak nggak mau nunggak cicilan rumah. Kamu jangan bikin mbak susah deh!” Rendi membuka mulut, hendak menjawab—tapi suara pintu kamar mandi terbuka..Ia langsung panik dan menekan tombol untuk mengakhiri panggilan. Dewi keluar dari kamar mandi. Ia sudah mengenakan pakaian kerja lengkap—berbeda dari biasanya yang selalu santai dengan handuk dan baru berganti pakaian di kamar. Sikapnya jelas. Jaga jarak. Dingin. Tegas. Rendi gugup, mencoba bersikap santai. “Aku… aku udah masak nasi goreng buat kamu,” katanya dengan senyum kikuk, mencoba meredakan suasana. Dewi tak menanggapi. Ia berjalan melewatinya begitu saja dan masuk ke kamar. Dewi langsung menutup pintu kamarnya. Rendi menatap pintu itu, lalu menunduk. Seketika, ketegangan kembali merambat dalam tubuhnya. Kepalanya berputar, antara suara Roro dan tatapan dingin Dewi. “Aku ga akan transfer uang lagi ke mbak Roro, kalau transfer aku akan kehilangan Dewi,” bisiknya panik. Ia menghela nafas panjang, menatap ponselnya. Suasana kontrakan masih senyap, hanya suara televisi tetangga samar terdengar. Pintu kamar Dewi terbuka. Dewi keluar dengan langkah cepat. Ia sudah berpakaian rapi: kemeja perusahaan yang ditutupi jaket lusuh, celana jeans, dan kerudung yang membungkus rambutnya rapat. Wajahnya tanpa riasan, tapi sorot matanya penuh ketegasan. Walau tanpa riasan Dewi terlihat cantik. Wajar. Ayahnya asli orang Indonesia sementara ibunya asli orang Rusia. Rendi yang sedang duduk di ruang tengah cepat berdiri. Di depannya masih ada dua piring nasi goreng yang belum disentuh. “Sarapan dulu, Wi…” Suaranya lirih, mencoba terdengar hangat. Dewi tak menjawab. Tak menoleh. Tak melirik. Langkahnya tetap mantap menuju pintu. Rendi melangkah setengah ke arahnya. “Wi, aku masak buat kamu…” Dewi tak peduli. Ia membuka pintu kontrakan, dan langsung melangkah keluar. Pintu ditutup dengan tegas. Tidak dibanting, tapi cukup keras untuk membuat Rendi diam membeku. Rendi berdiri terpaku di tengah ruangan sempit itu, sendirian, menatap piring nasi goreng yang kini terasa dingin—seperti hubungannya dengan Dewi. “Dewi benar-benar marah. Aku tak boleh membiarkan dia pergi. Kalau dia pergi. Dari mana aku hidup?” Pikirnya. Sementara itu Dewi berjalan cepat menyusuri gang sempit. Langit masih gelap, lampu jalan masih menyala redup. Sesekali motor lewat pelan, dan Dewi menepi tanpa banyak menoleh. Kepalanya menunduk, langkahnya mantap. Di pikirannya, hanya satu: "Aku harus bebas. Aku harus mulai hidupku sendiri. Tanpa Rendi. Aku sudah terlalu lama terjebak." Ia mulai menyusun rencana. “Harus mulai menabung diam-diam. Harus cari tempat tinggal lain. Harus cari tahu soal pendaftaran CPNS tahun ini…” Saat sampai di ujung gang, langkahnya terhenti. Sebuah motor berhenti tepat di hadapannya. Sadewa turun dari motor, mengenakan jaket hitam dan helm yang segera ia lepas. “Hai, Bu Dewi.” Dewi langsung terkejut. Matanya membulat, tubuhnya refleks mundur setapak. “Kamu lagi?” “Kamu… siapa, sebenarnya?” Sadewa tersenyum kecil. Lugu tapi ada aura percaya diri. “Aku Sadewa, Bu.” Dewi menyipitkan mata, mencoba mengingat. “Sadewa…?” “Sadewa yang mana?” Sadewa mengangguk pelan. “Sadewa yang sepuluh tahun lalu kasih Ibu bunga waktu perpisahan SMA. Waktu ibu praktek mengajar.” Dewi terdiam. Sekilas, wajah remaja dalam ingatannya muncul. Seorang siswa yang dulu terlalu banyak senyum padanya, terlalu sering mencari perhatian. Dewi menatap wajah di hadapannya. Kini sudah dewasa, tapi matanya masih sama. “Kamu… Sadewa?” Suaranya pelan, nyaris tak percaya. Sadewa mengangguk mantap. “Dan akhirnya, setelah sepuluh tahun, saya bisa ketemu Ibu lagi.” Dewi masih terdiam. Tak tahu harus merasa apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD