03:PAST

1965 Words
Apa yang bisa kamu sembunyikan dari seseorang yang sudah menelan banyak asam, manis, dan getir kehidupan? Jika ia tak bertanya, itu bukan karena ia tak menyadari, namun karena ia menghormatimu sebagai individu yang berhak menyimpan rahasia diri. *** “Wake up sleepy head!” “Masih ngantuk,” rengek Sofi. “Ish, ngga malu jelek gitu ngangkat video call aku,” balas Eldra. Sofi terkekeh menanggapi. “Aku cantik tau, buktinya kamu mau sama aku.” “Kapan aku bilang kalau aku mau kamu karena kamu cantik? Ngarang aja!” “Aku baru tidur jam satu, El. Gara-gara ngarang.” “Berapa lama emang ngulik tesisnya?” “Mmm ….” “Palingan satu jam. Sisanya nonton drama.” “Kamu nyadap aku ya?” “Nyadap karet!” “Kayak tau aja kamu nyadap karet apaan.” “Makanya, kalau lagi libur, coba ikut Papa Mertua ukur langkah. Kamu bakal nemuin hal-hal yang selama ini cuma kamu baca atau kamu lihat virtual atau sekedar kamu dengar. Belum pernah kan bikin benang sutra dari kepompongnya langsung?” “Kamu pernah?” “Jangankan bikin benang, bikin string yang buat Guzheng aja aku sudah lihat caranya, baby.” “Tapi ngga bikin?” “Ngga. Soalnya bikinnya bisa beberapa hari.” “Serius?” “Hmm.” “Cute banget sih kalau lagi manyun gitu.” “Bilang aja minta aku cium.” Sofi tertawa lagi. “Mau latihan ya, sayang?” “Iya. Tadinya mau ngajak kamu olahraga bareng. Eh kamunya masih jelek! Ngga jadilah.” “Aku mau tidur lagi. Ngantuk banget, El.” “Turun dulu, lihat Mami sibuk apa. Bantuin!” “Ish! Galak!” “Ngga galak. Kamu harus lebih baik setelah tunangan sama aku. Bilang Mami, ‘aku disuruh El bantuin Mami, padahal aku ngantuk berat.’” “Pencitraan!” “Wake up, baby! Gih sana. Kalau Mami ngga sibuk banget baru kamu tidur lagi. Atau nanti agak siangan baru tidur. Temanin Mami dulu.” “Palingan Mami sama Papi.” “Honeybun ….” “Oke! Tuh aku bangun!” Sofi misuh-misuh. “Gitu dong,” kekeh Eldra. “Gih sana latihan!” balas Sofi, mengomel. “Hmm. I love you, baby.” “I love you too, sayang.” Sinar lembut mentari pagi menerobos masuk melalui dinding kaca yang mengelilingi ruang latihan di lantai dua penthouse keluarga Pranata. Pemandangan kota Jakarta terhampar luas di balik kaca, gedung-gedung tinggi berdiri megah, sementara langit gelap dihiasi jingga yang perlahan memudar, bergradasi menuju biru. Suasana masih tenang, hanya suara gemericik air dari private pool di sudut ruangan yang terdengar samar. Di ruang ganti, Eldra berdiri di depan lemari kayu minimalis. Ia mengambil salah satu gi, pakaian latihan karate berwarna putih bersih yang terlipat rapi. Dengan gerakan halus, ia mulai mengenakannya. Lengan bajunya ia rapikan, memastikan tidak ada lipatan yang mengganggu pergerakan. Setelahnya, seutas obi berwarna hitam ia lilitkan di pinggangnya, mengikat erat namun tetap nyaman. Eldra melangkah menuju cermin besar di sisi ruangan. Ia memperhatikan pantulan dirinya, menarik napas dalam-dalam, lalu menghempaskan perlahan. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, bahunya diturunkan, menenangkan diri. Di sampingnya, hamparan langit Jakarta tampak kian cerah, menyajikan latar yang kontras dengan ketenangan di dalam ruangan. Tepat pukul enam pagi. Ia bergerak ke tengah dojo, di mana lantai kayu yang hangat terasa kokoh di bawah telapak kakinya. Baru saja Eldra hendak menunduk, melakukan ritual penghormatan sederhana yang menandai kesiapan untuk berlatih, suara khas langkah kaki yang ia kenali mengisi ruang. Eldra menoleh, menunggu sosok itu muncul dari lorong. “Bang?” “Pa.” “Perlu sparring partner?” “Boleh. Papa cukup tidur?” “Cukup. Abang yang kebanyakan tidur.” Eldra terkekeh singkat. “Ngantuk banget emang semalam, Pa. Apa karena hujan seharian ya?” “Maybe. Papa ketahan di jalan, macet banget.” “Sampai jam berapa semalam, Pa?” “Jam sepuluh lewat dikit,” jawab Dirga. “Anne masih nunggu panggangan, Cantika nyanyi-nyanyi, Arna dan Arya main PS. Abang doang yang ngga ada di ruang tengah. Papa cek ke kamar ternyata sudah tidur. Sakit?” “Pusing aja, Pa. Niatnya mau rebahan sebentar, ternyata pulas.” “Sekarang sudah mau latihan?” “I’m fine, dad.” “Are you sure?” “Definetely!” “Ya sudah, Papa ganti gi dulu.” Suasana di dojo kembali terasa hening begitu Dirga masuk ke ruang ganti, hanya terdengar suara napas Eldra yang teratur. Ia mulai melakukan pemanasan, menggerakkan leher, bahu, pergelangan tangan, dan kakinya secara perlahan. Setiap gerakan dilakukannya dengan penuh kesadaran, seakan menghubungkan tubuh dan pikirannya dalam satu irama. Tangannya terangkat, sikap kuda-kuda diambil dengan mantap. Pukulan-pukulan dasar ia lakukan dengan presisi, suara desingan tangan yang membelah udara terdengar samar. Setiap pukulan dan tendangan tak hanya mengandalkan kekuatan, namun juga fokus dan ketenangan. Di balik gerakan yang teratur tersebut, Eldra menyimpan amarah dan kegelisahan yang belum sempat ia lepaskan. Matanya menatap lurus ke depan, seakan ada sesuatu yang ingin ia kalahkan. Bukan lawan di hadapannya, tapi sesuatu di dalam dirinya sendiri. “Ayo, Bang,” tegur Dirga begitu ia bergabung di tengah lantai kayu. Dirga berdiri tegap, mengenakan gi berwarna putih dengan obi hitam yang sudah pudar di beberapa bagian. Tanda perjalanan panjangnya dalam dunia bela diri. Ia menunduk hormat ke Eldra, diikuti Eldra yang membalas dengan hormat yang sama. Keduanya memulai dengan gerakan dasar, sinkron dan penuh kontrol. Pukulan dan tendangan dilancarkan bergantian, menciptakan irama yang teratur. Keduanya seperti memahami ritme masing-masing, tanpa perlu banyak kata. Tentu, Eldra menguasai bela diri tersebut karena Dirga yang mengajarkannya langsung. Tak hanya Eldra, tapi kelima anaknya. Dirga mengambil posisi kuda-kuda lebih rendah. “Kita sparring ringan dulu. Jangan sungkan, Abang.” Eldra tersenyum miring, dibalas senyuman yang sama oleh sang ayah. “Papa yang jangan kaget kalau kalah,” balas Eldra, pongah di tengah canda singkat. Mereka pun mulai bergerak. Eldra melancarkan pukulan cepat, diantisipasi Dirga dengan blok yang kokoh. Eldra kemudian berputar, mencoba menyerang sisi kanan, namun Dirga melangkah mundur, menjaga jarak. “Good! Cepat, tapi masih terlalu bisa dibaca,” ledek Dirga. Eldra mendecak, terkekeh singkat. Ia lalu memulai kembali, mempercepat serangan, kombinasi pukulan dan tendangan diarahkan ke tubuh Dirga. Namun, Dirga tetap tenang, menghindar dengan efisien, sesekali membalas dengan pukulan ringan yang mengarah ke bahu Eldra. “Takut banget sih sama Papa!” “Ngga takut, Pa.” “Ayo dong! Seriuslah!” Peluh mulai membasahi kening mereka. Suasana di dojo memanas, tapi bukan karena amarah, melainkan semangat dan konsentrasi penuh. Di sela gerakan, Dirga berbicara, suaranya tenang meski napasnya mulai terdengar berat. “Abang, kalau ada yang mengganggu pikiran, lepaskan di sini. Jangan disimpan terus.” Eldra nyaris terpeleset, namun gesit mengimbangi tubuhnya. Ia terdiam sejenak, lalu melancarkan serangan lagi. Kali ini lebih kuat, lebih terarah. Hingga, berhasil mengunci sang ayah. Dirga memberi tanda menyerah, namun yang Eldra lakukan tak hanya melonggarkan kunciannya, melainkan memeluk pahlawannya. “Kita belum rei, Bang,” kekeh Dirga. “Sebentar, Pa. Abang capek.” Ya, sebentar saja sebelum El melepas Dirga. Keduanya kemudian berdiri, saling menunduk hormat, menarik napas panjang. “Papa mau teh?” tanya El seraya mengayun langkah ke pantry kecil di ruangan tersebut. “Air putih aja, Bang,” sahut Dirga. Ia sendiri melangkah ke tepi dinding kaca, menghempaskan dirinya di atas beanbag chair. “Ini, Pa.” El menyodorkan tumbler ke Dirga, lalu duduk di beanbag lainnya, tepat di samping sang ayah. Setelah makan bersama kemarin lusa, baru pagi ini mereka duduk berdua kembali. “Kita jalan jam berapa nanti, Pa?” “Sarapan, terus berangkat.” “Siap, Pa.” Dirga meneguk airnya lagi, El melakukan hal yang sama. Keduanya pun kompak menyapukan tatapan ke pemandangan di hadapan mereka. “Pa?” Eldra memulai perbincangan kembali. Sang ayah menoleh, menatapnya, meski tak membalas dengan kata. “Papa percaya ngga kalau anak umur tujuh tahun bisa mengingat sesutu sampai dia dewasa?” Dirga menghela napas. “Apa yang Abang ingat?” Kini Eldra yang menoleh, terkunci di tatapan teduh ayahnya. “Ngga perlu kena hyperthymesia untuk ngga pernah lupa akan satu kejadian. Selama momen itu terserap ke alam bawah sadar, bahkan demensia pun belum tentu bisa membuat kita lupa, boy.” “Iya, Pa.” Dirga menegakkan tubuhnya, duduk dengan posisi tubuh sempurna menghadap sulungnya. Eldra pun melakukan hal yang sama, menarik napas panjang. “Tapi, Papa jangan mikir yang ngga-ngga ya? Abang sayang sama Papa.” “Hmm,” gumam Dirga, lalu terkekeh singkat. “Soal Papa Devan?” “Papa tau?” “Apa yang Abang kira Papa tau?” “Meninggalnya Papa Dave.” “Stroke?” “Hanya sebatas itu yang Papa tau? Kenapa sampai Papa Dave stroke, apa Papa tau?” “Memang apa sebabnya Devan stroke? Mama ngga pernah cerita ada masalah tertentu.” “Papa juga ngga pernah mencari tau?” “Ngga, Bang. Karena Papa pikir, itu terjadi alami. Maksud Papa, beliau berpulang dari rumah, sebangun tidur. Dan ngga hanya satu dua orang yang pergi seperti beliau Papa dapati di lapangan. Jadi, jujur saja, Papa ngga kepikiran ada faktor X yang terjadi. Max juga ngga cerita ada yang aneh.” Eldra menghempaskan napasnya. Kedua tangannya saling meremas, menunjukkan kegelisahan yang belum terjawab. “Apa yang Abang tau?” desak Dirga lagi. “Abang takut ini hanya prasangka Abang, Pa.” “Kita bisa buktikan, kalau memang itu perlu. Dicari tau. Apa ada yang ngga wajar?” “Kebiasaan Papa Dave, kalau pulang kerja, main sama El dan Anne.” Eldra membuka kisahnya. “Nanti Papa nemanin Anne tidur dulu, baru habis itu ke kamar Abang, dengarin cerita Abang sampai Abang ketiduran. Tapi, beberapa malam sebelumnya, Papa … cuma duduk di samping El. Dan malam itu, Papa ngga wangi sabun, Papa bau rokok.” Kening Dirga mengerut. Andien bilang Devan ngga ngerokok, dan ngga pernah pulang dalam keadaan bau rokok, khawatir anak-anak dan istrinya terpapar residu asap rokok. “Abang pura-pura tidur, Pa. Soalnya itu sudah malam, Abang nungguin Papa Dave sambil mainan rubik. Abang takut dimarahin kalau ketauan ngga tidur-tidur,” lanjut Eldra. Percayalah, yang saat ini Dirga lihat adalah sosok Eldra kecil yang tengah menceritakan hari-harinya pada Dirga. “Ok. Did he say something?” tanya Dirga kemudian. Eldra mengangguk. “Papa bilang … Papa bingung gimana caranya bilang ke Mama kalau Papa dipecat. Terus Papa bilang, ada orang yang jahat sama Papa. Tapi, Papa ngga bisa lapor, karena orang itu bisa bikin Papa dipenjara.” “What? Terus?” “Cuma itu, Pa. Besok paginya, Ayah Kia bilang kalau Papa Dave sudah meninggal.” Dirga berdiri dari duduknya. Ia menghilang di ruang ganti. Tak lama, karena beberapa saat kemudian ia kembali ke samping Eldra seraya menggenggam ponsel yang terhubung ke nomor tangan kanannya. “Morning, Bos?” “Ji, cari tau apa yang dilakukan almarhum Devandra Andreas Collins sebelum kepergiannya.” “Siapa, Bos?” “Devandra Andreas Collins. Sudah gue chat ke lo. Cari tau di mana dia kerja ….” “Luxora Tech, Pa,” potong Eldra. Dirga menatap putranya dengan mata yang memicing. Kelebat amarah tampak di sana. “Sudah seberapa jauh Abang mencari tau?” “Belum sama sekali, Pa. Abang ingat karena ada nama perusahaan di jurnal kerjanya Papa Dave,” jawab Eldra. “Jangan cari tau apa pun seorang diri. Bisa Abang janji ke Papa?” “Pa ….” “Bisa?” “I-iya, Pa. Bisa.” Dirga mengangguk. “Luxora Tech, Ji,” ujar Dirga kemudian, kembali ke Aji. “Itu kan?” “Hmm. Cari tau diam-diam, siapa saja yang bersinggungan dengan almarhum mendekati kepergiannya. Hubungi Lion, siapa tau mereka sudah menghilangkan data lama.” “El juga mau nyari tau, Pa,” potong Eldra. “Nanti, biar Aji dan Lion menilai situasi dulu,” tegas Dirga. “Jangan gegabah dengan mereka, El! Petinggi di sana banyak yang bukan manusia!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD