04:RESOLVE

1802 Words
I don't seek revenge. I’ll teach them what it means to lose. *** “Pa?” Dirga baru saja menutup panggilannya dengan Aji, ekspresinya tampak gusar. Tatapannya kosong menembus jendela, namun seketika kembali tajam saat Eldra memanggil. Ia menantang tatapan sang putra, meski enggan bertanya apa yang hendak Eldra sampaikan. “Abang mau nyelesaiin masalah ini, Pa.” Suara keras hempasan napas terdengar. Dirga menutup kedua matanya, menahan emosi yang mengalir deras di aliran darahnya. Rahangnya mengeras. “Papa bisa suruh orang,” tegasnya kemudian. “Papa ngga bisa selalu melindungi Abang. Abang juga harus bisa ngelindungi diri sendiri, Pa. Juga melindungi keluarga.” “Abang ….” Dirga tercekat. Kata-kata itu seperti cerminan dirinya di masa lalu. Apa yang bisa ia lakukan untuk menghentikan keinginan seorang anak hasil didikannya? Bukankah itu sama artinya ia ingin melawan bayangannya sendiri? “Apa yang Papa tau tentang Luxora Tech?” tanya Eldra kemudian. “Kayaknya tadi Om Aji mau memastikan sesuatu.” “Itu kejadian lama, Bang.” “Apa pun itu, Abang perlu tau, Pa.” Dirga mendengus lagi, mengusap wajahnya. “Abang dulu! Apa rencana Abang sebelum bicara ke Papa?” Kini Eldra yang menghela napas panjang. “Jujur aja, Pa … belum ada yang spesifik.” Sinar matahari yang beranjak naik terasa kian terik. Pancarannya tertuju ke kaca di hadapan mereka. Silaunya membuat dua pasang mata spontan memicing. “Abang … memilih karir di bidang IT karena ingin menemukan mereka, Pa. Tapi, dua tahun berkarir, Abang bahkan ngga tau siapa dan apa yang Abang cari. Abang ngga punya informasi lebih selain apa yang Papa Dave bilang malam itu.” Dirga berdiri dari duduknya, melangkah menjauh lebih dulu. “Ayo, Bang. Berendam sebentar.” Eldra mengangguk, mengikuti sang ayah yang sudah menceburkan diri ke dalam kolam air hangat di sana. Uap tipis mengambang di permukaan, memeluk tubuh mereka yang mulai larut dalam percakapan serius. “Giliran Papa,” tagih Eldra. “Abang ingat ngga kalau Papa pernah beli sebuah firma arsitektur? Arklins. Pernah dengar?” Kening Eldra perlahan mengerut. Ia mencoba membuka memorinya, mengingat-ingat di mana ia pernah mendengar nama itu. Namun, nihil. Eldra lupa. “Ngga ingat, Pa.” “Hmm.” Dirga bergumam. “Perusahaan itu Papa akuisisi dengan 3D Design.” “Jadi, Arklins ini?” tanya Eldra lagi. “Arklins itu firma yang meng-handle proyek pembangunan Orama Buildings.” Kedua mata Eldra sontak membelalak. “Maksud Papa?” “Betul. Proyek yang sempat ramai karena bagian barat gedung tersebut runtuh saat progress pembangunan sudah mencapai 70%. Sebelas orang pekerja meninggal di tempat, beberapa cacat permanen, dan cukup banyak yang mengalami luka-luka.” “Dan Papa membeli perusahaan itu?” “Sekitar … tiga tahun kemudian. Papa dan Mama sudah menikah kok. Perusahaannya dilelang karena bangkrut. Habis-habisan karena proses hukum. Ada beberapa arsitek muda yang Papa tau skill-nya. Papa pikir, kalau mereka melamar pekerjaan di firma lain dengan record pernah bekerja di Arklins, bukankah itu akan sulit? So, after meeting sama para pemilik saham, kami memutuskan membeli dan menggabungkannya dengan 3D.” “Kenapa Papa dan yang lainnya mengambil keputusan itu?” “Pemilik Arklins itu orangtuanya teman Papa. Papa kan tahun pertama SMA di Jakarta. Dia tau Papa punya 3D Design, jadi dia menghubungi Papa. Menceritakan masalah yang terjadi sampai Arklins hancur.” Dirga memberi jeda, menyusun kata di benaknya, pun membiarkan Eldra mencerna informasi-informasi sebelumnya lebih dulu. “Arklins bekerja sama dengan Luxora Tech dalam pembangunan Orama Buildings, di mana Luxora bertanggung jawab atas sistem keamanan dan jaringan bangunan. Saat itu, sistem yang dipilih klien adalah yang paling mutakhir dan cost-nya cukup mahal. Luxora katanya sempat kelihatan ragu, mungkin karena belum mengusai sistem itu. Tapi, owner-nya memastikan bisa dan siap. And then, proyek mulai berjalan, sampai akhirnya kecelakaan besar itu terjadi. Luxora ngotot ngga melakukan kesalahan dan nyalahin desain bangunan. Dampaknya Arklins kehilangan reputasi, klien ngga mau makai mereka lagi, dan media tuh seperti menggiring opini membenarkan tuduhan yang dilempar Luxora ke Arklins.” Dirga memejamkan mata sejenak, mencoba meredam emosi yang membuncah. “Papa bantu mereka bukan hanya soal bisnis, Bang. Tapi karena Papa tau, di balik kegagalan itu, ada kebenaran yang ditutup-tutupi,” lanjutnya. “Tapi terbukti kalau memang kesalahan desain, Pa?” “Abang paham kan bobroknya hukum di sini?” “They don’t care siapa yang salah dan benar. Selalu ada asas kepentingan,” lirih Eldra. Miris. “That’s it!” “Itu sebabnya orangtua teman Papa mengakui kesalahan yang tidak mereka lakukan. Karena setelah perhitungan semuanya, mereka sudah habis-habisan, dan jika proses hukum terus dipaksakan, belum tentu kebenaran akan berpihak ke yang benar. Malah yang ada, sudah dihukum, dipaksa bayar ganti rugi pula, nambah hutang yang akan dibebankan ke ahli waris alias teman Papa dan saudara-saudaranya.” Eldra menatap kosong. “Dan Papa percaya itu bukan kesalahan Arklins?” Dirga mengangguk mantap. “Papa lihat sendiri desainnya. Semuanya sesuai standar. Tidak ada kesalahan.” “Kenapa ngga banding, Pa?” “Mereka sudah bangkrut karena masalah itu, Abang.” “Ya Allah ….” “Ian yang bilang, setelah dia nyari tau, ternyata pemilik Luxora Tech itu adalah keluarga salah satu taipan culas di sini. No wonder sih kalau mereka bisa membeli hukum dan mengarahkan sentimen publik. Papa juga mau bantu ya belum bisa, 3D belum segitu besarnya saat itu.” “Teman Papa itu siapa?” “Om Putra.” Eldra mengangguk-angguk. Sudah menduga jika orang yang sedaritadi disinggung pasti ikut bergabung dengan 3D, bahkan menjadi salah satu orang yang Dirga percaya menduduki posisi penting di perusahaannya. “Kalau dipikir-pikir, berarti meninggalnya Devan ngga berselang jauh dengan kecelakaan besar itu,” gumam Dirga kemudian. “Maksud Papa?” Kening Dirga kian mengerut, tatapannya menerawang, seolah ia tengah membuka semua ingatannya di saat-saat tersebut. Kejadian yang benar-benar menghina kredibilitas para arsitek. “Pa?” tegur Eldra lagi. “Kita tunggu kabar dari Aji,” ujar Dirga. “Pa! Abang ngga bisa dong nunggu aja.” “Abang ….” Eldra terdiam, rahangnya mengeras. Ia menarik napas panjang lebih dulu. “Kalau Papa di posisi Abang, apa Papa akan diam aja? Pasrah gitu nunggu kabar?” Dirga mendengus keras. “Abang ngga tau siapa yang Abang hadapi.” “Papa tau? Papa bisa kasih tau Abang kan? Kalau Papa ngga izinin Abang campur tangan, Abang akan cari tau dengan cara Abang sendiri! Abang bukan anak kecil lagi, Pa! Seperti yang Abang bilang tadi, Abang ngga bisa seterusnya berlindung di balik punggung Papa. Someday, Abang yang harus melindungi Papa, melindungi keluarga kita, keluarga Abang.” Dirga terdiam. Untuk sesaat, hanya suara gemericik air yang terdengar. Perlahan, ia menatap Eldra, ada kebanggaan dan ketakutan sekaligus. “Baik. Kalau Abang memang ingin jalan di jalur ini, Papa akan bantu. Tapi kita lakukan ini dengan hati-hati.” Eldra mengangguk mantap. “Kita mulai dari mana, Pa?” “Kita mulai dari Luxora Tech, siapa saja tim mereka yang terlibat dalam proyek itu.” *** “Masuk,” seru Eldra saat pintu kamarnya terdengar diketuk. “Abang sudah siap?” tanya Andien yang menyembulkan kepalanya di celah pintu. “Hmm,” gumam Eldra seraya mengangguk. “Masuk, Ma.” Andien mengayun langkah diiringi suara berdebum pelan saat pintu di belakangnya tertutup. “Ngga bawa baju?” tanya Andien lagi. Eldra terkekeh, mengenakan kaosnya, lalu duduk di samping sang ibu. “Ada apa, Ma?” “Mama nanya aja kok.” “Mama yang paling tau kalau Abang ngga pernah bawa baju ke Bandung,” timpal Eldra. Andien mengangguk. Ia kemudian menyapukan titik pandangnya ke seluruh sisi dan sudut kamar sulungnya. Eldra bisa melihat netra sang ibu yang berkaca-kaca. “Mama berantem sama Papa?” tanya Eldra kemudian, berhati-hati. “Ngga,” kekeh Andien. “Ngga akan pernah kayaknya. Suara Mama ninggi dikit aja Papa langsung sedih kan.” “Terus? Kok sekarang Mama yang sedih?” Andien terdiam. Ia menoleh ke sisi kanannya, menatap pemandangan kota Jakarta dari ketinggian. Namun, lambat laun, tatapan itu berubah kosong. “Mama … tadi ke atas,” lirihnya kemudian. Dad4 Eldra seolah diremas, terasa ngilu. Ia mengatur napas, berusaha menghilangkan kegugupan yang tiba-tiba melanda. “Can we just forget and let go of all the pain we've been through?” lirih Andien. Air mata Eldra menitik, rasanya begitu sakit mendengar permintaan yang dilontarkan sang ibu. Eldra paham, Andienlah yang paling menderita saat Devan pergi. Tak mudah baginya bangkit demi ketiga anaknya. Eldra tau, mengulik kembali masa lalu bisa saja mengacaukan hubungan Andien dengan Dirga. Andien tak mungkin berpura-pura tak tau apa pun bukan? Eldra berpindah ke lantai. Duduk seraya merebahkan kepalanya di pangkuan Andien. “Mama minta maaf karena ngga melakukan apa pun saat itu,” ujar Andien kemudian. “Bahkan untuk bertanya kenapa ngga satu orang pun dari Luxora Tech datang takziyah? Mama baru tau kalau Papa dipecat, dari Abah. Abah yang datang ke kantor, niatnya untuk mengabarkan kepergian Papa, tapi ternyata justru Abah yang dapat kabar mengejutkan. Mama … ngga punya cukup tenaga untuk mencari tau apa yang sudah mereka lakukan pada Papa, Bang.” Eldra mendongak saat air mata Andien menetes ke pelipisnya. Ia mengulurkan kedua tangan, mengusap wajah cantik sang ibu. Bagaimana mungkin Eldra menyalahkan Andien? Ia tau betul, bahkan bernapas pun sulit untuk Andien saat itu. Ia yang selalu memeluk Andien selama masa duka yang tak hanya tujuh atau empat puluh hari. Faktanya, Andien baru bisa tersenyum lagi saat Dirga masuk ke hidup mereka. Itu pun tak lantas bisa membuat Andien menceritakan banyak hal tentang Devan. “Ma, pasti ada sesuatu yang salah. Papa yang bilang ke Abang kalau ada orang yang jahat sama Papa, tapi Papa Dave ngga bisa membalas karena itu akan membuat Papa dipenjara. Ngga mungkin kan Allah membiarkan ingatan itu ada di kepala Abang sampai sekarang, Ma? Pasti ada sesuatu yang bisa Abang lakukan.” “Tapi Papa Abang bilang mereka bukan manusia.” “InshaaAllah Abang ngga apa-apa, Ma. Kan ada Papa Ga. Abang ngga akan sendiri. Ada Om Aji, Om Lion. Ada doa Mama.” “Abang ….” “Ma, Abang jadi kayak Papa Dave karena ngga bisa mengabaikan omongan Papa ke Abang. Papa Dave pasti kebingungan saat itu, Ma. Bahkan Papa Ga merasa ada yang ngga beres. Abang tuh yakin pasti kepergian Papa ngga sekedar kebetulan stroke, Ma. Pasti ada yang menekan Papa sampai akhirnya beliau ngga kuat.” Andien terdiam, menatap putranya yang mengadopsi wajah almarhum secara utuh. Bahkan cara mereka menatap pun sama. Kedua tangan Andien menangkup wajah Eldra, menyadari jika sulungnya telah menjadi pria dewasa. Mengingat Eldra tumbuh dari kehilangan besar, dan diasuh oleh pria sekeras Dirga, sepertinya mustahil untuk menggoyahkan tekadnya. “Janji sama Mama … apa pun yang terjadi, Abang jangan ambil keputusan sendiri. Libatkan Papa, atau setidaknya kasih tau Mama. Janji kalau Abang akan baik-baik aja. Jangan gegabah, jangan terluka.” Eldra mengangguk pelan. “Abang janji, Ma. Abang janji.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD