Bab 13 - Sebuah Misi

1527 Words
Suara klakson membuat Haris segera melajukan mobilnya. Rupanya mereka terlalu serius bicara sampai-sampai tidak menyadari kalau lampu lalu lintas sudah kembali berwarna hijau. “Itu sebabnya kalau mau bicara serius harus mencari tempat yang tenang dan nyaman. Bisa-bisanya saya mengajakmu bicara hal penting dalam perjalanan begini. Maaf ya, Risa,” ucap Haris yang kini sudah melajukan kembali mobilnya. Selama beberapa saat, Haris mengemudikan mobilnya dengan tenang, sedangkan Risa masih sibuk dengan berbagai macam pikiran di benaknya. Haruskah Risa jujur saja kalau dirinya sudah tidak suci lagi? Jika dirinya sungguh jujur, apakah Haris masih tetap ingin menikahinya atau berubah pikiran? Risa bingung. Sebagian dari dirinya mulai berharap menjadi istri dari seorang Haris Adhitama. Dan yang pasti ini bukan melulu karena pria itu kaya raya atau lantaran calon presdir selanjutnya. Sejauh Risa mengenal Haris, pria itu tidak pernah aneh-aneh dan tak pernah bersikap kasar. Haris bahkan cenderung cuek dan dingin pada seluruh staf wanita di kantor. Itu artinya apa? Haris bukan tipe pria yang mudah akrab dengan wanita. Haris hanya akan bersikap perhatian pada wanita yang disukainya. Apa yang terjadi hari ini adalah buktinya. Ya, pria itu sangat perhatian dan bersikap hangat pada Risa. Dalam kata lain, Haris akan memperlakukan pasangannya dengan spesial. Sedangkan caranya bersikap dingin pada wanita lain jelas menunjukkan kalau Haris sangat menghargai pasangannya. Risa menggeleng. Jika jujur terlebih memberi tahu bahwa pria yang telah merenggut kesuciannya adalah Daffin, bukankah sama saja dengan membuat Haris kecewa? Bagaimana kalau bosnya itu berubah pikiran? Anehnya, Risa tidak rela jika Haris berubah pikiran. Ia merasa sangat beruntung dipilih oleh bosnya itu yang katanya diam-diam menyukainya. Bagaimana mungkin Risa melepaskan peluang dan keberuntungan menjadi istri Haris? Aku ingin jujur, tapi aku nggak siap dengan risikonya…. Hanya saja, bagaimana kalau Daffin membocorkannya? Membocorkan kalau mereka pernah tidur bersama, bukankah itu jauh lebih parah? “Risa, tolong jangan terbebani ya dengan ajakan menikah saya barusan. Kamu juga tidak wajib menjawab saat ini juga. Jawablah saat kamu sudah benar-benar mantap memutuskannya. Walau bagaimanapun, menikah bukanlah keputusan yang sepele.” “Baik, Pak. Saya akan memikirkannya.” Haris kemudian tersenyum. Sambil mengemudikan mobilnya, sesekali pria itu menoleh ke arah Risa, membuat Risa menjadi salah tingkah sendiri. Namun, tentu saja wanita itu cepat-cepat menetralkan ekspresinya. Astaga, sejak kapan aku jadi begini? Salah tingkah saat ditatap bos sendiri…. Ah, hanya ditatap oleh Haris saja sudah bisa membuat Risa salting. Sungguh, Haris terlalu sempurna untuk Risa tolak. Mempertimbangkannya dulu? Sebenarnya itu hanyalah formalitas karena Risa sepertinya tidak ragu lagi untuk menerima lamaran dadakan Haris. Satu-satunya hal yang membuat Risa ragu adalah aibnya yang pernah menjadi teman tidur Daffin. “Kamu pasti sedang memikirkannya,” ucap Haris yang kembali memecahkan keheningan di antara mereka. Risa tersenyum. “Pak Haris tahu aja.” “Santai aja, kamu masih punya waktu untuk memantapkan pilihanmu.” “Iya, Pak. Saya mengerti.” “Ah, Risa. Bolehkah saya meminta sesuatu?” “I-iya?” Risa tampak heran. “Bagaimana kalau kita berinteraksi dengan lebih akrab? Maksud saya, selama ini saya sering melihat kamu berbicara informal dengan orang lain, hal yang tidak pernah kamu lakukan dengan saya karena saya adalah bosmu. Tapi mulai hari ini … bicaralah informal saat kita sedang berdua begini. Kamu tidak perlu saya-sayaan. Kamu boleh menyebutmu aku seperti saat kamu bicara dengan orang lain dan tentunya … panggil saya Mas Haris.” Risa mengangguk-angguk. “Mungkin awalnya akan terasa canggung, tapi saya … ah, maksudnya aku akan membiasakan diri.” “Terima kasih, Risa.” Beberapa menit kemudian, mereka sudah tiba di depan perumahan tipe 36 yang cicilannya masih berlangsung tiga belas tahun lagi. Rumah yang jauh dari kata mewah ini sudah lebih dari cukup untuk membuat Risa dan ibunya bersyukur. Haris memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah Risa. “Ibu kamu ada di dalam, kan?” “Ya, ibu nggak mungkin ke mana-mana.” “Bolehkah saya menemuinya?” “Eh? Bapak yakin?” “Sangat yakin. Setidaknya saya perlu menyapanya.” “Ta-tapi nanti ibu salah paham dan mengira….” Risa tak melanjutkan kalimatnya. “Mengira saya pacar kamu? Justru bagus. Dengan begitu ada dukungan tambahan supaya kamu bersedia menikah dengan saya.” Setelah mengatakan itu, Haris turun dari mobilnya dan bermaksud membukakan pintu satunya untuk Risa. “Pak, tunggu….” “Ya, saya tunggu,” balas Haris yang sudah secepat kilat membukakan pintu untuk Risa. Risa kemudian turun dan matanya langsung membelalak saat melihat ibunya sudah berada di ambang pintu. “I-ibu….” Haris memutar tubuhnya menghadap Kumala. “Selamat sore, Bu.” “Risa, kamu sedang bersama siapa?” Haris meraih tangan Risa dan membawanya mendekati Kumala. “Perkenalkan, Bu. Saya adalah….” “Ini Pak Haris, Bu. Bosku di kantor,” ucap Risa cepat, memotong ucapan Haris. Kumala menjawab, “Risa, kamu yakin ini bosmu? Bukannya kamu bilang bos kamu itu cuek dan judes, kenapa yang ini terlihat ramah?” “Ibu….” Risa berusaha mencegah ibunya membahas hal semacam itu. Kumala lalu terkekeh. “Masuklah, Nak Haris. Mau mengobrol sambil minum teh?” Nak Haris? Bisa-bisanya Kumala memanggil seperti itu, membuat Risa tak habis pikir. “Ibu, Pak Haris sibuk dan mau pulang. Pak Haris turun hanya untuk menyapa sebentar, bukan untuk mengobrol apalagi sambil minum teh.” “Saya tidak sibuk.” “Pak, tolong. Aku nggak mau ibu berharap dulu,” bisik Risa. “Selama ini, ibu sangat ingin aku punya pacar. Aku takut….” “Kenapa malah bisik-bisik? Ayo Nak Haris masuk, bukankah kita perlu membahas cara untuk meluluhkan hati Risa?” “Ibu, tolong jangan bicara yang aneh-aneh,” mohon Risa. Sekalipun Haris sudah melamarnya, bukan berarti bisa se-blak-blakan ini. Apalagi status mereka belum resmi menjalin hubungan. Haris sendiri yang mempersilakan Risa mempertimbangkan keputusannya, sekalipun Risa memang sejak awal sudah tertarik dengan tawaran Haris yang ingin menikahinya. “Risa, sejujurnya saya pernah bertemu dan berbicara dengan Bu Kumala.” “A-apa? Kapan, di mana dan apa yang kalian bicarakan?” “Sekitar seminggu yang lalu, saya mengunjunginya saat kamu bekerja. Saya meminta izin padanya untuk menjadi menantunya.” “Ya ampun.” Risa sampai tak bisa berkata-kata. Pantas saja ibunya terlihat akrab dengan Haris. Selain itu, kenapa tidak pernah cerita? “Risa, tunggu apa lagi? Buatkan teh hangat untuk tamu istimewa kita.” Setelah mengatakan itu, Kumala mempersilakan Haris masuk. Sejenak, Risa memperhatikan Haris dan Kumala yang berjalan beriringan masuk ke rumah. Jujur, Risa tak menyangka bisa melihat senyum semringah penuh semangat ibunya lagi. Semenjak sakit-sakitan, Kumala hampir tak pernah terlihat se-senang ini. Pak Haris, apakah kamu sungguh dikirim Tuhan untuk membawa kebahagiaan untukku dan ibu? *** “Apa ini masuk akal? Kenapa saya harus bersaing dengan anak emas sialan itu?!” Sepanjang perjalanan, Daffin terus mengomel. Fito yang sedang duduk di kursi kemudi dan mengemudikan mobil milik majikannya itu, tentu saja sudah terbiasa sehingga tetap bersikap tenang. “Fito, selama saya dihukum … kamu yakin tidak mengetahui hubungan mereka saat menyelidiki segala tentang Risa?” tanya Daffin lagi. “Ya, setahun saya Risa tidak punya pacar. Itu sebabnya hari ini pun saya sama terkejutnya saat mengetahui Tuan Haris bertemu keluarga besar sambil memperkenalkan Risa sebagai calon istrinya. Saya juga masih berusaha mencerna semua ini, Tuan.” “Jadi, hubungan mereka terindikasi palsu, bukan?” “Ya, benar, Tuan,” balas Fito. “Tapi….” “Tapi apa lagi?” serobot Daffin tak sabaran. “Tentang perasaan dan isi hati … saya merasa kalau mereka saling tertarik satu sama lain. Tidak menutup kemungkinan hubungan mereka asli. Bisa aja selama ini mereka terlalu pintar backstreet-nya sampai-sampai tidak ada yang tahu hubungan mereka.” “Maksudmu, sekarang waktunya mereka go public?” “Bisa dikatakan begitu, tapi kita perlu memastikannya. Sungguh, saya merasa mereka sama-sama tertarik….” “Kamu mau mati?!” marah Daffin. “Omong kosong macam apa itu?” “Maaf Tuan, saya hanya bicara apa adanya.” Bersamaan dengan itu, mobil yang Fito kemudikan berhenti di sekitar rumah Risa. “Sial. Setelah mengantar Risa, bukannya langsung pulang, Mas Haris malah mampir dulu,” kesal Daffin. “Tuan tidak mungkin turun, kan? Bagaimana kalau kita pulang sekarang? Saya pikir Tuan lebih baik beristirahat.” “Kalau langsung pulang, untuk apa kita mengikuti sampai ke sini? Mari tunggu sebentar sampai anak emas itu pulang. Mari lihat seberapa lama dia mampir.” Sepuluh menit berlalu…. “Kenapa Mas Haris nggak pulang-pulang, sih? Selain itu, seharusnya ada penghuni lain yang mengklakson panjang karena mobil Mas Haris menghalangi jalan. Anehnya, justru nggak ada. Padahal kalau ada, mau nggak mau Mas Haris pulang.” “Bagaimana kalau kita yang pulang aja, Tuan? Saya pikir tidak ada gunanya kita di sini.” “Enggak ada gunanya kamu bilang?” kesal Daffin lagi. “Maaf, Tuan.” “Saya sudah memutuskan … saya akan turun dari mobil ini.” “Tu-Tuan mau ke mana?” “Kamu diam saja di dalam mobil. Jangan ikut turun.” “Memangnya apa yang akan Tuan Daffin lakukan?” “Anggap saja saya sedang menjalankan sebuah misi. Misi agar Risa jatuh ke pelukan saya, bukan pelukan anak emas sialan itu!” Setelah mengatakannya, Daffin bergegas turun dari mobil. Oh tidak, Fito bahkan tak bisa menebak, sebenarnya apa yang akan Daffin lakukan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD