Bab 12 - Memangnya Boleh?

1353 Words
Selama dua tahun ini, Risa yakin hubungannya dengan Haris sangat profesional. Kemarin pun masih sangat profesional selayaknya bos dan sekretaris. Bahkan, dua jam lalu pun Risa masih mendampingi bosnya meeting dengan klien. Hanya saja, yang terjadi sekarang … apa-apaan? Ini terlalu nyata jika aku mau menganggapnya mimpi…. Anehnya lagi, Risa berdebar. Risa merasa Haris menyukainya meskipun entah sejak kapan. Apa bosnya selama ini memendam rasa tapi sengaja bersikap dingin dan cuek? Jangan-jangan Risa mendadak jatuh cinta pada Haris. Oh tidak, bagaimana ini? Haris melepaskan pelukan mereka, matanya menatap Risa lekat, seperti ada sesuatu yang ingin pria itu katakan. Hanya saja, belum bisa terealisasikan karena detik berikutnya suara Utami langsung membuyarkan fokus mereka berdua yang sedang saling memandang. “Astaga. Rupanya kalian di sini. Bisa-bisanya mama khawatir soalnya Haris lama banget jemput Risa-nya, eh ternyata kalian lagi berpelukan mesra,” ucap Utami. “Ah, maksudnya beberapa saat yang lalu pelukan mesranya karena sekarang kalian sedang saling menatap intens. Romantis banget,” sambungnya menggoda. Risa tersenyum kikuk, tapi Haris tetap bersikap tenang, sama sekali tidak salah tingkah seperti Risa. “Maaf kalau saya lama banget jemput Risa-nya, Ma.” “Bukan masalah, Haris. Ini salah mama yang nggak kepikiran kalau kalian lagi … ehem,” kekeh Utami. “Sekarang lanjutkan aktivitas kalian, nanti kalau sudah selesai tolong ke ruang tamu, ya. Jeng Rosita ingin sekalian kenalan sama calon mantu mama,” sambungnya. “Kami segera ke sana, Ma,” balas Haris. “Santai aja. Jeng Rosita juga nggak buru-buru pulang.” Utami mengatakan sambil berlalu meninggalkan Risa dan Haris. Sungguh, Utami jadi senyam-senyum sendiri. “Padahal saya pernah muda, bisa-bisanya nggak paham,” gumam Utami pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Senyumnya semakin lebar saat ingat Haris sedang berpelukan dengan calon istrinya. Akhirnya, setelah sekian lama menantikannya … Utami sangat senang tidak lama lagi dirinya akan memiliki menantu yang ia berjanji akan menganggapnya seperti anak sendiri. Sementara itu, Risa yang masih berdiri berhadapan dengan Haris, refleks mereka berdua tertawa ringan saat Utami sudah beranjak pergi. Meskipun mereka tidak sedang aneh-aneh dan sekadar pelukan saja, tapi rasa malu jelas masih ada. “Risa, mari bicara sepulang dari sini,” ucap Haris. Risa mengangguk-angguk. “Mari temui mama dan Tante Rosita sebentar. Setelah itu kita pamit pada semuanya. Semakin cepat kita pergi, itu lebih baik. Saya benar-benar ingin berbicara empat mata denganmu.” “Baik, Pak. Saya paham.” Setelah itu, mereka bergegas ke ruang tamu. *** Mobil yang Haris kemudikan perlahan melaju keluar gerbang mansion keluarga Adhitama. Tentunya Risa saat ini duduk dengan tenang di samping Haris, yakni di samping kursi kemudi. Benar, dari luar kelihatannya Risa memang sangat tenang, padahal di dalamnya Risa benar-benar deg-degan. Wanita itu berdebar hebat. “Gimana kesan kamu setelah bertemu keluarga saya?” Sambil mengemudikan mobilnya dengan tenang, Haris memulai pembicaraan. “Saya nggak pernah mengira kalau mereka akan menyambut saya, bahkan Tante Rosita juga nggak kalah baik,” jawab Risa. “Hadiah yang mama kasih … itu dibikinin Tante Rosita, kan?” Wanita itu kembali menoleh pada sebuah kotak berisi hadiah yang Utami berikan padanya. “Lebih tepatnya karyawannya. Tante Rosita memang punya usaha hampers dan mama itu salah satu pembeli naratama, pesan dadakan banget pun bisa. Malah owner-nya langsung yang antar.” “Intinya, saya merasa yang terjadi hari ini adalah … sesuatu yang nggak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ya meskipun ini hanyalah pura-pura, tapi bertemu mereka semua sangat berkesan bagi saya.” “Risa, sepertinya kamu belum paham,” ucap Haris dengan pandangan yang terus menatap jalanan di depannya. Sejenak Risa menoleh pada Haris di sampingnya. “Belum paham gimana maksudnya, Pak?” “Kamu mengira kalau saya hanya menjadikanmu calon istri pura-pura, kan? Padahal saya serius ingin kamu menjadi calon istri saya.” Deg. Jantung Risa semakin berdebar kencang. Namun, Risa sebisa mungkin mengendalikan ekspresinya, jangan sampai salah tingkah. Sungguh, ini adalah pertama kalinya bagi Risa. Selain Haris, tidak pernah ada yang mengajak Risa membicarakan soal pernikahan. Mungkin itu sebabnya perasaan Risa menjadi tak karuan begini, antara percaya dan tidak percaya. Terlebih Haris bukan sekadar pria tampan idaman banyak wanita, melainkan bosnya juga. Jadi, bagaimana mungkin Risa bisa bersikap biasa saja? “Kenapa? Kenapa harus saya, Pak?” “Kamu adalah satu-satunya perempuan yang paling dekat dengan saya. Jadi, saat orangtua saya meminta saya mengakhiri masa lajang … kamulah satu-satunya nama yang ada di benak saya untuk saya nikahi.” Risa berusaha tenang, meski jantung dan hatinya semakin sulit untuk dikendalikan. “Oke, saya memang yang paling dekat dengan Pak Haris, tapi itu dalam hal pekerjaan.” “Itu artinya saya berhasil memendam perasaan saya, sampai-sampai kamu tidak menyadarinya,” balas Haris. Apa Haris serius? Apa pria itu sungguh memendam perasaan pada Risa? Bisakah Risa memercayainya? Ini terlalu mendadak baginya. “Sejujurnya … ini masih sangat nggak masuk akal bagi saya, Pak. Ini juga sangat tiba-tiba sehingga aku bingung harus memercayainya atau menganggapnya sebagai lelucon. Mungkin kalau Pak Haris melakukan pendekatan dulu, saya nggak akan se-heran ini. Masalahnya adalah … Pak Haris sama sekali nggak pernah melakukan pendekatan terhadap saya. Pak Haris juga nggak terlihat seperti orang yang menyukai saya. Jadi, saya merasa aneh saat Pak Haris bilang ingin menikah denganku.” “Saya paham kamu pasti bingung, Risa. Lamaran saya yang sangat mendadak ini … jelas tidak mudah dipercaya begitu saja. Tapi satu hal yang pasti … saya bersungguh-sungguh ingin menikahimu. Maaf seharusnya saya lebih awal bilang kalau saya … menyukaimu.” Haris menambahkan, “Ya, saya jatuh cinta padamu, Risa.” Tak bisa dimungkiri kalau Risa semakin tak bisa mengendalikan ekspresinya. Ia benar-benar salah tingkah. Jujur, wanita itu semakin berdebar setelah mendengar kalimat-kalimat yang Haris lontarkan. Haruskah Risa pingsan saja? Jika Haris adalah takdirnya yang tidak diduga-duga … pantaskah Risa bersama pria itu? Pantaskah padahal Risa sudah tidak perawan lagi? Terlebih yang melakukannya adalah adik dari Haris. Ah, seketika Risa menyesal kenapa dirinya pernah terjebak menjadi teman seranjang Daffin? Ini mungkin akan sempurna jika saja Risa tidak pernah bertemu Daffin sebelumnya. “Risa, saya tahu kamu belum tentu jatuh cinta pada saya sekalipun saya diam-diam jatuh cinta sama kamu, dan yang pasti … saya mengajakmu menikah bukanlah sebuah paksaan. Kamu berhak memutuskan untuk menerima atau menolak saya. Saya sedikit pun tidak akan memaksa.” Haris berbicara lagi, “Tapi meskipun begitu, saya boleh berharap, kan? Ya, saya berharap kamu bersedia menjadi istri saya. Mari memulai hidup baru dengan sama-sama menumbuhkan sekaligus merawat cinta di antara kita. Memupuknya dengan penuh kasih sayang dan perhatian satu sama lain.” Bersamaan dengan itu, lampu merah membuat Haris menghentikan mobilnya. “Selama ini, hidup saya sangat bahagia. Dan saya tidak mau bahagia sendirian lagi. Saya ingin membawamu ke hidup saya dan membuatmu jauh lebih bahagia bersama saya.” “Pak….” “Tolong jangan langsung menolak. Saya ingin kamu mempertimbangkannya dulu. Jika pada akhirnya saya ditolak … setidaknya saya tidak se-menyedihkan itu.” “Bapak yakin ingin menikahi saya? Maksudnya, kita memang setiap hari bertemu, tapi secara pribadi … Bapak belum tahu kepribadian saya gimana. Begitu juga sebaliknya.” “Kata siapa saya tidak mengenalmu? Selama ini, saya memperhatikanmu. Saya bukan menikahimu tanpa alasan. Saya menikahimu karena memang yakin kamu adalah wanita yang tepat untuk saya, begitu juga sebaliknya … saya akan berusaha menjadi pria yang tepat untukmu.” Oh tidak, kenapa Haris begitu memesona? Apalagi saat mengatakan kalimat-kalimat barusan, membuat pria itu berkali-kali lipat jauh lebih tampan. Selain itu, rupanya lampu merah membuat mereka bisa bicara sambil bertatapan secara intens. Haris kembali berbicara, “Jika kamu bersedia menjadi istri saya, tentu saya nggak akan membuang waktu. Saya akan langsung menikahimu tanpa proses pacaran. Mari pacarannya setelah menikah aja, bukankah menyenangkan?” Bohong jika Risa tidak pernah terpesona pada ketampanan Haris. Selama ini, tanpa Risa sadari ia mengagumi Haris. Hanya saja Risa merasa Haris itu tak mungkin bisa dijangkau, itu sebabnya Risa tak pernah berharap punya hubungan spesial dengan sang bos. Namun, apa sekarang aku boleh berharap punya suami se-sempurna Pak Haris? Bagaimana ini? Kenapa Risa se-mudah itu memutuskannya? Ya, Risa sangat tertarik dengan ajakan menikah dari bosnya. Hanya saja, memangnya boleh begini? Memangnya boleh menikah dengan Haris padahal Risa pernah tidur dengan Daffin?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD