Bab 11 - Getaran Baru

1600 Words
“Buka pintunya atau saya dobrak?” Suara Haris kembali terdengar karena tidak kunjung mendapatkan respons. Semakin lama pintu tak kunjung dibuka, hal itu membuat Haris semakin curiga. “Saya hitung sampai tiga ya … satu, dua, ti-” Ucapan Haris terpotong karena saat ini pintu kamar adiknya sudah dibuka. Meskipun sang adik sudah tidak tinggal di mansion ini lagi, fakta bahwa kamar di hadapannya ini kamar Daffin tak bisa dihapuskan begitu saja. Apalagi Haris yakin mendengar suara dering ponsel. Itulah yang menuntun langkah kakinya untuk berdiri di sini sekarang. Ya, setelah menemukan ID Card Risa, tak lama kemudian Haris langsung turun melalui tangga, siapa tahu saja dirinya akan menemukan Risa yang mungkin saja sedang dalam kesulitan. Namun, tiba-tiba Haris malah samar-samar mendengar suara ponsel di kamar Daffin. Hal itu membuat Haris berpikir, seingatnya … setelah berbicara dengan adiknya itu di ruang keluarga, ia tidak melihat keberadaan Daffin di luar. “Daffin,” panggil Haris saat pintu kamar adiknya sudah dibuka dari dalam. Dengan menunjukkan raut wajah selayaknya orang baru bangun tidur, Daffin bertanya, “Apa apa, sih?” Nada bicaranya sengaja terdengar sangat kesal, selayaknya orang yang tidurnya diganggu. “Kamu yakin sedang tidur?” “Memangnya aku ngapain lagi kalau bukan tidur? Mas Haris lupa, aku baru aja nyampe setelah perjalanan dari Australia ke Indonesia. Selain itu, memangnya ada yang perlu kita bicarakan lagi? Kalau nggak ada….” “Kamu udah lama tidurnya?” Daffin mengernyit. “Itulah yang membuatku sangat kesal, karena aku baru aja tertidur. Bisa-bisanya Mas Haris membangunkanku,” kesalnya lagi. “Aku tadi memang terlihat fresh, tapi bukan berarti aku nggak merasakan jet-lag. Itu sebabnya aku ada di sini sekarang, aku bahkan nggak punya energi buat pulang ke apartemen, makanya mau tidur di sini seenggaknya sampai besok pagi.” “Sori kalau saya mengganggu.” Haris mulai merasa bersalah. “Tapi sungguh, saya nggak bermaksud mengganggu waktu istirahatmu,” sambungnya. “Lagian Mas Haris sungguh mau mendobrak pintu kamar ini? Padahal sebenarnya nggak dikunci.” Daffin masih berakting seolah-olah sangat lelah dan mengantuk. Daffin kembali berbicara, “Dan Mas Haris sungguh ingin bicara denganku? Kalau iya, bisakah kita mencari waktu lain….” Haris langsung menggeleng. “Bukan. Saya sebenarnya sedang mencari seseorang, tapi malah teralihkan oleh suara ponselmu.” “Seseorang?” Daffin berpura-pura bingung. “Hmm, jangan bilang calon istrimu.” “Ya, benar. Mama menyuruhnya menunggu di rooftop, tapi mama keburu ada Tante Rosita. Apa kamu melihatnya? Soalnya Risa tidak ada di sana.” “Apa aku terlihat seperti adik yang menyembunyikan calon istri kakaknya? Itu sebabnya Mas Haris mendatangiku yang seharusnya sedang bermimpi indah.” “Sudah saya bilang, saya ke sini karena mendengar ponselmu berdering. Selain itu, saya ingin kamu menjawab jujur apakah kamu melihat Risa?” “Terlepas dari suara ponsel sialan, kenapa Mas Haris bisa kepikiran ke sini? Dari sekian tempat di mansion ini.” “Saya menemukan ID card-nya terjatuh di sekitar tangga. Jadi, saya mencari ke sini bukan tanpa alasan. Kebetulan saya mendengar dering ponselmu. Saya berharap kamu bertemu dengannya dan bisa memberi saya petunjuk karena saya sangat bingung Risa ada di mana.” “Mas Haris nggak tahu fungsi ponsel?” “Nomornya nggak aktif.” “Sebelumnya aku minta maaf ya, Mas. Maaf aku nggak bermaksud ngerjain calon istri Mas Haris.” “Kamu apakan Risa?!” Kali ini, nada bicara Haris mulai meninggi. “A-aku tadi efek ngantuk, naik lift-nya ke lantai empat, bukan tiga. Pas keluar, aku berpapasan dengan calon istri Mas Haris, tadi siapa namanya? Risa ya? Nah, karena aku udah bertemu sebelumnya saat dia bersama mama … jadi aku langsung mengenali sekalipun kondisi nahan ngantuk,” jelas Daffin. “Aku hanya bilang kalau aku salah lantai dan nggak mau satu lift sama dia. Jadi, aku turun ke lantai tiga … sedangkan dia masih di lantai empat menunggu sampai lift yang aku pakai selesai.” Daffin kembali berbicara, “Tapi aku udah di kamar sejak sepuluh menit lalu. Seharusnya dia udah di bawah, Mas.” “Kalau dia udah di bawah, mana mungkin saya mencarinya sampai ke sini?” balas Haris. “Kamu ini benar-benar keterlaluan, ya!” “Ya mau gimana lagi? Masa aku satu lift sama dia?” kata Daffin. “Tunggu, kalau ID card-nya ditemukan di sekitar tangga … apa itu artinya dia turun lewat tangga?” Daffin melanjutkan, “Tapi kalaupun lewat tangga, seharusnya dia udah nyampe karena ini bukan apartemen yang puluhan lantai. Mas Haris serius dia belum nyampe?” Haris tidak menjawab, tapi pria itu bersiap memberikan hadiah menggunakan tangannya yang mengepal, tentu saja Daffin langsung menghindar. “Kamu gila atau apa? Saya susah payah mengajaknya ke sini, bisa-bisanya kamu melakukan itu terhadapnya!” Kini Haris yang terdengar kesal. “Memang kamu pantas mendapat gelar pembuat onar, di mana pun dan kapan pun … kamu selalu membuat kekacauan!” “Aku akan bertanggung jawab, Mas. Aku akan mencarinya. Dia mungkin nyasar dan bila perlu, aku akan mengerahkan banyak penjaga untuk menemukannya.” Haris langsung menggeleng. “Lebih baik kamu melanjutkan tidur, jangan membuat kekacauan yang semakin parah. Sudah cukup kamu membuat Risa merasa tidak nyaman.” “Tolong sampaikan permintaan maafku pada calon istrimu ya, Mas. Sumpah, aku nggak bermaksud membuatnya kurang nyaman.” “Diam kamu.” Setelah mengatakan itu, Haris langsung mencari di sekeliling lantai tiga yang memang sangat luas. Siapa tahu saja Risa masih tersesat di lantai ini. Jika tidak ada, Haris akan turun ke lantai dua. Ia akan menemukan Risa. “Jangan terlalu cemas. Ini mansion, bukan tempat berbahaya. Dia pasti baik-baik aja sekalipun nyasar.” Haris yang sudah berjalan beberapa langkah kembali memutar tubuhnya menghadap adiknya. “Kamu memang tidak paham apa-apa.” Setelah mengatakan itu, Haris kembali melanjutkan langkahnya untuk mencari keberadaan Risa. Ia bahkan beberapa kali memanggil nama Risa dengan suara yang agak keras, berharap Risa bisa mendengarnya. Sementara itu, alih-alih masuk ke kamar, Daffin segera menekan tombol lift, barulah setelah itu memanggil Risa yang bersembunyi di balik pintu. “Aman, ayo turun menggunakan lift sekarang juga,” kata Daffin. Tanpa menjawab, Risa lalu berjalan cepat mengikuti Daffin. Mereka tiba di depan lift bersamaan dengan pintu lift yang perlahan terbuka. Tentu Risa langsung masuk. “Kalau Mas Haris bertanya, bilang aja kamu nyasar. Berkelilinglah di lantai satu dan jadikan itu alasan kamu seakan menghilang.” Risa tidak menjawab, ia membiarkan pintu lift perlahan tertutup sehingga Daffin tidak terlihat lagi. Sungguh, Daffin bisa bernapas lega karena Risa sudah pergi tanpa ketahuan. Ia lalu kembali ke kamar. Baru saja hendak membuka pintu kamar, Haris muncul. “Dia nggak ada di lantai ini?” tanya Daffin. “Diam, ini gara-gara kamu.” “Aku udah minta maaf loh, Mas.” “Awas aja kalau gara-gara ini Risa jadi ragu.” ‘Sayang sekali kamu nggak tahu apa-apa, Mas,’ batin Daffin. “Aku akan minta maaf padanya,” ucap Daffin kemudian. “Enggak usah!” Setelah mengatakan itu, Haris turun ke lantai dua menggunakan tangga. Sial, kalau sudah begini, Haris menyesal tidak mengusulkan dipasangnya CCTV di seluruh ruangan di mansion ini, pasti ia sudah menemukan Risa. Namun, untuk alasan privasi, CCTV memang hanya dipasang di titik-titik tertentu saja. Saat Haris masih mencari Risa di lantai dua, sementara itu Risa yang sudah tiba di lantai satu … tidak langsung keluar rumah untuk menemui semua orang. Ia mengikuti saran Daffin untuk berkeliling di lantai satu. Daffin benar, mansion ini sangat besar sehingga ini bisa menjadi alasan kenapa Risa seakan menghilang. Risa kini sedang melihat deretan foto keluarga Adhitama yang dipajang dengan aesthetic. Ada foto yang tentu saja Risa bisa membedakan antara Daffin dan Haris sekalipun tidak berada di masa kecil mereka. Ya, jelas bisa dibedakan karena Haris lahir lebih dulu sehingga saat kecil pria itu lebih tinggi dibandingkan adiknya. “Sekarang tinggi mereka hampir sama,” gumam wanita itu. Melihat foto-foto mereka, tanpa sadar Risa tersenyum. Ia merasa waktu kecil mereka sangat dekat, tapi kenapa sekarang interaksi mereka seperti musuh? Tadi Risa mendengar percakapan kakak beradik tersebut dan mereka sama sekali tidak akrab. “Astaga, Risa … jadi kamu di sini?” Itu adalah suara Haris. Risa tidak menyangka pria itu sangat cepat menemukannya. Untung saja Risa sudah berada di sini dan semoga tidak ada yang mencurigakan. Risa kemudian memutar tubuhnya. Namun, ia terkejut bukan main karena Haris sudah ada di hadapannya dan langsung memeluknya. “Maafkan saya, Risa,” ucap Haris, masih sambil memeluk Risa. “Pasti adik saya membuatmu tidak nyaman, untuk itu maafkan saya yang gagal melindungimu dari sifat kurang ajarnya.” Risa tidak heran Haris berbicara seperti itu karena ia mendengar saat Daffin mengarang cerita. Haris melepaskan pelukannya. Ia menatap Risa lekat. “Saya tidak akan membiarkan Daffin berulah lagi, terlebih membuatmu tidak nyaman. Saya sungguh tidak akan membiarkan itu terjadi. Sekali lagi maafkan saya.” “Ini bukan salah Bapak, jadi jangan minta maaf. Sejujurnya aku menikmati berjalan-jalan di mansion ini, ya meskipun sempat nyasar … tapi aku nggak merasa khawatir sama sekali karena ini bukan hutan,” jelas Risa. “Malah seharusnya aku yang minta maaf karena ponselku lowbatt dan membuat Pak Haris cemas.” ‘Risa, kenapa kamu bisa berbohong se-lancar ini?’ batin wanita itu. “Ya, saya sangat cemas, tapi sekarang saya lega karena kamu ada di hadapan saya.” Setelah mengatakan itu, Haris memeluk Risa sekali lagi. Risa spontan membiarkannya, lagi pula ia bingung harus berbuat apa. Namun, Risa tidak bohong kalau ada getaran baru yang tak pernah dirasakannya. Risa merasa tak menyangka betapa Haris sangat mengkhawatirkannya. Tunggu, benarkah ini Haris yang Risa kenal? Haris yang dingin dan bicara seperlunya … kenapa pelukannya terasa sangat hangat sekarang?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD