Pembicaraan Risa dan Daffin terhenti karena ponsel Risa tiba-tiba bergetar lantaran ada panggilan masuk. Risa langsung merogoh ponselnya, rupanya Harislah yang meneleponnya. Risa yakin Haris pasti sedang kebingungan karena dirinya masih belum muncul juga.
Sementara itu, Daffin tak tinggal diam. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengambil alih ponsel Risa, setelah itu ia sengaja menonaktifkan ponsel itu agar tidak ada yang mengganggu pembicaraan mereka.
“Mengangkatnya sama aja membuat dia curiga, jadi lebih baik ponselmu dinonaktifkan,” ucap Daffin, tanpa merasa berdosa.
“Kalau dinonaktifkan, bukankah Pak Haris bakalan tambah curiga?”
“Bilang aja lowbatt, apa susahnya?” jawab Daffin. “Selain itu, kita sedang berbicara sangat penting. Aku nggak mau Mas Haris mengacaukan pembicaraan kita ini.”
Penting? Bahkan, Risa merasa ini tak penting sama sekali.
“Aku serius nggak setuju kalau kamu menikah dengan Mas Haris. Aku nggak mau kamu menjadi kakak iparku karena seharusnya … kamu adalah pacarku. Jadi, tolong terimalah ajakanku ini. Bilang iya buat jadi pacarku.”
“Menjadi pacar kamu? Aku salah dengar, kan?” tanya Risa yang masih berpikir kalau Daffin memang tidak waras.
“Kamu nggak salah dengar,” jawab Daffin. “Aku juga sangat serius, bukan lagi bercanda. Alih-alih menjadi istri Mas Haris, sebaiknya kamu menjadi pacarku.”
Risa kembali tak bisa berkata-kata. Bagaimana mungkin pria di hadapannya berkata seperti itu secara sadar?
“Kamu mabuk sore-sore begini?” tanya Risa kemudian.
“Aku sadar se-sadar-sadarnya. Aku mau kita pacaran.”
“Tapi aku nggak mau,” tegas Risa.
Sejenak pembicaraan mereka terhenti karena kali ini dering ponsel milik Fito yang Daffin kantongi otomatis membuyarkan fokus mereka. Ya, Daffin yang memang bertukar ponsel dengan sang asisten, tidak menyangka kalau Fito malah mengaktifkan fitur berderingnya.
Tentu saja Daffin segera me-reject panggilan asistennya itu yang menelepon menggunakan ponselnya. Tak lama kemudian, ponsel Fito berdering lagi. Namun, lagi-lagi Daffin menolak panggilan tersebut.
Bukannya apa-apa, Daffin yakin Fito akan memberi tahu kalau Haris akan naik dan mencari Risa. Jadi, untuk apa mengangkatnya.
“Masih ada waktu untuk kita bicara, jadi mari lanjutkan obrolan kita,” kata Daffin setelah meletakkan kembali ponsel Fito ke saku jasnya.
Daffin menambahkan, “Kenapa nggak mau jadi pacar aku? Beri aku alasan.”
“Alasannya banyak, pertama kita nggak saling kenal, kedua … kesan pertemuan pertama kita sangat buruk, ketiga kamu adik dari bosku, keempat aku nggak suka sama kamu dan masih banyak lagi alasan-alasan lainnya yang mustahil aku sebutkan satu per satu.”
“Berarti kamu suka sama kakakku?”
“Itu bukan urusan kamu dan tentunya … kamu nggak berhak memaksa aku untuk melakukan apa yang kamu inginkan, termasuk menjawab pertanyaanmu. Aku punya hak untuk memutuskan sendiri jalan mana yang mau aku ambil.”
“Sekarang aku tanya, kenapa kamu nggak suka sama aku?”
“Bukankah udah jelas? Tadi aku udah menyebutkannya.”
“Siapa yang bisa menduga kalau kesan pertemuan kita buruk? Itu sama sekali nggak direncanakan. Aku memesan perempuan dan kamulah yang terbaring di ranjangku. Apa itu salahku?” tanya Daffin. “Kalau bisa memilih, aku ingin pertemuan pertama kita berlangsung tenang dan romantis, bukan tanpa busana di ranjang sebuah kamar hotel,” sambungnya.
“Terlepas dari itu aku atau bukan yang terbaring di ranjangmu … aku nggak suka laki-laki yang doyan jajan.”
“Ya ampun, kamu pasti mengira kalau aku sering memesan perempuan untuk dijadikan teman seranjang.”
“Aku nggak peduli sering atau nggak-nya. Intinya kamu suka memesan perempuan, kan? Dan itu udah cukup menjadi alasan aku nggak suka sama kamu. Pacaran? Enggak dulu deh.”
“Aku nggak sering. Sumpah,” kilah Daffin.
“Intinya pernah, bukan sering atau jarangnya, tapi pernah,” tegas Risa. “Sedangkan pria baik-baik nggak mungkin melakukan itu, kan?”
Kali ini Daffin terdiam. Ia merasa tertampar dengan ucapan wanita di hadapannya. Jujur, ini pertama kalinya Daffin ditolak oleh seorang wanita sehingga ia cukup terkejut, padahal biasanya para wanitalah yang mengejar-ngejar dirinya.
Daffin bahkan sampai tak bisa berkata-kata, terlebih ucapan Risa memang sulit untuk disanggah karena merupakan sebuah fakta.
“Semenjak malam itu, aku nggak pernah memesan perempuan lagi. Kamu yang terakhir dan aku pastikan nggak akan mencari teman seranjang lagi sampai kapan pun,” kata Daffin setelah jeda selama beberapa saat.
Apa? Memangnya Risa peduli? Sungguh, Risa sama sekali tidak tertarik pada Daffin. Sekali ia bilang bahwa kesan pada pertemuan pertama mereka sangat buruk, Risa tak punya alasan untuk tertarik pada pria itu.
Selain itu, kalaupun Risa misalnya disuruh memilih antara Daffin dengan Haris, tentu saja Harislah yang akan Risa pilih. Selain karena Risa sudah mengenal pria itu dan berinteraksi setiap hari dengannya, Risa juga merasa Haris jauh lebih baik dari Daffin yang sangat kentara sekali jiwa playboy-nya.
Maka dari itu pembicaraan mereka ini hanyalah sia-sia karena Risa sedikit pun tidak tertarik pada Daffin.
Belum sempat Risa menjawab, ponsel di saku jas Daffin kembali berbunyi.
“Sial, seharusnya aku silent ponselnya dari tadi!” keluh Daffin seraya menggeser layar ke warna hijau, kali ini pria itu tidak me-reject-nya seperti tadi.
“Ya?” Daffin berbicara pada Fito di ujung telepon sana, sedangkan Risa masih berdiri.
“Tuan Haris hendak menyusul Risa, Tuan. Harap waspada,” jawab Fito agak berbisik.
“Itu sudah pasti,” jawab Daffin sangat tenang dan seolah tak kenal rasa takut. “Silakan dia ke rooftop, toh nggak akan mungkin menemukan persembunyian kami.”
“Tu-Tuan masih bersama Risa?”
“Tentu saja, tenang aja saya dan Risa nggak akan ketahuan,” balas Daffin. “Saya tutup teleponnya, ya. Kami sedang sibuk.” Setelah itu, sambungan mereka pun terputus. Daffin juga sekalian men-silent ponsel asistennya.
Bersamaan dengan Daffin meletakkan ponsel ke saku jasnya, Risa yang sudah berada di depan pintu dan hendak membukanya, dengan cepat dicegah oleh Daffin.
“Kamu mau ke mana?” tanya pria itu setengah berbisik.
“Aku nggak bisa di sini terus….”
“Sttt.” Daffin mengisyaratkan agar Risa jangan bersuara dulu. “Jangan keras-keras, kamu mendengar suara langkah? Itu pasti Mas Haris.”
Risa sontak menegang.
Dengan suara yang tak kalah pelan, Risa berkata, “Ta-tadi kamu juga bilang ada suara langkah yang mendekat, makanya aku terpaksa masuk ke sini. Sekarang kamu mau membohongiku dengan cara yang sama?”
“Aku akui tadi memang bohong supaya kamu bersedia masuk ke kamar ini. Maaf ya,” jujur Daffin. “Tapi aku pastikan sekarang nggak bohong. Barusan asistenku bilang kalau Mas Haris sedang mencarimu. Kalau kamu keluar sekarang, potensi untuk berpapasan dengan Mas Haris sangatlah besar dan tentunya….” Daffin tak melanjutkan kalimatnya karena suara langkah benar-benar semakin terdengar nyata. Suaranya semakin mendekat, sontak Risa dan Daffin berpandangan.
Kali ini Risa percaya apa yang Daffin ucapkan memang benar bahwa ada suara langkah yang mendekat. Mereka kini kompak tidak bersuara.
Tatapan mereka satu sama lain semakin tajam saat mendengar suara pintu yang diketuk. Ya, ada seseorang di luar sana yang mengetuk pintu kamar ini.
“Saya tahu kamu ada di dalam.” Itu jelas suara Haris.
“Buka pintunya sekarang,” tambah pria itu.
Oh, tidak! Bagaimana mungkin Haris bisa tahu?