Di ruang dapur ada sosok Hana yang tengah berdiri kaku di samping tubuh mungil Alika yang sedang sibuk dengan muncratan minyak di depannya.
Terkadang ada jeritan-jeritan kecil dari mulut mungil Alika, mengingat perempuan mungil itu tidak terlalu bersahabat dengan dapur.
Dan Hana dengan sejuta kesabarannya bergerak meringankan beban Alika akan cipratan panas minyak goreng . Menyuruh tubuh itu menyingkir dan mengambil alih bagian.
Alika hanya bisa menurut tanpa bersuara, mentap punggung rapuh Hana dari belakang, dengan keadaan hati yang digerogoti rasa bersalah.
Hana tidak terlalu memedulikan, ingin mengakrabkan diri. Tapi apa yang harus diakrabkan ketika hati mereka nyatanya bahkan tidak bisa untuk berkompromi.
Ingin membenci, tapi Hana tidak tahu ia harus membenci siapa terlebih dahulu. Gadis mungil yang menjadi istri muda suaminya atau suami tercintanya yang bahkan tidak mampu untuk menolak, walau hanya dengan cara menceraikannya saja Aldra tidak bisa menentukan pilihan dengan lebih bijak. Mereka berdua adalah sebuah korban dari senggenggam kata keegoisan.
Udara pagi hari yang selalu hangat, kini terasa begitu berbeda, Aldra sudah berangkat pagi-pagi sekali setelah memperkosa dirinya di pantry dapur, (itu menurut pemikiran Hana) karena tidak ada kenikmatan sedikit pun di dalam morning seks mereka tadi, hanya ada kesakitan yang dirasakan.
Ke mana kenikmatan terbalut kemesraan dulu? Bisakah Hana mengembalikannya seperti sediakala.
Mereka berdua masih bergelung di dapur untuk memasak, Mereka butuh makan untuk bertahan hidup. Walaupun hanya remehan nasi yang mampu mereka makan saat ini.
Setidaknya mereka bisa tetap hidup untuk beberapa hari kedepan.
"Maafkan aku."
Suara Alika terdengar sangat lirih, dan Hana tidak terlalu mampu untuk menoleh menatap wajah cantik Alika bersama raut penyesalannya. Bagaimana pun hati seorang wanita tidak sekuat itu.
"Tidak perlu minta maaf, karena tidak ada yang perlu dimaafkan di sini. Ayo kita makan."
Dan Hana kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Alika dengan sejuta pertanyaan di otak mungilnya.
Bagaimana bisa hati seorang wanita sekuat itu?
Mereka duduk di kursi menghadap meja makan yang tersedia berbagai makanan. Tetapi perut mereka seolah menolaknya, terbukti dari beberapa suap yang dipaksakan tanpa suasana hangat. Kenyataannya mereka tidak menemukan bahan basa basi yang pas untuk mencairkan suasana.
Hingga suara bel apartemen berbunyi mengejutkan. Dengan Hana yang langsung berjalan untuk membukakan pintu. Dengan pemikirannya, apa bila sosok suaminyalah yang di balik pintu, Hana sudah siap dengan pisau belati di tangannya untuk ia tusukan. Karena berani sekali suaminya berlalu begitu saja tanpa kecupan mesra di pagi hari seperti hari-hari sebelumnya.
Tetapi rencana itu terpatahkan ketika siluet tubuh tinggi dengan tangan yang bersidekap di depan d**a dengan tatapan tajam menusuk sampai jantung yang tersembunyi di balik tubuh tegar Hana, mampu membuat napas Hana seketika menghilang dan membuatnya menjadi mayat hidup di pagi hari.
"Kita perlu bicara."
***
Alika sama sekali tidak mengerti, mengapa ia bisa terkunci di kamarnya sendiri. Bahkan Alika tahu betul bahwa kamarnya tidak terkunci sedikit pun. Kata-kata Hana tadilah yang menguncinya dengan suara lirih dan memohon.
"Kumohon apa pun yang terjadi jangan keluar."
Dan Alika hanya mampu berdiri dengan perasan cemas. Terlebih ia melihat sendiri sosok pria yang datang tadi pagi adalah dalang dari semua kisah memuakan ini.
Sekitar 15 menit Alika bergelung dengan pemikiran buruknya. Lalu suara Hana terdengar dari arah luar. Sedikit mengejutkan Alika yang sedang melamun.
"Kau bisa keluar sekarang."
"Ada apa? Apa Kakak baik-baik saja."
Saat keluar Alika tidak mampu mengendalikan bibirnya, hingga pertanyaan itu terlontar jelas, terlebih ketika melihat Hana sedang membereskan pecahan gelas di ruang tamu dengan wajah basah kuyup dan mata memerah. Membuat Alika lebih berani untuk menanyakan.
Hana bangkit lalu bertatapan langsung dengan wajah Alika, tidak ada raut senyum atau keramahan di sana.
"Sepertinya kau tidak perlu tau urusan orang lain."
Lalu berlalu ke arah dapur untuk membuang pecahan itu di tong sampah. Bagaimanapun hatinya tidak bisa untuk berpura-pura akrab kan?
Alika tidak bergerak, masih mematung di tempannya. Menunduk dengan rasa bersalah, bagaimanapun wanita itu pasti membencinya. Ia adalah wanita yang merebut suaminya. Tidak ada kata baik dalam membagi seorang suami.
Dan Alika sangat menyadari itu.
Ia kemudian berbalik kembali masuk kedalam kamar. Meninggalkan Hana dengan hati yang pecah berkeping-keping disertai tangisan perih di dapur.
***
Aldra tidak lagi dapat membedakan kebahagiaan atau penderitaan. Semuanya terasa salah, begitu pun dengan takdir. Pernah sekali ia berpikir untuk menyerah, karena di dalam takdir percintaannya bersama Hana lebih penuh dengan kata kemustahilan dari pada kata kemungkinan.
Membangun cinta mati dengan sosok wanita yang salah membuat hidupnya semakin berantakan, tetapi ada kalanya ia akan tersenyum bahagia hanya dengan melihat senyuman cantik wanita salahnya di pagi hari.
Hati Aldra sudah habis untuk Hana begitu pun dengan cintanya, tidak ada sosok wanita lain yang Aldra inginkan selain Hana.
Tetapi mengapa ini begitu sulit?
Jari-jari Aldra bergerak menyentuh rambut hitam Hana dengan kasih sayang. Ini sudah sangat larut malam dan Hana sudah tertidur, tetapi Aldra lebih memilih memperpanjang waktu di kantor seperti hari ini, walau saat raganya pulang, jiwanya sudah disuguhi tubuh Hana yang menyamping membelakangi tempat untuk Aldra tidur yang didapat.
Tidak apa-apa, setidaknya Aldra masih merasakan napas Hana saat ini.
Aldra mulai beranjak, ia butuh mandi untuk menghilangkan segala penat dan beban berat yang mulai melekat di seluruh tubuhnya.
Sebelum Aldra turun dari ranjang, ia memilih mengecup kening Hana, beserta gumaman 'aku cinta kamu.' dengan penuh keseriusan, lalu berlalu kekamar mandi.
Tidak menyadari linangan air mata yang menetes melewati pangkal hidung Hana.
Tidak menyadari kelopak tertutup Hana, menyembunyikan ketakutan yang berlebih.
Tidak menyadari bahwa napas halus Hana adalah kepalsuan semata.
Tidak menyadari bahwa Hana sekarang sedang menangis dengan remasan kuat di hatinya yang hancur berceceran.
Aldra tidak menyadari itu.
***
Alika terdiam di antara jendela apartemen yang masih terasa asing, di luar sedang hujan dan Alika suka mengamati rintik hujan itu yang turun berirama. Menimbulkan suara keras saat rintikan itu bertabrakan dengan kerasnya jendela di depannya.
Suara itu mampu membuat Alika sedikit lebih tenang.
Malam ini tidak terdengar suara desahan dari kamar sebelah. Entahlah, apa Aldra sudah pulang atau tidak, sedari tadi ia belum menemukan Aldra di apartemen. Hingga suara hujan yang terdengar. Seharusnya Alika sudah tertidur nyenyak di ranjang, tetapi sepertinya suara hujan membuat Alika terjaga.
Lalu pandangan Alika beralih ke arah ponsel yang ada di genggaman. Melirik jam di layar smartphone itu. lalu tersenyum kecil. Tidak terlalu malam kalau ia sedikit menelepon seseorang dan mengajaknya berbicara, sambil menunggu rasa kantuk yang bahkan belum terlihat datang.
Nada sambung yang masih sama terdengar di telinga Alika, saat ponsel itu Alika tempelkan di telinga. Menunggu nada sambung itu tergantikan dengan suara, "Yak! Apa kau tidak bosan meneleponku." Gerutuan keras wanita yang sudah menjadi sahabat baiknya semenjak berseragam merah putih.
Alika sedikit tertawa, lalu mulai menceritakan keluhan yang sama. "Aku belum mengantuk, dan butuh tempat curhat."
Terdengar decakan kasar dari seberang sana, sepertinya teman gadisnya sedang mendapatkan mood yang kurang baik, tetapi tidak berniat sedikit pun mematikan panggilan Alika.
"Apakah mengganggu temanmu di tengah malam lebih mengasikkan dari pada saling menghangatkan tubuh dengan suamimu di ranjang?"
Gerutuan kelewat jutek itu berhasil membuat Alika terkikik geli.
"Sayang sekali karena aku akan menjawab Iya."
"Oh, yang benar saja, demi setan yang sedang berkeliaran, aku sudah sangat mengantuk Alika."
Alika kembali terkikik geli, sahabat dengan kadar kewarasan berlebihannya, sedikit mampu membuat ia kembali tertawa. Apakah Alika sangat beruntung mendapatkan sahabat sepertinya? Mungkin sedikit.
"Ayolah Mimi, aku bosan terus berdiam diri dengan keheningan, karena tidak bisa tidur," keluh Alika kembali.
Gadis bernama Mimi mendengus kesal, "Suamimu mana? Seharusnya ia yang kau ajak curhat bukan aku," gerutunya kesal di sebrang sana.
"Dia membenciku."
"WHAT? maksudmu? "
Alika refleks menjauhkan ponsel dari telinganya karena teriakan Mimi.
"Bisakah kau pelankan sedikit suaramu."
"Oh, sayang sekali aku hanya bisa bilang TIDAK."
Bibir Alika berkerut, "Iss kau menyakiti telingaku."
"Haha bodo amat! Eh, coba ceritakan. Kok bisa sih dia gak suka sama kamu tapi dinikahin, udah punya bini lagi, dasar cowok berengsek emang."
"Bukan salahnya, dia juga dipaksa sama Ayahnya."
"Jadi kalian menikah hanya karena keegoisan keluarga? "
"Ya begitulah," jawab Alika miris.
Terdengar helaan napas kasar Mimi di telinga Alika.
"Lebih baik kau menikah sama kak Rey, dia tampan, kaya, muda dan masih single."
Alika terkekeh, ya kalau Alika bisa memilih ia lebih baik dengan Reyhan kakak seniornya di sekolah dulu.
"Kau bena-"
Suara Alika terpotong dengan suara ketukan kasar di pintu kamarnya, Alika menoleh.
"Mi, aku tutup teleponnya, besok aku telepon lagi."
"Oh, oke."
Alika langsung melemparkan ponselnya ke arah ranjang setelah sambungannya tertutup. Lalu mulai berjalan mendekati pintu untuk membukanya.
Saat pintu itu terbuka sempurna, mata bulat Alika langsung terbelalak lebar.
Bukan! Bukan karena maling ataupun hantu yang mengetuk pintu kamar hingga membuat Alika terkaget dengan pupil melebar.
Tetapi tubrukan tubuh kekar Aldra di tubuhnya beserta benda kenyal lembab yang melumat dan memainkan bibirnya secara berengseklah yang membuat Alika melebarkan pupilnya hingga tidak mampu bernapas dengan benar.
"Puaskan aku malam ini."