Bab 3. Insiden

815 Words
Amanda melajukan kendaraan roda empatnya menuju jalanan yang ada di hadapannya entah ke mana saja yang penting ia pergi dari rumah. Amanda menyampaikan rasa kesalnya pada sang kakek yang dengan seenaknya menjodohkannya dengan laki-laki di bawah statusnya. Belum lagi, laki-laki itu berstatus sebagai duda. "Duda, hei!" "Ngebayangin gue harus nikah sama duda, yang udah pernah celup-celup sama cewek, udah bikin gue geli banget. Apalagi kalau nikah beneran. Kakek bener-bener nggak masuk akal, bisa-bisanya beliau mau menjodohkan gue dengan orang macam itu. Memangnya nggak ada kandidat lain apa?" "Pokoknya gue nggak mau nikah! Nikah itu nggak pernah ada dalam daftar hidup gue. Udah senang-senang aja gue kayak gini. Masa iya, gue harus dipusingin dengan segala t***k bengek pernikahan. Belum lagi harus ngurus suami, ya kali gue, independent woman, butuh laki-laki sementara semuanya gue bisa." Amanda berceloteh, menyampaikan keluh kesahnya dengan amarah yang terpendam di dalam d**a. "Argh!" Tentunya Amanda akan selalu mencari celah agar bisa mengejek siapapun laki-laki yang akan dijodohkan dengannya. Bukan ingin merasa sempurna, hanya saja inilah cara dirinya untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri. Tidak akan ada orang yang dengan tulus memuji dirinya, jika tidak dirinya sendiri. Kendaraan yang dibawa Amanda melaju dengan kecepatan normal dan tidak menyadari jika ada sebuah motor yang akan menyeberang, hingga membuat Amanda harus menginjak rem secara mendadak. Kepalanya terantuk roda setir hingga membuat Amanda mengusap dahinya yang kesakitan. "Sialan apalagi ini ya Tuhan! Kenapa hidup gue sial banget 'sih? Apa karena ini bulan kelahiran gue?" Amanda menggerutu kemudian turun dari mobilnya. Tangannya tidak lupa untuk mengusap dahinya yang baru saja mencium roda kemudi. Sudah ada lumayan banyak orang yang mulai berkumpul di pinggir jalan. Wanita cantik itu menutup pintu mobil dengan kencang dan menghampiri manusia yang menyeberang sembarangan. "Heh, punya otak itu dipakai. Bisa-bisanya lo bawa motor mau nyeberang seenak jidat lo, tanpa tengok kanan kiri. Lo pikir ini jalanan nenek moyang lo apa, hah?" Amanda berteriak marah pada sosok perempuan yang membawa motor matic dan kini jatuh di aspal tengah dibantu oleh orang lain untuk berdiri. "Mbak, Mbak seharusnya yang bawa mobilnya pelan-pelan. Di sini jalanannya bukan jalanan besar, yang bisa seenaknya ngebut," tegur seorang ibu-ibu. Amanda menolehkan kepalanya, menatap ibu-ibu yang tak punya otak sama sekali, pikirnya. "Gue udah bawa mobil ini dengan kecepatan paling lambat, ya. Mata lo sebelah mana yang melihat gue bawa mobil kebut? Kalau gue bawa mobil kebut, udah banyak yang gue tabrak dari tadi. Kalau mau membela sesama kalian, pikir pakai otak." Tidak lupa Amanda juga menunjuk kepalanya sendiri. "Seharusnya ibu ini nyalahin perempuan ini. Bisa-bisanya dia menyeberang di perempatan, tanpa tengok kanan kiri dulu. Kalau mau mati, jangan bawa-bawa gue." Amanda tidak takut sama sekali meskipun ini di kampung orang lain. Sementara perempuan yang mengenakan helm itu kini sudah dibantu berdiri tegak, sambil meringis karena sepertinya ada luka lecet di tubuhnya akibat jatuh di aspal. "Kalau gue ngebut juga, ini cewek pasti udah kelempar jauh sama mobil gue. Gitu aja nggak bisa pakai logika," gerutunya kesal. Perempuan yang membawa motor matic itu terjatuh karena keteledorannya sendiri dan tidak ada hubungannya sama sekali dengannya. Ibu-ibu yang menegur Amanda tadi langsung mengkerut, apalagi saat ini dirinya ditatap oleh beberapa pasang mata. Memang banyak saksi yang melihat jika Amanda melajukan kendaraannya dengan kecepatan normal. "Maaf, Mbak, saya tadi buru-buru makanya nggak tengok kanan dan kiri," ujar perempuan itu. Kepala perempuan itu menunduk, takut dengan amarah Amanda yang begitu menggebu-gebu. Sedangkan Amanda sendiri sudah meluap-luap karena emosinya yang tidak tersalurkan. "Lo kira cuma lo doang yang buru-buru di dunia ini? Gue juga buru-buru mau menenangkan diri dari ketidakadilan dunia ini. Nggak usah belagak kayak korban deh lo." "Mbak, Mbak Wina-nya sudah minta maaf. Mbak nggak usah marah-marah lagi. Nggak ada yang salah dan nggak ada yang benar, kok. Sama-sama kebetulan lagi kena musibah aja," ujar seorang bapak-bapak menenangkan Amanda. "Bapak mah enak, ngomong kayak gini karena nih cewek nggak saya tabrak. Coba aja kalau saya tabrak, pasti saya sudah dihakimi." Amanda mendengus kesal. Wanita itu memutar tubuhnya kemudian masuk ke dalam mobil dan segera melaju setelah menekan klakson agar pemilik motor bernama Wina dan orang-orang yang menghadang jalannya itu segera pergi. Amanda segera melajukan kendaraan roda empatnya menyusuri jalan yang tidak ia pahami sampai akhirnya gadis itu ketakutan karena hari sudah mulai menjelang sore dan ia tidak tahu di mana hotel yang ada di sini. "Balik aja deh gue." Amanda memutar kembali kendaraan roda empatnya melewati jalan-jalan yang sempat dia lewati tadi. Beruntung ia memiliki ingatan yang kuat sehingga tidak membuat drama di mana ia akan tersesat. Merasa haus, Amanda kemudian memarkirkan mobilnya di depan jalanan dan segera turun untuk mampir ke sebuah toko membeli minuman. Wanita itu turun sambil menyelendang tasnya masuk ke dalam toko yang lumayan ramai pengunjung. Rumah kakeknya berada tak jauh dari sini, bahkan atapnya bisa terlihat dari tempatnya sekarang, namun ia terlalu malas untuk pulang sekarang. Jadi lebih baik ia menggunakan kesempatan ini untuk membeli minuman terlebih dahulu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD