Bab 2. Kakek Riswan

824 Words
Di sinilah Amanda berada, di dalam sebuah mobil, duduk di sebelah sopir dengan celana panjang berwarna putih yang dipadupadankan dengan baju bermodel sabrina lengan pendek. Sebenarnya tadi Amanda sempat mengenakan celana pendek setengah paha sebelum penggaris milik ibunya melayang di pahanya. Ibunya berkata jika dia harus berpakaian sopan mengingat mereka harus pergi ke kampung halaman tempat di mana ibunya dilahirkan. Bisa dikatakan ibunya adalah wanita yang berasal dari keluarga sederhana yang beruntung dinikahi oleh ayahnya. Jadi, tidak heran kalau ia memiliki kakek yang tinggal di sana. Perjalanan mereka membutuhkan waktu 3 jam menggunakan jalur darat dan akhirnya tiba di halaman sebuah rumah permanen yang terlihat luas dari jarak pandang tempat di mana Amanda saat ini berada. "Alhamdulillah, kita sudah tiba. Kangen banget ibu sama kampung halaman Ibu ini," ujar Bu Yuni. Wanita itu tersenyum, merasa bahagia bisa menginjakkan kaki di kampung halaman tempat di mana dia dilahirkan dan dibesarkan. Di rumah inilah, Yuni mendapatkan banyak sekali pelajaran berharga dan hasil didikan dari kedua orang tuanya. "Ibu bahkan pulang 6 bulan sekali, kadang juga 3 bulan sekali. Kok bisa bilang kangen?" Amanda menolehkan kepalanya menatap sang ibu yang kini mempersiapkan diri untuk turun. "Karena Ibu punya hati. Memangnya kamu, nggak punya hati, buat rindu kampung halaman?" Bu Yuni mencibir putrinya. "Aku nggak punya kampung halaman karena aku memang lahirnya di kota." "Siaplah si paling kota." Bu Yuni turun dari mobilnya diikuti oleh sang suami yang menggelengkan kepala melihat tingkah laku istri dan juga putrinya. "Jangan berdebat di sini. Itu lihat bapak sudah menunggu kita." Pak Yadi mengulurkan tangan yang disambut oleh Bu Yuni. Amanda ikut turun begitu juga dengan sopir yang ditugaskan untuk mengantar jemput mereka. "Amanda, bawa koper kamu sendiri. Jangan suruh Pak Mamat yang bawa," tegur Pak Yadi. Amanda yang bersiap melangkah akhirnya berbalik dan mengambil koper miliknya. Meskipun di luar ia terlihat serampangan dan tidak memiliki ketakutan terhadap sekitar, pada kenyataannya, Amanda paling takut pada kedua orang tua dan juga kakeknya. "Thank you, Pak Mamat." Amanda berkata seraya menatap Pak Mamat saat pria itu menyerahkan koper miliknya. Pak Mamat menganggukkan kepalanya dan membantu mengeluarkan koper milik majikannya yang lain. Amanda melangkahkan kakinya menuju rumah sang kakek yang kini sudah ada di depan mata mereka. Senyum wanita itu merekah saat melihat sosok kakeknya berdiri di teras rumah. "Kakek!" Amanda berlari tergesa-gesa, melewati kedua orang tuanya begitu saja, kemudian langsung memeluk sang kakek yang kini membalas pelukannya dengan canggung. "Amanda, jangan peluk kakek seperti itu." Ibunya yang sudah tiba di teras rumah langsung menarik Amanda untuk bergerak menjauh saat melihat wajah tak nyaman dari bapaknya. "Kakek nggak nyaman dipeluk sama kamu." Pasalnya, dua aset gunung Amanda lebih besar dari ukuran tubuhnya. Bahkan, bapaknya tidak menurunkan kepala sama sekali dan justru menatap ke arah kepala Amanda, cucu kandungnya. "Alah, memangnya nggak boleh kalau aku menyampaikan kerinduan ke Kakek sendiri?" Amanda memasang wajah cemberut, lalu merangkul lengan kakeknya. "Boleh-boleh. Siapa yang nggak bolehin Manda buat menyampaikan kerinduan ke Kakek sendiri?" Pak Riswan, bapaknya Yuni mengusap kepala cucunya itu dengan sayang. "Kalian apa kabar? Masuk-masuk dulu. Kalian pasti lelah perjalanan panjang menempuh jalur darat." Pak Riswan kemudian mempersilakan anak, menantu, dan juga cucunya untuk masuk. "Lelah udah pasti, Kek. Ini karena ayah yang paksa aku buat ikut. Benar kata ayah kalau kakek yang maksa aku buat datang ke sini?" Amanda langsung menodong pertanyaan pada kakeknya. "Iya. Kakek udah lama sekali nggak pernah ketemu kamu. Terakhir kali kamu ke sini, beberapa tahun lalu. Itupun cuma beberapa jam. Kamu yang sibuk sekolah, sibuk kuliah, sibuk kerja," sahut Pak Riswan. "Sibuk main-main jangan lupa juga, Pak. Cucu bapak ini nggak pernah dengerin omongan orang tua. Berbuat seenak dan semaunya aja," timpal Pak Yadi, mengadu pada bapak mertuanya. "Ini menurun dari kelakuan ibunya. Ibunya dulu juga seperti itu, nakalnya luar biasa. Beruntung punya suami yang sabar seperti kamu, Nak," ujar Pak Riswan pada Yadi. "Pak," tegur Yuni dengan wajah cemberut. "Oh, berarti Ibu dulunya nakal. Nggak salah dong kalau nurun ke aku." "Jelas aja salah. Ibumu nggak pernah pergi ke klub malam. Kalau kamu tiap malam pergi ke klub malam." Pak Yadi berkomentar menatap putrinya. Sekali lagi, Amanda memasang wajah cemberutnya. Pak Riswan membelalakkan matanya. "Berarti benar apa yang sering diceritakan ayahmu, Manda, kalau kamu sering pergi ke klub malam. Kamu tahu itu nggak baik, tapi masih kamu lakukan. Kamu itu sudah 25 tahun, sudah harus menemukan jodoh. Makanya Kakek sudah mempersiapkan jodoh untuk kamu. Dia laki-laki yang baik, juga imannya sangat bagus. Kakek yakin kamu pasti akan bahagia jika menikah dengan dia." "Seriously, ini udah 2020, Kek. Masa iya, kakek mau menjodoh-jodohkan aku? Sama siapa? Ganteng? Tajir? Jabatannya apa?" "Sama tetangga sebelah rumah Kakek ini. Dia nggak punya jabatan, cuma dia punya toko swalayan yang lumayan besar di desa ini." Amanda membelalakkan matanya. "Ah, dia juga statusnya sebagai duda. Nggak apa-apa, yang penting imannya kuat, kelakuannya juga baik-baik aja. Pasti cocok sama kamu." Kali ini bahkan bukan bola matanya saja yang melebar tapi juga tubuhnya tanpa sadar bangkit berdiri. "A-apa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD