“Jadi Nafi sama Kian itu kerja di tempat yang sama? Wah, kebetulan banget!” ujar Om Imran, Ayah Mas Kian. Aku tahu nama beliau juga baru beberapa detik yang lalu.
“I-iya, Om. Tapi beda divisi.”
“Sekaget itu, ya? Sampai nyembur,” sahut Tante Eni sembari tersenyum lembut padaku. Tante Eni sendiri adalah Ibu Mas Kian.
“Maaf, Tante. Saya cuma enggak nyangka aja.”
“Enggak papa, kok. Tante bisa paham. Sudah kenal Kian berarti?”
Aku melirik Mas Kian yang saat ini hanya diam. Dia terlihat ogah-ogahan. Namun, dilihat dari ekspresinya yang biasa-biasa saja, aku curiga dia sudah tahu kalau perempuan yang akan dijodohkan dengannya adalah aku.
Jangan-jangan memang begitu? Apa jangan-jangan saat dia tiba-tiba mewawancaraiku di lorong depan ruangan Pak Rivan, dia sudah tahu?
Kalau memang dugaanku benar, aku jadi paham kenapa malam itu— tepatnya saat di depan kedai salad buah— dia dengan percaya diri bilang ke mantannya akan menikahiku dalam waktu tiga bulan sampai setengah tahun. Dia bahkan berani bertaruh. Ternyata ini alasannya.
“Belum bisa dibilang kenal juga, Tante. Hanya tahu. Soalnya hampir enggak pernah ada kepentingan. Baru beberapa kali aja ngobrol, itu pun seperlunya.”
“Posisinya jauh, ya? Maksudnya, enggak berhubungan?”
“Iya, Tante. Saya Data Analyst, sedangkan Mas Kian HRD. Kami sangat jarang terlibat urusan pekerjaan.”
“Ah … oke, oke.”
Memang begitu, kan? Di lorong dan di depan kedai tidak akan kupertimbangkan sebagai ‘ngobrol’ karena situasinya random. Yang ada, kalau aku nekat bahas malah hanya akan menambah pertanyaan yang tak perlu.
“Kalau Kian gimana?” tanya Bunda. “Apa tahu Nafi sebelumnya? Namanya perusahaan udah lumayan gede, wajar misal enggak kenal atau bahkan enggak tahu sama sekali.”
“Saya tahu Nafi, Bu.”
“Tahu lewat mana?” balasku ketus. Semua orang menatapku, terutama Bunda. Beliau menyenggolku, seolah menegur agar aku memperbaiki intonasi bicara.
“Karena kamu dekat dengan Mila,” balas Mas Kian santai. “Mila itu sekretaris Pak Bos. Jadi semua orang kantor pasti mengenalnya. Karena Nafi dekat dengannya, jadi saya tahu dia dari situ.”
Jawaban yang cukup masuk akal, sebenarnya. Mila memang dikenal seluruh warga kantor karena dia yang meng-handle semuanya di kala Pak Rivan tidak bisa. Ternyata Mas Kian tahu aku dari situ. Ya, oke, alasan yang bisa diterima.
“Kalian pasti sudah paham betul, ya, maksud dari diadakannya makan malam ini? Apalagi Nafi sampai nyembur, pasti kaget banget. Jadi, kayaknya langsung to the point aja. Kami kasih kesempatan kurang lebih satu bulan untuk kalian mengenal lebih dekat. Baru setelah itu putuskan akan lanjut atau enggak. Gimana?” tanya Om Imran sembari menatapku dan Mas Kian bergantian.
Kalau bertanya padaku, saat ini juga aku ingin menolak mentah-mentah. Namun, aku tidak mungkin membuat Ayah dan Bunda semakin malu setelah acara sembur menyembur tadi. Jadi, aku tidak ada pilihan lain selain mengiyakan.
“Iya, Om,” jawabku akhirnya. “Tapi misal pada akhirnya saya dan Mas Kian enggak cocok, tolong jangan dipaksa, ya?”
“Pasti cocok!” sahut Bunda. Aku langsung mendelik ke arah beliau.
“Semoga saja, kami cocok,” balas Mas Kian santai, dan itu membuaku menatapnya tak habis pikir.
Apa maksudnya bilang begitu? Sejak aku datang, dia terlihat ogah-ogahan. Kenapa sekarang malah menunjukkan yang sebaliknya? Apa murni basa-basi saja?
“Aamiin. Kita semua akan sangat bahagia kalau kalian bisa cocok. Nanti pernikahan bisa disegerakan. Kalian mau minta resepsi kaya apa, kami akan bantu urus. Kado bulan madu juga siap. Mau Eropa? Amerika? Atau Asia aja? Bebas!”
Aku memejamkan mata. Yang disuruh menikah siapa, tetapi yang bersemangat siapa?
Akhirnya, aku hanya bisa tersenyum sebagai formalitas semata. Aku mengambil minumanku, lalu melirik Mas Kian kesal. Lihat saja, aku tidak akan mau menikah dengannya!
***
“Nafi pulangnya biar diantar Kian aja, ya. Kian bawa mobil sendiri soalnya,” ujar Tante Eni tepat setelah kami berenam keluar restoran. “Kan masih belum terlalu malam juga. Kalian bisa mulai ngobrol pelan-pelan sejak malam ini. Gimana?”
“Saya ada kerjaan, Tante—”
“Besok, kan, minggu, Fi. Kerjain besok aja,” balas Bunda. “Ayah sama Bunda mau ada urusan bentar di luar. Kamu diantar Kian aja pulangnya.”
“Cuma bentar, kan, Bun? Aku ikut—”
“Eh … agak lama, ya, Mas?”
“Iya, akan lama.”
“Udah, sama Kian aja pulangnya.” Tante Eni meraih tanganku. “Nafi masih malu, ya, sama Kian?”
“Bukan malu, Tante, tapi saya—”
“Udah, udah. Pokoknya kamu sama Kian aja pulangnya. Bunda sama Ayah duluan,” potong Bunda cepat.
“Kami juga duluan,” sambung Tante Eni.
Aku hanya bisa menganga tak habis pikir melihat betapa kekanakannya para orang tua ini. Aku lelah berdebat, jadi aku diam saja. Jika tidak bisa pulang dengan Ayah dan Bunda, masih ada abang ojek yang bisa menemaniku. Yang jelas, aku tidak mau pulang dengan Mas Kian.
“Singkat aja, Mas. Saya enggak mau,” ujarku begitu mobil para orang tua pergi. “Enggak mau diantar pulang, enggak mau pula dijodohkan. Saya datang demi gugurin kewajiban. Biar enggak direcokin orang tua terus. Permisi!”
Aku menuruni tangga dan bergegas menuju jalan keluar. Aku lekas pesan ojek untuk pulang.
“Nafi!” Mas Kian memanggil, tetapi tidak kugubris. Aku tatap pesan ojek dan langsung dapat.
Mas Kian kini sudah berdiri di sebelahku. Aku menoleh dan menatapnya sebal. “Apa? Mas Kian enggak dengar barusan saya ngomong apa?”
“Kamu yakin tidak mau mencoba?”
“H-hah?” seketika, aku menatapnya heran. “Mas Kian mau menerima perjodohan ini? Mas Kian mau menikahi saya? Terlepas sandiwara konyol tempo hari, Mas Kian yakin akan menikahi perempuan yang bahkan enggak dikenal? Kok aneh?”
“Saya mengenalmu.”
Mataku mengerjap. “Mas Kian mengenal saya?”
“Saya sudah bilang ini saat di lorong.”
“A-ah, kenal yang itu. Okelah, kita kenal. Tapi hanya sebatas tahu aja. Mas Kian tahu saya teman dekat Mila, saya tahu Mas Kian HRD dan teman dekat Pak Rivan. Apa itu cukup buat modal nikah?”
“Jelas enggak.”
“Nah! Itu tahu!”
“Saya bilang mencoba, bukan langsung menerima. Tolong bedakan!”
“Saya enggak mau. Silakan cari perempuan lain untuk coba-coba. Jangan saya—”
“Kenapa kamu kekeuh enggak mau di saat kamu juga single? Atau ada orang yang sedang kamu taksir?”
Aku terdiam. Ada, si Mas-Mas 17C.
“Nafi?”
“Iya, ada.”
“Dia balik suka kamu?”
Aku diam.
“Oh, enggak.”
“Ojek saya sudah datang. Pemisi—” kalimatku terhenti karena Mas Kian menahan tanganku. Aku segera menepisnya, tetapi dia memegangi tanganku kuat. “Mas! Lepasin!”
“Jadi atau enggak, ini?” tanya Driver Ojek.
“Jadi, Pak—”
“Tidak, Pak. Saya ganti uangnya.” Mas Kian menyerahkan uang lima puluh ribu pada Driver Ojek. “Saya dan calon istri saya sedang bertengkar.”
“Ah, baik. Terima kasih, Mas. Semoga lekas damai.”
Kini, aku sudah menganga. Aku sampai sulit berkata-kata karena tak habis pikir dengan apa yang Mas Kian katakan.
“B-barusan apa maksudnya? Mas Kian beneran mau menerima perjodohan ini?”
“Belum tentu—”
“Terus?”
“Saya hanya ingin mencoba. Saya sudah bilang, tadi.”
“Saya enggak mau jadi bahan coba-coba, ya! Cari orang lain saja!”
“Hanya kamu opsi yang orang tua saya berikan. Kalau ada yang lain, tidak masalah.”
Aku mulai lelah. Aku menarik tanganku, tetapi tidak kabur. “Memangnya apa yang harus kita coba?”
“Bagaimana kalau kita bahas di tempat yang lebih proper? Tidak di pinggir jalan seperti ini?”
“Enggak mau. Saya mau cepat pulang. Pokoknya dibahas di sini aja. Dua menit cukup. Ayo jawab, apa yang dimaksud dengan mencoba?”
Mas Kian menarikku minggir karena ada mobil akan lewat. Aku patuh karena tidak sempat melawan.
“Tadi orang tua kita memberi waktu kurang lebih satu bulan. Ayo kita kencan tiga kali saat weekend. Saya tahu, waktu segitu tidak akan cukup. Tapi setidaknya, kita bisa saling melihat karakter dasar. Saya hanya tidak terima karena kamu menolak saya sampai segitunya, padahal kamu tidak mengenal saya. Jangankan mengenal dengan baik, kulit luar saja kamu belum tahu. Jangan terlalu percaya diri seolah saya mengejarmu. Setidaknya, ayo buktikan kalau kita tidak seburuk itu di mana satu sama lain.”
“Asal Mas Kian tahu, saya bahkan enggak peduli dengan penilaian Mas Kian ke saya. Yang jelas, saya hanya enggak mau dijodohin. Saya enggak tertarik menikah.”
“Enggak, atau belum?”
Aku terdiam, lalu menggeleng pelan. “Entah. Sepertinya enggak.”
“Sekarang lagi marak kasus LGBT. Baik itu gay maupun lesbi. Kamu salah satu bagian dari mereka, ya?”
“A-apa? LGBT? Penghinaan! Saya normal, ya!”
“Saya hanya tanya, kenapa reaksimu sekeras itu?”
“Ya jelas saya tersinggung! Enak aja dituduh belok!”
“Saya ada alasan kenapa membahas tentang LGBT. Kamu menyinggung tidak tertarik untuk menikah—”
“Apa kalau ada orang enggak tertarik menikah pasti karena LGBT? Enggaklah! Banyak orang yang memutuskan untuk single seumur hidup bukan karena orientasi s****l bermasalah. Tapi ada hal lain.”
Mata Mas Kian kini menyipit. “Fitrahnya manusia normal, pasti ingin punya pasangan. Kalau konteks hubungan yang serius, jelas larinya ke menikah. Jika sampai tidak, pasti ada sesuatu. Antara trauma atau ada masalah dengan orientasi sexualnya. Itu artinya, kamu yang pertama.”
“Bukan urusan Mas Kian.”
“Sepertinya benar.”
Aku terdiam.
Memang benar. Aku sudah menyinggungnya tadi saat melamun di mobil.
Kalau sedang lupa akan traumaku, terkadang perasaan ingin menikah itu mendadak menggebu. Mungkin karena betul apa yang Mas Kian katakan, fitrahnya manusia memang ingin punya pasangan.
Sayangnya, jika aku sudah kembali disadarkan pada ingatan itu, keraguan selalu mendominasi. Aku mendadak sangat takut. Itulah kenapa aku tidak pernah benar-benar menunjukkan ketertarikanku pada lawan jenis sekalipun dalam hati naksir berat.
Aku selalu berdalih menggunakan alasan lain. Padahal, alasan sebenarnya kusembunyikan rapat-rapat. Bahkan dari Ayah dan Bunda sekalipun.
“Jadi gimana? Kamu berubah pikiran atau tidak? Atau tetap kekeuh menolak?”
“Menolak—”
“Baiklah, saya juga enggan menikahi orang yang punya masalah terhadap dirinya sendiri. Saya akan menganggapmu punya trauma yang mendalam soal pernikahan dan orientasi sexualmu juga bermasalah. Jangan-jangan, kamu sedang mendekati Mila untuk tujuan tertentu?”
“Mas! Saya ini beneran normal, ya!” aku mendelik tak terima.
“Kasihan Mila. Dia menganggapmu teman dekat, tapi anggapanmu berbeda—”
“Mas Kian! Jangan melampaui batas!”
“Bukannya kamu enggak peduli dengan penilaian saya?”
Sial! Aku malah termakan omonganku sendiri.
“Iya, enggak peduli. Silakan anggap saya punya trauma dan belok. Puas?”
Karena aku sudah terlampau kesal, aku segera pergi meninggalkan Mas Kian. Namun, karena terlalu buru-buru, aku hampir terserempet motor pelanggan resto yang lewat.
“Nafi, awas!” tanganku ditarik ke belakang dan aku menubruk d**a Mas Kian.
“Kalau jalan lihat-lihat, Kak! Kakaknya yang salah, tapi saya yang akan disalahkan kalau sampai kakaknya kenapa-napa. Bisa-bisa, saya disuruh ganti rugi juga. Pacarnya dibilangin, Mas! Kalau jalan, matanya dipakai!”
“Iya, iya. Maaf, maaf.”
Orang yang hampir menyerempetku akhirnya pergi. Aku berdehem pelan, lalu mendongak. “M-makas—”
Kalimatku langsung terhenti ketika mataku dan mata Mas Kian bersitatap dalam jarak yang cukup dekat. Aku mendadak tertegun karena tiba-tiba aku teringat laki-laki yang kutemui di kereta.
Tidak, tidak mungkin. Mas Kian tidak mungkin si 17C.
Aku pasti salah mengira, kan?
***