4. Jaket Penuh Kenangan

1903 Words
“Kenapa kamu natap saya terus?” Pertanyaan itu membuatku seolah sadar dari lamunan yang tak bisa kuhindari. Lamunan karena blank setelah menatap mata yang terasa sangat familiar. Ya, mata milik laki-laki 17C. Aku benar-benar merasakan getaran itu di mata Mas Kian. Pertanyaanku sekarang adalah … kok bisa? “E-engak, enggak papa! Saya cuma masih kaget aja.” Kudorong Mas Kian kuat, lalu menjauh darinya. “Pokoknya saya enggak mau diantar. Saya mau pulang sendiri aja—” “Kamu betul-betul semenolak itu, Fi? Setidaknya jangan buat saya seperti laki-laki tegaan yang meninggalkan perempuan sendirian, padahal saya bawa mobil.” “Ya udah, sih. Saya aja enggak papa. Orang saya juga yang nolak. Lagi pula, enggak ada yang kenal kita di sini. Siapa yang mau nilai Mas Kian tegaan atau enggak? Apa orang lain yang enggak kenal kita akan peduli? Kita enggak sepenting itu di mata orang lain.” Mas Kian menatapku tak habis pikir, lalu akhirnya mengangguk. “Ya sudah. Terserah kamu.” “Ya sana, Mas Kian ke mobil aja. Saya mau pesan gocar.” Aku mengulurkan tangan, menengadah. “Gerimis, soalnya. Kalau naik motor pasti kehujanan.” “Kamu memang suka menyulitkan diri begitu, ya?” Aku tak membalas. Aku memilih untuk menepi di bawah pohon yang tak kutahu apa namanya. Herannya, bukanya pergi, Mas Kian malah tetap bergeming di tempat. Padahal gerimis semakin lama semakin deras. Kini Mas Kian terus menatapku. Ekspresinya sulit kutebak. Tampak datar, tetapi menyiratkan sesuatu. “Ini driver udah on the way, Mas! Jangan hujan-hujanan gitu! Saya enggak mau ‘mencoba’ sama Mas Kian. Saya menolak perjodohan malam ini. Titik!” Tanpa mengatakan apa pun, Mas Kian akhirnya berjalan menuju mobilnya yang parkir di sudut barat. Dia masuk, lalu mobil pun menyala. Di saat yang sama, gocar pesananku datang. Aku buru-buru masuk dan menutup pintu. “Alamat sudah sesuai map, Kak?” “Iya, Pak. Maju dikit, tapi, ya. Soalnya titik rumah saya susah. Jadi saya pakai titik SMA. Itu jaraknya kurang lebih tiga ratus meteran.” “Baik.” Akhirnya, mobil putar balik di halaman lalu keluar. Kulihat mobil Mas Kian sudah keluar lebih dulu dan belok menuju arah yang berbeda. “Dasar manusia susah ditebak!” aku menoleh belakang, mobil Mas Kian sudah tak terlihat. Kini, aku mulai merenung untuk mengingat yang tadi. Serius, aku tidak bohong. Aku merasakan getaran laki-laki 17C pada Mas Kian. Matanya sama, termasuk sorotnya. Namun, kalau memang Mas Kian adalah laki-laki 17C, masa iya, dia tidak mengenaliku? Mustahil! Pasalnya, si laki-laki 17C sudah lihat wajahku saat aku makan. Apalagi makanku lama. Aku juga sempat menawarinya, bahkan tidak hanya sekali. “Atau cuma kebetulan aja, ya?” aku menggumam pelan. “Iya, paling kebetulan aja. Enggak mungkin Mas Kian enggak mengenaliku kalau dia emang si 17C. Dia aja bisa jujur soal dia yang tahu namaku dan teman satu ruanganku, masa iya dia enggak bisa jujur kalau memang dirinya si 17C? Dia diam aja, berarti bukan dia. Ini cuma kebetulan. Iya, pokoknya kebetulan aja. Udah, jangan dipikir!” Aku menggeleng keras, menyingkirkan dugaan tak berdasar ini. Sepertinya aku saja yang terlalu kepikiran si laki-laki 17C sampai Mas Kian pun jadi sasaran. “Dia lagi apa, ya?” tanpa sadar, aku tersenyum. “Semoga sehat terus, Mas.” Aku menyandarkan kepala pada pintu, lalu menggosok tangan berulang kali. Hujan di luar mulai deras. Tentu saja, jalanan akan macet karena kendaraan bergerak lambat. “Kakaknya boleh tidur kalau mau. Ini akan lama. Tidak hujan saja, area depan itu sering macet. Apalagi hujan begini.” Aku tersenyum. “Iya, Pak.” “Saya ada selimut, Kak. Mau?” “Enggak, Pak. Enggak usah. Begini saja enggak papa.” “Baik.” Semakin lama, hujan semakin deras saja. Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Jujur, aku baru tahu kalau menatap hujan dari balik kaca mobil terasa sangat menenangkan. *** Setibanya di rumah, Ayah dan Bunda ternyata belum pulang. Entah ke mana mereka, ternyata lebih lama dari yang kukira. Atau bisa jadi, mereka belum pulang karena hujan masih deras. Pulang dengan mobil saja, rambutku tetap basah karena harus lari dari gerbang menuju teras. Mau tak mau, aku mandi keramas daripada sakit. “Udah jam sepuluh, loh! Ayah sama Bunda, kok, belum pulang juga?” Aku keluar kamar untuk membuat minuman teh hangat. Aku menggigil karena kedinginan. “Ayah sama Bunda ke mana, sih? Udah malam, lho!” Aku meraih ponsel, ternyata sudah ada pesan dari Bunda. Beliau bilang akan pulang telat karena urusan melebar. Ya sudah, tidak apa-apa. Selagi ada kabar, aku baik-baik saja. Karena terlalu dingin, aku masuk lagi ke kamar. Tentu saja, lengkap dengan teh panas yang masih mengebul di cangkir. Aku juga mengambil jaket di lemari kecil yang memang kukhususkan untuk baju yang sifatnya pendamping. Semacam jaket, blazer, sampai jas almamater. Aku masih memilih jaket yang akan kukenakan ketika tiba-tiba tanganku tak sengaja menjatuhkan jaket hitam yang kutaruh di paling pojok. Jaket yang sudah belasan tahun selalu ada di antara jaket-jaketku. Iya, itu jaket milik mahasiswa yang pernah menolongku. Aku mengambilnya, lalu duduk di ranjang. “Apa aku pakai ini aja, ya? Ini udah jadi milikku, kan? Gila, sih, masih bagus aja jaketnya.” Ngomong-ngomong, aku pernah mencari pemilik jaket ini karena ada inisial di bagian d**a kiri. Inisialnya adalah A. S. D. Namun, tentu saja hasilnya nihil. Inisial itu tak membantu sedikit pun. Nama laki-laki dengan inisial A sangatlah banyak. S dan D juga tak membantu sama sekali. Aku bahkan sudah mencari banyak kemungkinan, tetapi tetap tidak ketemu. Pernah sekali, aku kegirangan karena ada nama yang inisialnya tepat A. S. D. yaitu Aris Syihab Dauly. Namun, setelah kulihat fotonya, orangnya agak pendek dan berisi. Sedangkan yang menolongku orangnya tinggi dan agak kurus. Artinya, aku salah orang. Sepertinya, sampai kapan pun, aku tidak akan bisa bertemu kembali dengan pemilik jaket A.S.D ini. Kecuali kalau ada keajaiban dia mengenaliku dan menampakkan diri di depanku. Dia juga harus bercerita sedikit sebagai bukti. Kalau benar bisa begitu, baru aku percaya. “A itu siapa, ya? Arya? Arga? Ari? Aris? Terus S dan D itu siapa? Ah, bodoamatlah!” Akhirnya, kupakai jaket itu dan kulihat penampilanku di depan kaca. Jelas sekali jaket ini kebesaran di badanku. Bayangkan saja, panjangnya sampai setengah paha bawah. Aku juga harus melipat tiga kali pada bagian lengan. Itu kupakai sekarang. Coba saat aku SMP dulu? Aku ingat, jaket ini menyelimutiku sampai bawah lutut. “Jaketnya ganteng, orangnya juga ganteng.” Aku terkekeh pelan. Aku masih ingat kalau mahasiswa itu memiliki wajah yang tampan. Akan tetapi, aku tidak ingat wajahnya. Aneh, kan? Memang aneh. Pokoknya tampan saja, aku tidak ingat fitur wajahnya. Akhirnya, aku kembali merebah di ranjang. Aku tersenyum ketika ingat kenangan belasan tahun lalu. Mahasiswa itu adalah satu-satunya alasan aku masih sering merindukan Jepara. Sisanya, yang kuingat dari kabupaten itu hanyalah luka dan trauma. Kalau boleh jujur, sampai detik ini aku masih sering bedoa untuk mahasiswa itu. Jika dia sudah menikah, semoga pernikahannya awet dan dikaruniai anak yang lucu-lucu. Jika belum, semoga dia lekas mendapat jodoh yang terbaik. Aku tidak pernah berdoa agar berjodoh dengannya. Itu derlalu dreamy. Harapan yang terlalu memaksakan kehendak. Jadi, doaku yang realistis-realistis saja. Aku tidak yakin saat itu dia umur berapa. Yang jelas, saat itu dia mengaku sudah kuliah. Dan ya … jika saat itu saja dia sudah jadi mahasiswa, minimal sekali umurnya saat ini sudah tiga puluh tahun. Bisa-bisa malah lebih. “Makasih banyak, Mas …” Aku menggumam lirih. “Lewat Mas, aku selamat dari b******n gila itu. Sehat-sehat terus, ya, Mas, di mana pun Mas berada.” Aku menghirupi jaket itu, wanginya sudah berganti menjadi wangi lemari. Wajar, kan? Malah aneh kalau wangi mahasiswa itu masih menempel di jaket ini. Belasan tahun bukan waktu yang sebentar. “Kok jadi ngantuk, sih?” Aku baru saja memejamkan mata ketika tiba-tiba ponselku bergetar. Aku segera meraihnya. Ada pesan dari nomor baru. 085xxxxxxxxx Ini saya, Fi. Kian. Seketika, aku bangun. “Idiiih! Aku disuruh nyimpen nomornya, gitu? Enggak nyerah juga ini orang!” Aku ambruk lagi, lalu membalas, ‘Y’. Aku memang sengaja membalas singkat. Meski begitu, aku tetap menyimpan nomornya. Anggap saja aku menghormatinya sebagai rekan kerja di kantor. Tepat setelah aku selesai menyimpan nomor Mas Kian, tiba-tiba aku dibuat salah fokus dengan foto profilnya. Foto itu adalah foto Mas Kian mengenakan jaket hitam dan wajahnya menyerong ke samping. Bukan, bukan itu intinya. Yang membuatku salah fokus adalah tempat dia mengambil foto itu. Dia foto di depan monumen Karimunjawa. “He? Dia pernah ke Karimunjawa? Terus jaketnya?” Aku bangun, lalu menunduk. “Sama-sama hitam— ey! Ngaco! Apa-apaan! Enggak, enggak mungkin! Mereka bukan orang yang sama. Kayaknya hampir semua laki-laki punya jaket hitam, deh. Mas Kian kan inisialnya K.B.R, sedangkan yang punya jaket ini inisialnya A.S.D.” Aku menggeleng kuat. “Enggak, enggak! Jelas beda orang. Ini kebetulan aja aku habis ngebatin. Karimunjawa, kan, terkenal. Semua orang boleh ke sana kalau mau. Termasuk itu Mas Kian.” Aku ambruk lagi, lalu memejamkan mata. Aku berusaha mengingat wajah mahasiswa yang menolongku, dan lagi-lagi gagal. Aku tidak ingat sama sekali. Yang kuingat betul dari fisiknya adalah dia tinggi, putih, dan senyumnya menyenangkan. Menyenangkan seperti apa, aku juga bingung mendeskripsikan. Yang jelas, saat itu aku senang melihatnya tersenyum. Sudah, itu saja. “Kenapa aku payah banget nginget wajah orang, sih!” aku meremas rambutku sendiri. Orang yang pandai mengingat wajah saja, jika sudah berlalu belasan tahun, potensi lupa tetap ada. Apalagi aku yang memang payah sejak awal? Aku masih merutuki diri sendiri ketika tiba-tiba ponselku berdering. Kuambil benda itu, Mas Kian menelepon. “Lah, ngapain telepon-telepon segala? Kurang kerjaan banget!” Akhinya, kuangkat panggilan itu. “Hallo, Mas? Kenapa telepon?” “Kenapa terus mengetik, tapi enggak dikirim-kirim?” “Hah? Emang iya? Padahal saya enggak mau ngetik apa-apa. Paling karena saya habis save nomor aja, kali. Suka kepecet papan ketik, jadi notifikasi di Mas Kian mengetik.” “Oh. Oke.” “Ya udah, matiin aja—” “Kamu sudah sampai rumah?” “Udah. Kenapa? Sekarang Mas Kian mau berlagak peduli pakai nanyain saya udah sampai rumah segala? Besok sekalian, Mas. Udah makan belum? Makan, gih! Nanti sakit. Ewww!” Mas Kian tertawa pelan, dan tawanya itu membuatku tertegun. Tunggu! Kenapa aku harus tertegun hanya karena orang tertawa? “Ternyata kamu secerewet ini?” “Emang dari luar enggak kelihatan, ya? Perasaan saya enggak pernah menutupi ini, deh! SKSD-nya udah bawaan orok.” “Nurun dari Bundamu?” “Kok tahu?” “Itu bagus.” “Hah? Bagus? Beberapa orang menganggap ini kekurangan. Termasuk saya sendiri. Kadang SKSD bikin orang ilfeel. Saya lagi mengurangi ini, jujur. Tapi kadang suka kelepasan aja.” “Tapi asal kamu tahu, orang SKSD bisa saja menjadi penyelamat untuk orang tertentu.” “Seperti contoh?” “Orang yang terlalu penutup dan takut untuk memulai lebih dulu.” “Ah … bener juga, sih. Sesuai porsi ajalah, ya!” “Ya … begitulah.” “Ya udahlah, Mas! Saya tutup aja sebelum saya makin SKSD enggak jelas. Dan perlu Mas Kian ingat, keputusan yang saya katakan tadi masih berlaku. Saya welcome dan cepat akrab bukan berarti berubah pikiran. Bagaimanapun, kita rekan kerja. Begitu, ya?” Tidak ada jawaban. Aku melihat layar, panggilan masih terhubung. “Mas Kian? Hallo?” “Ya.” Berikutnya, panggilan langsung kumatikan. Aku memperbaiki posisi tidurku dan menarik selimut. “Lupakan tentang Mas Kian dan perjodohan, mari tidur bersama jaket penuh kenangan.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD