“Gimana rasanya buburku, Mas?” tanyaku begitu Mas Kian mulai makan bubur yang baru saja kubuat. Aku sudah menawari ingin menyuapinya, tetapi dia menolak. Dia mengaku bisa sendiri, yang penting aku menemaninya makan. Mas Kian sudah agak membaik, tetapi belum bisa dibilang sembuh. Badannya masih panas, pun dia mengaku masih lemas. Karena dia tak enak makan, jadi aku buatkan bubur basic saja. Tidak kucampur macam-macam agar dia tidak mual. “Enak, kok. Semuanya pas.” “Yang bener? Lidahnya Mas kan pasti pahit.” “Aku emang lagi kurang enak makan, tapi buburmu tetap enak. Artinya, kalau aku lagi enak makan, buburmu makin enak.” Senyumku langsung mengembang. “Oke, deh.” Selagi Mas Kian makan, aku terus berada di sampingnya. Dia pasti sadar aku bolak-balik memperhatikannya. “Kenapa, Fi? Ada