“Fi, kamu marah beneran?” tanyaku sembari ikut duduk di sofa tempat Nafi merebahkan badan. Alih-alih menjawab, Nafi malah menekuk kakinya. Seolah-olah dia tidak ingin kakinya tersenggol olehku. “Enggak, tuh. Biasa aja,” jawabnya pelan tanpa menoleh. Kini dia sedang sibuk dengan layar ponselnya. “Aku minta maaf. Aku bisa jelasin maksud Mas Arga tadi.” “Enggak usah. Orang udah jelas. Jangan dibahas lagi. Aku enggak papa.” Aku tidak bisa mencari pembenaran karena apa yang Mas Arga katakan memang benar adanya. Andai Nafi tahu yang sesungguhnya malah dia bisa lebih marah lagi. Pasalnya, aku bahkan sempat bergidik. Benar-benar tidak terima dituduh telah jatuh jatuh cinta pada bocah SMP yang kutolong. Mana aku tahu kalau bertahun-tahun kemudian aku akan bertemu lagi dengan anak itu? Mana aku