Setelah memastikan Chelsea tenang dan tertidur pulas, Luna berpamitan kepada Nyonya Hilma dan Permana. Wajah Luna masih menunjukkan rasa khawatir terhadap Chelsea, tetapi ia merasa lega setelah melihat kondisi Chelsea membaik setelah mereka bertemu.
"Terima kasih banyak, Bu Luna, sudah meluangkan waktu untuk Chelsea," ujar Nyonya Hilma sambil menggenggam tangan Luna dengan penuh rasa terima kasih.
"Ini kewajiban saya, Bu. Chelsea sudah seperti anak saya sendiri," jawab Luna tulus.
Luna berniat memesan taksi online untuk pulang, tetapi Nyonya Hilma dengan tegas menolak. "Tidak perlu pesan taksi. Permana, antar Bu Luna pulang. Sudah malam, tidak baik membiarkan perempuan pulang sendirian," katanya dengan nada tegas.
Permana sempat terdiam sejenak, merasa enggan karena interaksi dengan Luna membuatnya merasa canggung. Namun, ia tidak ingin membantah ibunya. "Baik, Bu. Saya antar," jawabnya akhirnya.
Dengan sedikit ragu, Luna mengikuti Permana ke mobilnya. "Maaf merepotkan, Pak Permana," ucap Luna sambil duduk di kursi penumpang.
"Ini bukan masalah besar," jawab Permana singkat, matanya fokus ke jalan.
Selama perjalanan, suasana di dalam mobil terasa hening dan sedikit tegang. Keduanya hanya berbicara singkat tentang kondisi Chelsea dan bagaimana pentingnya memperhatikan waktu istirahatnya. "Ehmm, maaf pak saya cuma menyarankan agar siklus tidur Chelsea mungkin harus diperhatikan, khawatir dia tidur larut malam, tanpa sepengetahuan orang-orang di rumah,"cicit Luna dengan sangat hati-hati mengatakan hal itu. Luna merasa canggung, sedangkan Permana berusaha menjaga jarak emosional.
"Kurasa, anda tidak perlu khawatir bu Luna, karena aku tahu yang terbaik untuk putriku, dan juga satu hal lagi, jangan merasa tahu banyak tentang anakku hanya karena kau dekat dengan anakku!" ucap Permana dengan nada tegas dan menekan. Membuat Luna tercekat, dan juga meremas gamisnya.
Namun, tanpa mereka sadari, sebuah mobil berhenti di kejauhan dengan seorang pria memegang kamera. Kilatan lampu kamera beberapa kali menangkap momen ketika Permana membuka pintu mobil untuk Luna di depan rumahnya.
"Lumayan, ini bisa jadi berita besar," gumam pria itu sambil terus memotret.
Setelah 30 menit perjalanan akhirnya sampai di halaman rumah Luna yang sangat sederhana. Luna turun dari mobil dan mengucapkan terima kasih, "Terimakasih telah mengantar saya pak."
Permana hanya mengangguk sebelum melajukan mobilnya kembali. Keduanya tidak menyadari bahwa momen sederhana itu telah terekam oleh paparazi yang mencari sensasi.
Keesokan harinya, beberapa media online lokal mulai memuat foto-foto Luna dan Permana dengan judul-judul sensasional: "Calon Walikota Ditemani Guru TK Anak Perempuannya di Malam Hari" atau "Kedekatan Permana dengan Seorang Guru, Benarkah Hanya Demi Putrinya?"
Luna yang tidak menyangka dirinya menjadi sorotan media merasa sangat terguncang. Sementara itu, Permana yang membaca berita tersebut di pagi hari merasa marah. Ia sadar bahwa situasi ini dapat mencoreng nama baiknya dan Luna, terutama menjelang pemilu.
Namun, yang paling ia khawatirkan adalah dampaknya pada Chelsea. Jika isu ini semakin besar, Chelsea bisa menjadi sasaran empuk gosip yang tidak pantas.
"Ini sudah kelewatan," ujar Permana pada tim suksesnya. "Saya tidak akan membiarkan keluarga saya dijadikan bahan berita murahan!"
Di tengah kampanye yang semakin ketat, Permana mulai menghadapi tekanan besar dari tim suksesnya. Elektabilitasnya sebagai calon walikota tidak menunjukkan peningkatan signifikan, meskipun berbagai strategi telah dicoba. Tim suksesnya pun mulai mencari cara lain yang lebih personal untuk meningkatkan citra Permana di mata masyarakat.
"Pak Permana, kami harus mencari sudut pandang yang lebih manusiawi. Bapak dikenal sebagai seorang pejabat sukses, tetapi masyarakat ingin melihat sisi pribadi yang lebih dekat dengan kehidupan mereka," kata Andi, ketua tim suksesnya, saat rapat malam itu.
Permana hanya mengangguk lelah. "Apa maksud Anda?"
Andi melanjutkan, "Hubungan Bapak dengan putri Bapak, Chelsea, bisa menjadi fokus utama. Kami mendengar Chelsea sangat dekat dengan gurunya, Bu Luna. Kedekatan itu bisa dimanfaatkan untuk menunjukkan sisi kehangatan keluarga Bapak. Itu bisa menarik simpati masyarakat."
Permana terkejut mendengar nama Luna disebut. "Maksud Anda, menjadikan kedekatan Chelsea dengan gurunya sebagai bagian dari kampanye?"
"Betul, Pak. Kita bisa memperlihatkan bagaimana Bapak adalah ayah yang perhatian dan mendukung pendidikan Chelsea. Dan kalau memungkinkan, memperlihatkan bahwa Bapak didukung oleh seorang guru yang juga peduli dengan pendidikan generasi muda."
Permana diam sejenak, mempertimbangkan usulan itu. Ia merasa tidak nyaman memanfaatkan hubungan Chelsea dan Luna untuk kepentingan politiknya, tetapi tekanan dari tim suksesnya begitu kuat.
Namun, di balik layar, kabar kedekatan Chelsea dengan Luna mulai tersebar di kalangan masyarakat sekitar. Beberapa media lokal bahkan mulai memberitakan tentang guru TK yang disebut-sebut memiliki hubungan istimewa dengan keluarga Permana.
Luna, yang tidak tahu-menahu tentang strategi ini, mulai merasakan perubahan sikap beberapa orang di sekitarnya. Teman-teman guru di sekolah mulai bertanya-tanya tentang hubungannya dengan Permana, sementara para orang tua murid memandangnya dengan rasa ingin tahu.
"Wahhh, benarkah ini bu Luna, kayaknya bakal di lamar duda kaya hihihi,"ujar Kepala Sekolah Luna.
"Ahh, itu... tidak benar bu karena saya dan pak Permana hanya ada hubungan antara guru dan walimurid."
Pagi itu, suasana di sekolah tempat Luna mengajar terasa berbeda. Beberapa guru yang biasanya menyapa Luna dengan hangat kini mulai berbisik-bisik ketika melihatnya masuk ke ruang guru. Suara percakapan mereka terdengar lirih, tetapi cukup jelas untuk membuat Luna merasa tidak nyaman.
"Jadi benar ya, Luna dekat dengan Pak Permana?" bisik salah satu guru.
"Dia kan calon walikota. Kalau benar, wah... hidup Luna bisa berubah drastis," timpal guru lainnya dengan nada setengah iri.
Luna mencoba mengabaikan bisikan tersebut dan fokus pada pekerjaannya, tetapi ia tidak bisa menghindari perhatian yang tertuju padanya.
Di luar ruang guru, para orang tua murid yang sedang menunggu anak-anak mereka juga mulai membicarakan isu tersebut. Beberapa di antaranya bahkan terang-terangan bertanya pada Luna.
"Bu Luna, kami baca berita soal Anda dan Pak Permana. Benar, Bu? Apa Anda ada hubungan khusus dengannya?" tanya seorang ibu dengan nada ingin tahu, namun terkesan menyindir.
Luna tersenyum canggung. "Itu tidak benar, Bu. Saya hanya guru Chelsea, tidak lebih dari itu," jawabnya sambil berusaha mengendalikan emosinya.
Namun, ucapan Luna seolah tidak cukup untuk meredakan gosip yang terus berkembang. Bahkan salah satu orang tua murid lainnya menambahkan, "Tapi ada fotonya, Bu. Masa itu juga salah? Kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa Bu Luna bisa satu mobil dengan Pak Permana di malam hari?"
Luna merasa semakin terpojok. Ia ingin menjelaskan, tetapi menyadari bahwa setiap penjelasan hanya akan memicu gosip lebih jauh.
Di tengah situasi ini, kepala sekolah memanggil Luna ke ruangannya. "Luna, saya tahu ini mungkin hanya kesalahpahaman, tetapi berita seperti ini bisa memengaruhi reputasi sekolah. Saya harap Anda bisa berhati-hati ke depannya," ujar kepala sekolah dengan nada lembut namun tegas.
Luna mengangguk lemah. "Saya mengerti, Bu. Saya akan mencoba menyelesaikan masalah ini," jawabnya.
Namun, Luna tidak tahu harus berbuat apa. Setiap langkah yang ia ambil seolah menjadi bahan perbincangan, dan situasi ini mulai memengaruhi pekerjaannya. Ia hanya bisa berharap bahwa waktu akan meredakan semua gosip ini, meskipun di dalam hatinya, ia merasa sangat lelah dan tertekan.
Hari itu, suasana di depan sekolah tempat Luna mengajar semakin ramai. Puluhan wartawan dengan kamera, mikrofon, dan alat perekam berkumpul, menunggu kesempatan untuk mewawancarai Luna. Beberapa bahkan mencoba mengintip ke dalam gerbang, berharap mendapatkan foto atau pernyataan eksklusif.
Luna, yang biasanya tenang, merasa gugup luar biasa. Ia mencoba menghindari perhatian dengan berdiam di ruang guru. Namun, kepala sekolah justru melihat situasi ini sebagai peluang besar.
"Ini kesempatan emas untuk meningkatkan citra sekolah kita," ujar kepala sekolah kepada beberapa guru.
Beberapa saat kemudian, kepala sekolah keluar menemui para wartawan dengan senyum lebar. "Selamat pagi, rekan-rekan media. Saya kepala sekolah di sini, dan saya senang sekali bisa melihat antusiasme Anda terhadap sekolah kami," katanya.
"Bu Kepala Sekolah, bagaimana tanggapan Anda soal kedekatan guru TK di sini dengan seorang calon walikota?" tanya salah satu wartawan.
bsrsambung.....