Sore mulai turun di langit Yogyakarta. Burung-burung kecil berputar di langit, dan seseorang yang siap perang... sudah tiba. Sesuai janji, Leo datang ke rumah Naya. Tekadnya sudah dibalut mental baja dan satu tas penuh saran dari Livia. Ia berdiri di depan pagar rumah sempit itu. Satu tangan bawa kotak bolu kukus durian, tangan lain menggenggam kantong berisi jeruk manis. Tapi gemetaran. Dikit. Naya muncul dari dalam rumah, menyentuh layar ponsel. “Sayang, maaf ya. Aku baru baca pesanmu.” Derit pagar menyambut mereka seperti intro film drama. “Nggak tahu kenapa... tapi rasanya kayak mau ditimbang dosa,” gumam Leo. Naya tertawa pelan. “Tenang. Kamu bukan pelaku kejahatan. Paling juga pencuri perasaan.” Leo tersenyum kecut. “Wah, makin jago ya gombalnya, Bu Guru.” “Jangan gugup. Kamu

