Setelah makan soto langganan dan drama ringan ala Livia, mereka akhirnya kembali ke mobil.
Di parkiran, suasana mendadak jadi lebih tenang.
Livia turun lebih dulu karena ada klien yang katanya harus dia bentak pakai logika hukum.
Tinggallah Naya dan Leo di dalam mobil.
“Leo,” kata Naya sambil membuka ponsel, “aku kayaknya harus mampir rumah bentar. Nyokap lagi banyak tanya.”
Leo melirik sambil menyender. “Aku ikut, ya?”
Naya menoleh cepat. “Nanti dulu, ah.”
Leo mengernyit. “Kenapa?”
“Takutnya…” Naya menurunkan suara, “ada yang serangan jantung karena tiba-tiba ganti calon suami.”
Leo diam sebentar, lalu tertawa pelan. “Sampai segitunya, Nay?”
“Terakhir yang mereka tahu, aku masih sama Duta. Dan kamu tahu sendiri Duta kayak apa.”
“Si Taurus tanpa tanduk?”
Naya nyengir. “Nah, itu.”
Leo mengetukkan jari ke kemudi. “Kalau kamu udah siap, aku anter. Aku nggak masalah dikenalin.”
“Aku tahu,” ucap Naya pelan. “Tapi ini... harus pelan-pelan. Keluargaku... dinamis. Campuran zodiak dan drama.”
Leo menatapnya sambil tersenyum kecil. “Bilang aja aku Virgo. Biasanya keluarga percaya zodiak rajin dan taat aturan.”
“Masalahnya... Mama Libra. Suka ngetes orang pakai pertanyaan jebakan.”
“Kayak... 'Kamu sayang anak saya?' yang jawabannya semua salah?”
“Exactly.”
Leo tertawa. “Ya udah. Kita siapin strategi ya. Kalau udah oke, aku ikut.”
Naya mengangguk. “Sip. Doain aja semoga nggak ada yang nanya ‘kapan kawin’ sebelum aku masuk rumah.”
Leo menggenggam tangannya.
“Tenang. Kalau mereka nanya, jawab aja: ‘Nunggu yang sekarang ngumpulin nyali.’”
Naya tertawa kecil, lalu turun dari mobil.
Leo menatap punggungnya sesaat, lalu menyalakan mesin.
Sementara itu, di sebuah rumah kecil dengan halaman sempit dan suara anak kecil main sepeda di depan teras, ada tiga pasang mata dan satu tangan yang sedang mengupas mangga, siap menyambut Naya pulang.
Mereka belum tahu: hari ini, calon menantu baru... sudah standby di tikungan.
---
Rumah keluarga Naya terletak di sebuah gang sempit yang cukup membuat sopir ojek online butuh GPS plus feeling keenam.
Halaman kecil, pagar besi berderit kalau dibuka, dan suara TV dari dalam rumah sudah jadi tanda khasnya.
Naya berdiri di depan pagar. Menatap pintu rumah yang terbuka separuh. Napas ditarik, lalu dia masuk.
“Aku pulang!” serunya sambil melepas sepatu.
Suara sendok dari dapur langsung berhenti.
Tak lama, ibunya muncul dari balik meja makan, masih pakai celemek dan pisau pengupas mangga di tangan.
“Naya? Udah lama nggak pulang, ya?”
“Baru dua minggu, Bu,” jawab Naya pelan sambil mencium pipi ibunya.
Di ruang tengah, Adinda, si adik Cancer sejati, sudah menoleh sambil senyum misterius.
Dari tangga, suara anak kecil memanggil,
“Tante Naayy!”
“Angkasa!!”
Armin, kakak Naya, muncul dari lantai atas sambil menggendong anaknya.
“Anak ini ngefans berat sama kamu. Jangan jarang pulang,” sindirnya santai.
Naya tertawa kecil. Belum sempat duduk, sang ibu, Bu Nani, langsung berkata sambil memotong mangga:
“Duta kemarin main, loh. Nanyain kamu.”
Boom. Langsung. Gaya khas Libra: menusuk manis, tapi bikin kaget.
Naya refleks duduk. “Oh ya?”
“Dia tanya kamu masih ngajar di tempat yang sama. Katanya mau nganterin makanan lagi kayak dulu.”
Adinda menyisip teh. Wajahnya penuh minat.
Armin mengangkat alis. “Itu yang dulu kamu pacarin tiga tahun, ya?”
“Empat,” jawab Naya cepat. “Tapi semuanya kayak pelatihan jadi orang sabar.”
Bu Nani menoleh tajam. “Lho? Kok kamu ketus begitu?”
Naya menunduk pura-pura ambil potongan mangga. “Nggak, cuma udah lama. Udah putus.”
“Putus?” tanya Armin.
“Duta yang minta putus.”
“Kamu nggak apa-apa?” Armin tampak cemas.
“Nggak apa-apa. Jadi kalau dia datang, tolak aja.”
Bu Nani mengangguk, tapi matanya tajam menilai. “Mama kira kamu masih sama dia. Nggak pernah cerita apa-apa. Eh, tahu-tahu nggak pernah datang lagi.”
Adinda mulai menggoda. “Atau... kamu lagi ganti status?”
Naya melotot pelan. “Apa, sih?”
Adinda tertawa. “Feeling Cancer-ku kuat banget. Kamu lagi jatuh cinta, ya?”
Armin menyahut, “Siapa sekarang?”
Naya pura-pura cari air minum. Tapi tak ada gelas di dekatnya.
“Kalau salting, berarti beneran,” celetuk Adinda lagi.
Naya akhirnya menyerah. “Namanya Leo. Kalian tahu. Yang dulu... mantanku waktu kuliah.”
Hening.
Bu Nani berhenti memotong mangga. “Leo yang itu?”
Naya mengangguk.
“Ketemu kapan?”
“Dua minggu lalu.”
Alis Adinda terangkat. “Sebelum putus sama Duta?”
“Setelah. Kami langsung balikan.”
“Itu hati apa baterai?” sindirnya. “Begitu kosong langsung ganti.”
Naya mencebik. “Dia serius. Kami mungkin akan segera menikah.”
“Bukannya dulu kalian putus karena mamanya nggak setuju?” Armin menyambar.
Naya diam.
“Kok, diem? Bener kan?”
Naya mengangguk pelan.
“Sekarang udah disetujui?”
“Masih diperjuangkan.”
Adinda batuk pura-pura. “Terus Duta gimana?”
“Duta masa lalu. Leo masa sekarang. Semoga masa depan juga.”
Bu Nani menatap Naya lama, ekspresinya seperti guru SD yang lagi nimbang: naik kelas atau ngulang?
“Naya,” katanya pelan, “Mama cuma mau kamu bahagia. Tapi jangan impulsif. Coba pikirin lagi.”
Naya menggenggam tangan ibunya.
“Ini bukan impulsif, Bu. Aku udah yakin.”
Bu Nani duduk, menatap anak perempuannya. “Dulu, Mama juga nggak disetujui orang tua ayahmu. Akhirnya... ya, kalian tahu sendiri. Kami bercerai.”
Sunyi.
Napasnya berat. Matanya berkedip cepat.
“Kamu yakin mau jalanin hal yang sama?”
“Leo bukan Papa, Ma,” jawab Naya pelan. “Dia serius. Dia bela aku di depan mamanya. Adiknya dukung. Dia beda.”
Adinda diam. Armin menatap adiknya, lalu mengangguk pelan.
Bu Nani hanya mengusap kepala Naya.
“Oke, tapi Mama mau ketemu dia.”
Naya hampir tersedak. “Sekarang?”
“Besok sore, tapi jangan bawa Mama jeruk asem atau roti rasa keju kayak Duta dulu. Bikin kembung.”
Adinda ngakak. “Noted. Plus cap jari calon mantu!”
“Bawain rokok juga,” celetuk Armin santai.
Naya menutupi wajahnya... tapi senyumnya pecah.
“Terima kasih, Ma.”
Dia memeluk ibunya erat.
Leo udah di tikungan. Calon lama di rak piring dan yang terpenting... kenyataan akhirnya punya ruang untuk diperjuangkan.