Senja menyapa pelan, menggantikan riuhnya siang tadi. Tamu-tamu sudah pulang, kursi-kursi mulai ditumpuk, dan sisa bunga di pelaminan tertiup angin dengan tenang. Rumah Bu Nani kembali sepi, meski hatinya belum benar-benar tenang. Naya duduk di ruang tamu yang kini lengang, masih mengenakan gaun pengantinnya, tapi selendang dan hiasan kepala sudah dilepas. Rambutnya dikuncir sederhana, wajahnya hanya menyisakan sedikit riasan tipis yang sudah mulai pudar. Leo masuk sambil membawa dua gelas teh hangat. Ia duduk di samping Naya, menyodorkan satu gelas kepadanya. “Teh manis terakhir sebagai tamu di rumah ini,” gumamnya pelan. Naya tersenyum samar. “Aneh ya. Rasanya belum siap.” Leo memiringkan kepala, menatap wajah istrinya dengan lembut. “Kamu siap nikah, tapi belum siap ninggalin rumah

