“Nggak apa-apa. Aku nggak dendam lagi, kok.”
Kalimat itu keluar dari bibir Naya Revina dengan getir. Malam itu, dia baru saja diputuskan oleh pacarnya. Lewat pesan teks. Di malam tahun baru. Rasanya menyesakkan. Tenggorokannya kering, semangat hidupnya seperti dirampas tanpa peringatan.
Nasi sudah jadi bubur. Hidup harus terus berjalan, dengan atau tanpa pasangan. Meski, harus diakui, putus cinta di usia matang adalah salah satu bentuk kesialan paling menyebalkan. Apalagi Naya sempat berharap bisa menikah tahun ini. Umurnya sudah dua puluh delapan.
Naya duduk sendirian di sebuah restoran sushi 24 jam. Di sekitarnya, pasangan-pasangan tertawa menyambut pergantian tahun. Lampu kota berkelap-kelip di balik jendela kaca, seolah mengejek kesepiannya. Ia menggigit potongan salmon mentah, menahan rasa asin di lidah dan di mata.
Seharusnya, malam ini ia datang bersama pacarnya. Ia bahkan sudah reservasi dan membayar DP. Tapi yang datang justru pesan teks panjang berisi alasan.
“Maaf ya, aku udah coba. Tapi aku nggak bisa milih kamu di atas keluarga. Aku nggak sanggup bikin mereka kecewa lagi. Kamu perempuan yang kuat. Kamu pasti bisa tanpa aku.”
Pesan itu diakhiri dengan emoji sedih.
Emoji. Setelah empat tahun bersama.
Keluarganya tak setuju karena reputasi Naya. Terlalu banyak mantan, katanya. Pernah bolos waktu SMA. Pernah minjam uang. Pernah nulis status galau di tengah malam. Bahkan dituduh tidak stabil secara emosional.
Yang paling menyakitkan? Dia diam saja. Tidak membela. Tidak menolak. Tidak memperjuangkan. Hanya mengangguk patuh, seperti anak manis yang ingin terlihat baik dengan mengorbankan Naya.
Empat tahun hubungan itu runtuh dalam satu pesan teks. Tanpa permintaan maaf. Tanpa suara. Tanpa pertarungan.
Naya menatap sushi di depannya. Potongan makanan favorit itu terasa hambar. Di luar, pesta kembang api mulai menghias langit. Orang-orang berteriak riang, saling memeluk, mencium pipi pasangannya. Sementara itu, ia duduk sendiri. Di antara tawa yang bukan miliknya. Dalam kesedihan yang nyaris tak bisa ditutupi.
Udara di dalam ruangan dingin, tapi yang membuatnya menggigil bukan AC, melainkan kesunyian. Tangannya gemetar saat meraih gelas teh Ocha. Entah kenapa, tiba-tiba bulu kuduknya berdiri. Ia merasa ada yang mengawasi.
Jantung Naya berdetak tak karuan. Ada rasa aneh menyelinap, seperti tubuhnya tahu lebih dulu bahwa sesuatu yang besar akan datang. Ia mengangkat wajah, perlahan.
“Naya?”
Suara itu membuat tubuh Naya menegang. Ia menoleh pelan.
Seorang pria berdiri di depannya, mengenakan mantel hitam. Tatapannya tak berubah, tetap hangat, dalam, dan menyimpan sejarah yang tak terucap. Butuh waktu sedetik bagi Naya untuk mengenalinya. Dia tidak akan pernah melupakan suara dan wajah itu.
Leo Alamsyah.
Mantan pacar yang pernah mematahkan hatinya sembilan tahun lalu. Dan kini berdiri di hadapannya.
"Naya, kan?” ulangnya.
Naya spontan meraba wajahnya. Pasti berantakan. Maskara luntur. Bibir kering. Wajah sembab. Mungkin ia terlihat seperti tikus kecemplung got malam ini.
“Hai,” balasnya, pelan. Dingin.
Leo tersenyum kecil. “Masih ingat aku?”
Naya nyaris menjawab jujur, tapi mulutnya justru bergumam, “Siapa, ya?”
Leo menatapnya, sedikit bingung. Alisnya tidak naik tinggi seperti dulu kalau sedang kesal. Ia tampak tenang. Jauh lebih dewasa. Dan, ya... lebih tampan dari terakhir kali Naya melihatnya.
"Aku boleh duduk sini?” tanyanya.
Naya mengangguk. Entah karena shock, lelah, atau karena hatinya yang belum sembuh benar. Dia tidak menolak Leo. Daripada sendirian, lebih baik dengan mantan, begitu suara hatinya berbisik.
Leo duduk. Tangannya bertaut di atas meja, gugup. Ia jarang gugup. Bahkan dulu, Leo selalu percaya diri. Selalu tahu kapan harus maju.
“Maaf ya, soal yang dulu,” katanya tiba-tiba.
Suaranya pelan, nyaris ragu, tapi nadanya tulus. Naya menatapnya. Ia tersenyum samar.
"Nggak apa-apa. Aku nggak dendam lagi.”
Leo memandangi wajahnya lama. Seolah sedang mengukur luka yang belum hilang.
“Kamu udah punya pacar sekarang?” tanyanya.
"Baru putus,” jawab Naya singkat.
Leo tersenyum kecil. Matanya seperti berbinar.
“Bagus.”
“Bagus?” Naya menatapnya sinis.
“Aku lega dengarnya.”
"Kenapa? Kamu mau ngetawain aku?” Naya menyipitkan mata.
“Nggak, kok. Jangan marah.”
“Kamu sendiri gimana?”
“Aku jomblo.”
Naya nyaris tertawa, tapi menahan diri saat melihat ekspresi Leo yang tidak main-main.
“Jangan ketawa,” katanya memperingatkan.
“Iya, bawel.”
“Kamu mesen teh dan sushi doang?” Leo menunjuk piring Naya.
“Mau tambah bir biar afdol?”
"Kamu nggak keberatan?”
Naya mengangguk.
“Tahan alkohol emang?”
Ia ngangguk lagi.
Leo memanggil pelayan dan memesan dua botol bir kecil. Naya tidak protes. Malam ini, ia tidak ingin menjadi bijak. Ia hanya ingin merasa bebas. Atau sekadar teler.
Botol bir datang. Gelas kecil berembun diletakkan di meja. Naya menatapnya sebentar, lalu menenggak seteguk. Rasanya pahit, tapi tak lebih pahit dari yang ia telan hari ini.
“Aku pacaran empat tahun terus putus tadi pagi,” ucapnya lirih. “Empat tahun, Leo. Bukan empat bulan.”
Leo diam. Matanya menatapnya, tak berkedip.
“Dia ninggalin aku gara-gara keluarganya nggak suka reputasiku. Katanya aku kasar, banyak mantan, nggak layak jadi istri... dan dia? Diam aja. Nggak belain aku.”
Air mata Naya jatuh, pelan-pelan. Tapi ia tidak menyekanya. Ia biarkan mengalir.
"Aku pikir, dia bakal lawan keluarganya. Kayak di film-film. Ternyata... dia bahkan nggak sanggup ngelawan chat grup keluarga.”
Leo bergeser lebih dekat. Ia tidak menyela.
"Aku bukan cewek baik-baik. Aku tahu itu.”
“Tapi aku juga bukan sampah. Aku cuma cewek yang mau disayang.”
Suara Naya parau. Air matanya deras.
Leo akhirnya bicara, hatinya tak tega.
“Kamu nggak harus jadi baik buat layak disayang. Kamu tinggal jadi kamu, Naya.”
Naya tertawa miris.
"Kamu selalu pintar ngomong, Leo.”
Ia menenggak bir lagi. Matanya mulai sayu. Pipi memerah, tapi tawanya muncul.
"Tapi hidup nggak semudah itu, Leo.”
Ia mendesah, “Meski begitu, aku nggak bisa benci dia.”
Naya diam sebentar.
"Aku bodoh, ya?”
"Nggak. Kamu cuma terlalu tulus,” sanggah Leo cepat.
"Aku sedih banget, tau nggak? Tapi... aku juga lega. Karena akhirnya berakhir.”
Ia bangkit. Kakinya goyah. Leo sigap menopangnya.
“Naya, kamu mau ke mana?”
Naya menoleh. Matanya sayu tapi tajam. Tangan kanannya mencengkeram jaket Leo.
“Kamu masih aja ganteng,” ujarnya.
Leo terdiam. Mata mereka bertemu.
Naya menarik kerah baju Leo, lalu menciumnya. Penuh emosi. Penuh luka. Leo terkejut, tapi tidak menolak.
"Mau ke kosku?” bisik Naya setelah ciuman itu berakhir.
Leo tak sempat menjawab. Naya menarik lengan jaketnya, pelan. Ajakan itu… tak bisa ditolak.