Cahaya matahari menyelinap dari sela-sela tirai. Hangat. Sedikit menyilaukan. Naya membuka mata perlahan. Pandangannya buram, kepalanya berat. Lidahnya terasa pahit.
Ia mengerjap pelan. Ruangan ini... kamarnya. Syukurlah.
Namun napasnya tertahan ketika melihat seseorang terbaring di sebelahnya.
Naya menoleh cepat. Lelaki. d**a setengah telanjang. Napas teratur. Wajah damai. Astaga.
Leo.
Naya menahan napas. Ia mengenakan kaos longgar milik Leo. Rambutnya kusut. Kepalanya pening. Ia merasa seperti menonton ulang film yang tak ingin di-replay. Tapi sayangnya, ini nyata.
Kilasan semalam menyerbu: wine, ciuman, pelukan, tawa... air mata. Dan...
“Oh, gila...” desisnya, memukul pelan dahinya. “Apa yang kulakukan?”
Leo menggeliat pelan, membuka mata. Senyum mengembang.
“Pagi, Sayang.”
Naya melotot. “Ngapain kamu di sini?”
Leo berguling santai. “Kita udah sepakat tadi malam.”
"Soal apa?” Naya duduk tegak, alarm batinnya menyala.
“Kita balikan.”
Naya membeku. Lalu buru-buru bangkit dari kasur.
“Pakai bajumu. Kita perlu bicara,” ucapnya tajam.
Beberapa menit kemudian, mereka duduk di lantai, masing-masing memegang cangkir cappuccino buatan Naya.
Leo sudah berpakaian lengkap. Tapi suasana tetap canggung. Bagi Naya, ini seperti sesi konseling untuk dua orang dewasa yang terbangun dalam kekacauan.
"Leo... semalam kita...”
Naya menggigit bibir. Kata-kata tersangkut di tenggorokan.
“Aku puas, kok.”
Naya menatapnya, syok. “Apa?”
“Aku puas soal semalam. Jadi nggak usah kesal. Kamu malah janji akan tanggung jawab. Makanya aku ikut ke sini.”
Naya tercekat. Apa yang barusan dia dengar?
“Kamu bilang apa?” bisiknya tak percaya.
“Kita sepakat balikan dan langsung nikah. Hm, meski kita mencuri start dengan unboxing duluan, sih,” ucap Leo santai, pipinya merona. “Bahkan, kita sudah ikat janji pakai kelingking.”
Naya menatapnya. Apakah Leo sedang bercanda? Tapi tatapannya serius.
"Aku nggak sabar menikahimu. Jangan kabur, ya.”
“Hah?”
Naya meneguk kopinya cepat. Sakit kepala datang lagi. Tapi sekarang ditambah sesak di d**a.
“Jangan meratap gitu dong,” protes Leo. “Kamu kayak nyesel.”
"Leo, ini semua cepat banget. Aku bahkan belum—”
“Kamu yang ngajak aku ke sini, lho,” potong Leo lembut. “Aku cuma ngikutin.”
Naya menggigit bibirnya. Sayangnya... dia ingat bagian itu. Dan Leo benar.
"Laper nggak? Ayo cari makan. Aku nggak biasa ngopi doang.”
Naya ingin bilang ‘tidak’, tapi perutnya bicara lebih dulu. Suaranya nyaring. Leo tertawa puas.
"Ayo cari makan, Sayang,” ajaknya riang.
Naya mendengus pelan, tapi akhirnya ikut juga.
---
Mobil Leo mewah, berwarna merah, dengan jok kulit yang nyaman tapi membuat Naya merasa asing. Tangannya kaku di pangkuan. Otaknya masih mencoba memahami apa yang terjadi dalam 24 jam terakhir.
“Nay,” panggil Leo sambil nyetir.
“Hm?”
“Kamu mikirin apa?”
"Bukan apa-apa.”
"Kamu nggak langsung mual, kan?”
"Hah?”
Pertanyaan macam apa itu?
"Akan luar biasa kalau langsung garis dua,” katanya sambil nyengir. “Meski aku nggak nolak kalau langsung dapat sepaket. Istri dan anak.”
Naya nyaris muntah. Dalam semalam? Setelah putus dari orang yang gak belain dia? Sekarang tiba-tiba sudah dibayangkan jadi ibu anak-anak Leo?
"Jangan aneh-aneh, deh!” bentaknya panik. “Baru sekali juga!”
Leo tergelak. “Namanya juga harapan. Satu malam yang mengubah segalanya.”
Naya memalingkan wajah. Wajahnya panas. Tapi bukan karena cinta.
Dia diam sepanjang perjalanan. Ketika Leo menepi di depan warung bubur, Naya hanya mengangguk. Yang dia butuh sekarang cuma: makan, pulang, tidur, lupakan semuanya.
"Enak nggak?” tanya Leo dengan ekspresi penuh harap.
"Enak, kok.”
“Syukur, deh. Dulu kamu nggak suka kalau diajak makan bubur soalnya.”
Naya mengernyit. Dia bahkan lupa soal itu.
"Aku masih ingat semuanya, Na.” Mata Leo jujur. “Dari semua orang... cuma kamu yang ngerti aku.”
Ada getar samar di hati Naya. Tapi dia tahan. Dia tidak boleh tenggelam.
Setelah makan, Naya mengira mereka akan kembali ke kos. Tapi mobil Leo justru berbelok. Jalanan berubah. Rumah-rumah besar muncul di sisi kiri. Pilar putih. Pagar mewah. Satpam memberi salam.
“Ngapain ke sini?” tanya Naya pelan.
“Mampir bentar. Kamu mau tanggung jawab, kan?” Leo tersenyum penuh arti.
Naya ingin kabur. Tapi kakinya membeku.
Di teras, berdiri seorang wanita dengan wajah tegas dan gaya elegan.
Mama Leo.
"Selamat pagi, Tante,” sapa Naya pelan.
Tatapan mama Leo tajam. Tidak ada senyum.
"Singkirkan perusak pemandangan itu,” ucapnya dingin sambil menatap Leo.
“Ma, ini Naya. Mama udah tahu dia, kan?” sahut Leo santai.
Naya ingin menunduk seperti prajurit kalah perang.
“Ngapain kamu bawa dia ke sini?”
“Ma, Naya mau ngomong sama Mama.”
"Ngomong apa? Dia aja ke sini belum mandi!” sergah mama Leo.
Sial. Bener juga. Leo gak kasih waktu bersiap. Rambut lepek. Parfum Leo di bajunya. Dosa tak terampuni bagi ibu-ibu.
"Aku lupa bilang kita mau ke sini bareng,” jawab Leo santai.
"Oh? Jadi kamu bikin alasan biar dia ke sini tanpa mandi?” sindir mama Leo ketus.
Naya makin malu. Sekarang dia bahkan bertanya-tanya: ketiak gue bau nggak, ya?
"Maaf ya, Ma. Kami pergi dulu,” ucap Leo akhirnya, lalu menggandeng tangan Naya.
"LEO! MAMA NGGAK SETUJU KAMU SAMA DIA!!!”
Leo menoleh, santai. “Nggak apa-apa, Ma. Leo udah stempel Naya. Tinggal siapin mahar. Karena Mama udah kenal, nggak perlu background check lagi, ya!”
Naya tertegun. Mama Leo syok. Dunia rasanya jungkir balik.
"Leo,” bisik Naya, “kamu nggak takut durhaka?”
"Aku Virgo, Na. Aku nggak datang kalau belum siap kalah. Lagian, ibu mana yang bisa menang dari anaknya?”
"Banyak. Di sinetron dan kenyataan.”
Leo tergelak, mencubit pipinya. “Aku maunya kamu. Jadi aku nggak butuh persetujuan siapa pun.”
Naya menatapnya lama. Hatinya berkecamuk. Tapi satu hal yang ia tahu pasti:
Barusan... Leo memang tampan, tapi cara dia berdiri untuknya, membuatnya seratus kali lebih tampan.