Malam itu, makan malam di rumah Leo terasa lebih sunyi dari biasanya.
Suara sendok beradu dengan piring terdengar jelas, bahkan detik jarum jam pun ikut bersaing jadi latar.
Leo duduk di meja makan, menyeruput teh yang sudah dingin.
Mamanya di seberang, tangannya sibuk merapikan piring—tapi terlalu pelan. Seolah sedang menunggu sesuatu lolos dari mulut anaknya.
Leo tahu, itu bukan gerakan orang yang fokus makan. Itu gerakan orang yang sedang menahan komentar.
Sebagai Virgo, Leo paham, memancing Cancer bicara kadang seperti mengajak macan betina ngopi sore. Terlalu berisiko.
Akhirnya, mamanya bicara duluan.
“Tumben pulang cepat. Nggak drama di pinggir jalan? Kemarin hampir tengah malam, kamu baru nyampe rumah.”
Leo menahan senyum.
"Mama kangen ya? Leo buka pagar sendiri, kok. Mama belum tidur waktu itu?”
Mamanya tak menjawab. Tapi rautnya jelas, sangat kesal.
"Mau dibawain martabak atau tahu bulat minggu depan? Biar bisa ngemil sambil marah.”
"Nggak usah. Bikin gendut,” sahut mamanya ketus.
Leo hampir tertawa, tapi menahan diri.
Dia memutar gelas tehnya pelan.
"Mama masih nggak bisa ngasih restu sama pernikahan Leo?”
“Belum nikah, ralat ucapanmu,” potong mamanya cepat.
Leo menyandarkan punggung ke kursi.
“Kalau Mama mau dengar jujur, aku tetap akan menikahinya. Dengan atau tanpa restu Mama.”
"Kamu rela durhaka demi dia?”
“Bukan durhaka. Justru Leo kasih tahu dari awal, bukan nikah diam-diam. Itu bukti masih menghormati Mama.”
"Mama nggak setuju.”
"Leo udah mutusin.”
Suasana menegang. Meja makan sepi, tapi udara terasa sempit.
"Mama nggak akan datang.”
"Kalau Mama nggak datang saat diundang, itu bukan gaya Mama. Biasanya Mama selalu jadi orang pertama yang hadir, bukan terakhir yang ditanya.”
Mamanya melengos.
"Mama nggak suka dia.”
“Kenapa?”
"Kamu lupa? Mama nggak pernah suka dia dari dulu. Dan kamu juga setuju saat itu. Kalian putus, kan?”
“Karena waktu itu aku belum cukup berani. Masih takut ngebuat Mama kecewa.”
"Apa maksudmu?”
"Maksudku... sekarang aku udah cukup dewasa buat pilih sendiri.”
Mamanya mengangkat bahu.
"Dia bukan tipe keluarga kita.”
“Justru karena itu. Leo butuh partner, bukan salinan.”
“Kalian pernah putus. Itu bukan sinyal bagus.”
“Karena Mama, Ma. Sekarang Leo nggak mau mengulang hal yang sama.”
“Dia punya masa lalu.”
“Semua orang punya, Ma. Tapi yang Leo lihat... dia belajar dari itu.”
"Dia bawa sial.”
“Naya justru pembawa berkah. Seperti namanya—menyegarkan.”
“Memangnya dia buah?”
Leo tersenyum tipis.
“Ya, buah dari semua proses yang bikin Leo lebih dewasa.”
"Orang lain nggak lihat itu.”
“Bodoh amat. Yang nikah kan Leo. Yang hidup bareng dia, Leo. Yang tidur sama dia juga Leo yang...”
“Kalian udah?!”
Leo mengangkat cangkir.
"Manis, tehnya.”
Mama Leo menepuk pundaknya. Tegang.
“Mama kayaknya darah tinggi.”
Leo menoleh santai.
"Selamat istirahat, Ma.”
“Biasanya kamu selalu sempurna,” sindirnya, datar.
“Naya sempurna buat Leo.”
"Itu logika atau impulsif?”
"Itu... selera.”
Mamanya terdiam.
Tangannya melipat serbet. Rapi. Seperti pikirannya yang sedang berusaha diluruskan.
"Jangan menangis kalau nanti sadar kamu salah milih.”
Leo menghela napas.
“Sekarang, Leo lebih takut kehilangan Naya.”
Ucapan itu menggantung di udara. Sunyi, tapi dalam.
Seperti sesuatu telah berubah.
---
Leo belum beranjak. Cangkirnya kosong, tapi pikirannya masih penuh.
Langkah sepatu terdengar dari ruang tamu.
Livia muncul lima detik kemudian.
Dengan blouse kerja, celana hitam, rambut dicepol asal, dan aura “aku sudah menang sidang hari ini, jangan cari gara-gara”.
Adik perempuan Leo, 22 tahun, pengacara muda yang terlalu cerdas untuk ukuran manusia normal.
Dia duduk santai di seberang Leo, mengambil sisa biskuit dari toples.
"Baru sepuluh menit di rumah, tapi sudah terasa aroma persidangan. Kalian ngomongin siapa?”
“Naya.”
"Mantan kakak yang sembilan tahun gagal kamu lupain?” tanyanya santai.
Leo hanya mengangguk, letih.
“Mama belum bisa terima dia."
Livia mengangkat alis.
"Langsung nikah?”
“Langsung.”
“Aku denger sedikit tadi. Maksudnya bukan nguping, tapi kupingku punya radar buat suara tinggi.”
Leo menghela napas.
"Mama bilang Naya bukan tipe keluarga kita.”
Livia menatap kakaknya lama.
“Karena dia bukan kamu.”
Leo diam. Kalimat itu terlalu pas.
“Kamu anak emas. Segalanya nyaris sempurna. Mama pikir kamu bakal nikah sama cewek kayak karakter brosur koperasi, putih, tenang, lulusan S2, dan bisa bikin nastar buat arisan RT.”
Leo tertawa pelan.
“Kejam banget kamu.”
"Realistis. Ini bukan soal Naya, tapi soal ekspektasi yang belum Mama urai.”
Leo menunduk.
“Tapi Naya udah lebih dari cukup buatku.”
Livia tersenyum kecil.
“Aku tahu. Kamu nggak perlu meyakinkanku.”
“Masalahnya cuma satu. Kamu harus siap kalau Mama nggak berubah. Bahkan mungkin... nggak pernah berubah.”
Leo terdiam.
Lalu, pelan-pelan, berkata.
“Kalau harus milih antara jadi anak baik... atau jadi laki-laki yang berani, aku rasa sekarang aku pilih yang kedua.”
Livia menatap kakaknya, lalu mengangkat gelas airnya.
“Selamat datang di sisi gelap keluarga,” katanya ringan.
“Di sini kita nggak selalu nurut, tapi kita tahu siapa yang layak diperjuangkan.”
Leo tersenyum. Pahit, tapi penuh tekad.
"Kamu gimana?”
“Sejak dulu, aku selalu satu selera sama kamu.”
Leo tertawa.
“Thanks, Capricorn.”
“Jangan bawa-bawa zodiak. Jijik.”
Untuk pertama kalinya malam itu, ruang makan terasa sedikit lebih hangat. Leo bersyukur karena adiknya memberinya dukungan. Dia tidak sendirian.