Malam itu, Yogyakarta terasa lebih dingin dari biasanya. Entah karena angin malam atau karena jantung Naya berdetak kencang sejak siang tadi. Setelah “ujian mental” di ruang tamu Anita kemarin, kini giliran babak makan malam. Leo menjemput Naya dengan senyum sok santai, padahal tangannya sendiri ikut dingin. “Kamu siap?” tanya Leo sambil membuka pintu mobilnya. “Siap nggak siap ya harus siap, Bos. Kalau aku pingsan di meja makan, tolong jangan bilang itu taktik kabur,” jawab Naya dengan mata setengah melotot. Leo terkekeh, menggenggam tangan Naya. “Tenang. Ada Livia yang akan jadi partner-in-crime kamu.” “Partner-in-crime? Jangan-jangan ini makan malam bakal lebih tegang daripada wawancara kerja,” gumam Naya sambil menghela napas panjang. "Btw, kamu cantik banget malam ini." "Sebel

