Bab 6 Sudah dihina, masih mau?

980 Words
Leo mengantar Naya sampai ke gerbang kos. Kali ini, dia tidak mampir. Katanya, masih ada urusan. Naya mengangguk, walau sebenarnya ingin bilang, “temenin sebentar aja dulu.” Naya gengsi, jadi hanya mengangguk—lalu menerima kecupan singkat di kening. Hangat, tapi cepat. Seperti Leo ingin bilang “aku serius”, tapi juga “aku percaya kamu bisa sendiri malam ini”. Begitu mobilnya menjauh, suara mesinnya memudar, dan lampu belakangnya menghilang di tikungan, Naya masih berdiri mematung. Tangannya memegang tas, tapi dadanya jauh lebih berat dari isinya. Langkahnya pelan menuju kamar. Langkah orang yang sedang bawa terlalu banyak pikiran. Di kamar, Naya menjatuhkan diri ke atas kasur. Baju belum diganti. Makeup udah luntur. Pertanyaan di kepalanya justru makin tebal: "Aku cukup nggak sih... buat jadi bagian dari hidup orang?" Dia memang bilang nggak takut. Rasa itu datang tiba-tiba, kayak jalangkung. Tidak diundang, langsung nyelonong masuk. Bukan berarti Naya mau kabur. Dia udah janji nggak lari lagi. Dia cuma sedang overthinking. "Mamanya nggak suka aku," bisiknya sendiri. Tiba-tiba muncul ide brilian: nanya ke Google. Dia buka ponsel, lalu mengetik: “Kenapa calon mertua bisa menolak calon menantu?” Hasilnya: Latar belakang keluarga Status sosial Pendidikan Masa lalu yang tidak jelas Kurang feminin Tidak bisa masak Naya menatap layar. Matanya nyalang, tapi senyumnya pahit. “Oke. Jadi aku bingo.” Masih belum puas menyiksa diri sendiri, dia mengetik lagi: “Tips menghadapi calon mertua yang sinis.” Jawaban Google: Sabar. Jangan baper. Tunjukkan itikad baik. “Kalau dia ngomongnya langsung menancap ke trauma masa lalu, boleh baper gak?” gumam Naya, setengah curhat, setengah sarkas. Karena yang masih bikin jantungnya berat sampai sekarang adalah kalimat itu: "Kamu pikir cinta anak saya cukup buat nutupin... masa lalu kamu?” Kalimat itu mirip. Bukan kata-katanya. Tapi nadanya. Dulu, Duta juga pernah bilang begitu. Bedanya: lewat teks. Panjang. Formal. Penuh basa-basi. Isinya: “Keluargaku agak konservatif.” “Kalau mau lanjut harus ada background check.” Lalu ditutup dengan: “Mungkin kamu terlalu berani buat hidup yang keluargaku mau.” Naya belum sempat kenal siapa-siapa. Belum sempat bilang “halo” ke ibunya Duta. Tapi dia... sudah dinyatakan tidak layak. Sekarang? Rasa itu datang lagi. Tapi lebih terang. Lebih telanjang. Disampaikan langsung. Dengan mata yang menilai. Ponsel bergetar. Leo (23.45): "Udah di kamar?” “Jangan mikirin Mama ya. Dia emang kayak begitu. Biasa, Cancer. Keras di luar, lembek di dalam.” Naya tepuk jidat. "Cancer nggak pernah cocok sama Sagittarius," katanya pesimis. Belum sempat ngetik balasan, layar ponselnya menyala. Leo menelepon. "Ya?" suara Naya pelan. Lelah. "Maaf ganggu. Tapi aku gelisah." "Kenapa?" "Kamu nggak bales chat. Biasanya paling nggak kirim stiker nangis." Naya mendengus kecil. Dia membaringkan tubuh ke kasur, memeluk bantal. Ponsel diselip di antara pipi dan telinga. "Aku takut.” Itu kalimat yang pelan, tapi sangat jujur. Hening beberapa detik. Leo bicara, suaranya rendah. “Sama, tapi kalau kamu lari, ayo lari bareng.” Naya menahan napas. “Ngapain lari bareng?” “Biar aku selalu sama kamu.” “Halah, sinetron banget.” “Ya biar sinetron, asal kamu gak diganti aktor di tengah episode.” Naya mengulum tawa. Senyum tipis muncul di bibirnya. Hening sebentar, lalu ia berkata: “Dulu aku gagal bahkan sebelum sempat memperkenalkan diri. Sekarang pun, mungkin hasilnya sama. Tapi bedanya... kamu terus menggandeng tanganku.” Leo diam. Mungkin menahan napasnya sendiri. “Aku bukan pengecut, Na.” "Aku tahu. Makasih ya." "Jadi jangan berkecil hati. Aku bakal selalu di samping kamu." "So sweet ya?" "Udah bikin kamu jatuh cinta nggak?" "Iya. Aku bahkan hampir nangis." Leo tergelak pelan. "Jangan nangis sendirian ya." "Susah. Aku galak." "Aku tahu. Tapi aku tetap pengen bahagia bareng kamu." Naya menutup mata. Rasanya, dia bisa yakin. Yakin kalau Leo... tidak akan seperti Duta. "Aku akan berusaha jadi istri yang baik." "Aku percaya." --- Setelah telepon ditutup, Naya bangkit dari kasur dan membuka kulkas. Isinya cuma air putih, saus sambal, dan setengah potong nugget yang entah sejak kapan di situ. “Aku harus belajar masak. Minimal nggak bikin calon mertua keracunan.” Dia kembali duduk dan membuka marketplace. Ketik: “Kompor satu tungku.” “Rice cooker mini.” “Bumbu dapur pemula.” Scroll. Klik. Scroll. Ponselnya bergetar lagi. Leo (00.21): "Besok kita ketemu lagi ya. Tapi jangan takut, aku nggak bawa Mama.” Leo (00.22): “Paling banter aku bawa proposal cicilan perabotan rumah.” Naya tertawa. Akhirnya. Ia membalas: "Besok kita makan tahu bulat. Biar nggak terlalu banyak tekanan.” Leo: “Deal. Tahu bulat 5 biji dan masa depan bersama.” Naya menggigit bibir. Tawa masih menggantung. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, masa depan terasa tidak menakutkan. Naya memeluk bantal, lalu rebahan pelan sambil menatap langit-langit. “Gila, Nay,” bisiknya ke diri sendiri, “kamu udah sejauh ini. Dulu disilent treatment mantan, nangis tiga hari, sekarang dimaki calon mertua masih bisa belanja rice cooker.” Dia tersenyum kecil. Tangannya meraih ponsel lagi. Kali ini, bukan buat browsing. Tapi buat buka foto. Foto Leo. Yang senyumnya miring, matanya sipit kalau ketawa. Naya menatapnya lama. "Ganteng banget calon suami." Dia terkikik pelan. Ia teringat sesuatu, foto yang terkunci di google foto. Dia ke sana, ke folder dengan judul "Kenangan". Ada foto Duta, makanan dan... mereka. Naya terdiam sebentar lalu tersenyum. "Makasih ya, selamat tinggal, Duta." Naya menghapus folder itu. Kosong. Naya kembali ke galeri dan melihat foto Leo sekali lagi. "Kalau suatu hari aku ragu lagi... tolong ingetin ya," bisiknya pada layar. "Kalau kita pernah sampai di titik ini bukan karena sempurna. Tapi karena sama-sama mau belajar." Lalu ia menekan tombol kunci layar. Untuk pertama kalinya setelah hari yang berat, Naya tertidur tanpa menangis. Sagitarius November itu, mungkin, kali ini, bisa bahagia. Meski semesta sering kali melempar ujian seolah ingin tahu betapa kuat mental Naya kali ini. Karena Naya belum tahu, kalau tahu bulat besok akan lebih panas dari yang dia kira( bukan karena digoreng dadakan).
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD