Bab 10

1751 Words
Sebuah mobil terlihat memasuki pekarangan sebuah kediaman yang berada di salah satu kompleks perumahan rumah-rumah elit yang dihuni beberapa konglomerat ternama. Mobil mewah berwarna hitam itu berhenti tepat di depan sebuah rumah besar berlantai empat bergaya modern dengan warna cat kuning gading dan putih yang memancarkan kemewahannya. Pintu mobil bagian kemudi tiba-tiba dibuka dari belakang dan muncul Rafael Erwani yang keluar dari dalam mobil tersebut. Ia kemudian melirik ke arah salah satu satpam yang berlari mendekatinya untuk mengambil kunci mobil yang ia serahkan guna memarkirkan mobilnya di garasi. Tanpa menunggu lama Rafael langsung melangkah menaiki tangga menuju pintu masuk di rumah tersebut. “Selamat Malam Tuan Muda,” sapa seorang pelayan wanita yang nampak sudah cukup berusia. Rafael tersenyum lembut pada pelayan wanita tersebut. “Malam juga Bi Sum,” ujar Rafael ikut menyapa wanita paru baya itu. Saat ini Rafael tengah berada di rumah kedua orangtuanya karena Mamanya yang meminta dirinya untuk menginap di sana malam ini. Sejujurnya ia sudah tidak tinggal bersama orangtuanya dan memilih membeli apartemen yang dekat dengan rumah sakit tempatnya bekerja agar tidak membuang-buang waktu di perjalanan. Hanya saja sesekali ia akan datang mengunjungi orangtuanya dan menginap seperti saat ini. “Papa dan Mama dimana Bi?” tanya Rafael sambil berjalan memasuki rumah menuju meja makan. “Tuan saat ini berada di ruang kerjanya sedangkan Nyonya tengah menelpon Non Sita di taman belakang. Saya diminta oleh Nyonya untuk menunggu anda pulang dan menyiapkan makan malam untuk anda,” jelas Bi Sum. Rafael mengangguk paham kemudian segera meraih kursi uang ada di meja makan dan duduk di sana. “Berarti Papa dan Mama udah makan malam duluan?” Tanya Rafael. Bi Sum memberikan anggukan sambil menyendokkan nasi ke piring yang ada di hadapan Rafael. “Udah Bi, biar saya sendiri aja,” ujar Rafael ketika Bi Sum akan menyendokkan lauk ke piringnya. Mengikuti perkataan Rafael, wanita paru baya itu segera bergerak mundur menjauhi meja makan dan membiarkan Tuan mudanya untuk menikmati makan malamnya dengan tenang. “Udah pulang sayang.” Ujar seorang wanita paru baya dengan wajah lembut dan cantik yang berjalan menuju area ruang makan. Rafael yang baru saja akan menyendukkan makanan ke dalam mulutnya segera menghentikan gerakannya dan melihat ke arah sumber suara. Terlihat Siska hanum, desiner ternama di Jakarta yang juga adalah wanita yang melahirkannya terlihat mendekati dirinya dan menarik sebuah kursi di hadapan Rafael lalu duduk di sana. Setelah Mamanya sudah duduk di kursi yang ada di hadapannya itu, Rafael akhirnya mulai fokus menyantap makanan yang ada di hadapannya. “Kok kamu diem aja sih,” ujar Siska menatap kesal putranya. “Hampir seminggu lebih nggak pulang ke rumah, pas lihat Mamanya malah fokus makan,” gerutu siska. “Aku laper Ma. Hari ini pasien di RS cukup banyak, aku bahkan ngelakuin tiga operasi hari ini,” ujar Rafael. Siska memandang wajah cemberut menatap putranya itu. “Makanya, disuruh ngelanjutin bisnis keluarga malah milih jadi dokter, sekarang baru tahu kan capeknya,” ujar Siska. Rafael mengangkat wajahnya menatap mamanya dengan tatapan bingung. “Nggak salah Mama ngomong gini, emang Mama kira jadi Direktur maskapai itu nggak sibuk? Papa aja bahkan bisa lebih sibuk dari aku Ma,” jawab Rafael dengan nada santai. “Selalu aja kamu kaya gitu tiap Mama bahas soal pilihan karier kamu.” “Ya habis, ngapain di bahas terus sih? Kan bisnis keluarga kita udah diterusin sama Kak Sita, jadi harusnya pilihan aku untuk jadi dokter nggak perlu Mama dan Papa permasalahin lagi,” jelas Rafael yang mulai jengah dengan Mamanya yang selalu mengungkit keputusan dirinya yang memilih menjadi dokter dibandingkan belajar bisnis. Siska akhirnya hanya bisa menghela nafas pasrah mendengar perkataan putranya. “Iya iya, Mama yang salah,” ucapnya mengalah. “Ngomong-ngomong, aku disuruh pulang hari ini buat apa? Ada yang mau Mama omongin sama aku?” Tanya Rafael mengingat kembali alasan dirinya pulang ke rumah orangtuanya karena Mamanya yang memintanya untuk menginap di rumah hari ini. “Sebenarnya bukan Mama sih yang mau ngomong sama kamu, tapi Papa kamu,” jawab Siska. Perkataan Mamanya membuat Rafael langsung menghentikan kegiatan makannya. Ia meletakkan senduk lalu meraih gelas dan meminum sampai habis air yang ada di dalam gelas itu. Ia kemudian menatap lekat pada Mamanya. “Jangan bilang Papa mau bahas masalah itu lagi?” Tanya Rafael yang ekspresi wajahnya mulai nampak tidak senang. “Memangnya kenapa kalau Papa emang mau bahas hal itu.” Suara berat yang menyahut perkataan Rafael membuat pasangan Ibu dan anak itu segera mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Beberapa meter dari meja makan terlihat seorang pria paru baya yang masih nampak kuat dan bugar berjalan ke arah meja makan. Walau kondisi fisiknya masih terlihat sangat sehat, beberapa helain rambut putih di kepalanya tidak bisa menutupi usianya yang sudah cukup berumur. Rafael hanya bisa menghembus nafas berat sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan menatap datar pada Papanya yang saat ini sudah duduk di samping Mamanya dan juga tengah menatap dirinya. “Jawabanku masih sama Pa,” ujar Rafael. Gabriel Erwani, Direktur Maskapai Wains Air yang adalah Papa dari Rafael Erwani nampak melepaskan kacamata yang bertengger di wajahnya dan kemudian kembali menatap serius pada putranya. “Rafael, dari kamu kecil sampai kamu sebesar ini apa pernah Papa dan Mama kamu ini menuntut sesuatu dari kamu? Bukankah selama ini Papa selalu mendukung keputusan kamu tentang bagaimana menjalani kehidupan kamu. Bahkan Kakak kamu Sita harus mengalah dan melupakan mimpinya agar bisa meneruskan bisnis keluarga karena kamu yang memilih untuk menjadi dokter,” ujar Gabriel. “Papa hanya sekali ini saja meminta sesuatu dari kamu, kenapa begitu sulit untuk kamu mengabulkannya?” lanjutnya. Rafael menghela nafas berat mendengar perkataan Papanya yang seakan menggambarkan dirinya sebagai anak durhaka dan saudara yang buruk untuk kakak pertamanya yang saat ini sedang berada di luar negeri karena urusan bisnis. “Papa bisa minta apa aja sama aku. Tapi untuk menikah, itu mustahil Pa,” jawab Rafael. “Apanya yang mustahil sih sayang. Usia kamu udah dua puluh sembilan tahun loh. Udah sangat pas untuk memiliki keluarga,” imbuh Siska ikut menimpali pembicaraan antara suami dan anaknya itu. Rafael memijat pelan kepalanya yang terasa begitu pusing mendengar permintaan orangtuanya ini. Seminggu yang lalu saat Orangtuanya membicarakan hal ini, ia berusaha menghindar dan berpikir mereka akan melupakannya nanti. Tidak disangka hari ini mereka kembali membicarakan permintaan tersebut. “Kamu mungkin masih muda Rafael, tapi Papa dan Mama sudah tidak muda lagi. Salahkan kami yang menikah terlambat dan akhirnya di usia yang sudah cukup tua ini malah belum diberikan cucu sama sekali,” ujar Gabriel yang mulai memasang wajah lesu. Rafael tentu saja tahu bahwa Papanya hanya sedang berakting saat ini agar dirinya luluh. “Dua puluh sembilan tahun hidup, tapi kamu sama sekali nggak pernah bawa pacar buat dikenalin sama Mama dan Papa, hidup kamu cuma fokus belajar dan karier aja. Apa jangan-jangan kamu nggak normal lagi?” Tanya Siska menatap curiga pada putranya itu. Rafael tentu saja langsung melotot karena terkejut mendengar tuduhan Mamanya. “Nggak usah ngawur deh Ma,” ujarnya dengan nada kesal. “Udah udah, nggak usah mikirin soal pacar. Kan udah Papa bilang, walaupun Rafael nggak punya pacar, dia bisa nikah sama Ketrin adiknya Bima. Mereka udah kenal dari kecil dan kita juga udah kenal baik sama keluarganya, selain itu udah jadi rahasia umum kalau Ketrin itu suka sama Rafael kan. Jadi nggak perlu capek-capek buat kenalan sama orang baru.” “Tapi aku nggak punya perasaan apapun ke Ketrin Pa. Aku Cuma menganggap dia sebagai seorang adik.” “Perasaan kan bisa tumbuh karena terbiasa sayang. Mama yakin setelah kalian berumah tangga, pelan-pelan rasa cinta akan muncul kok,” ujar Siska yang setuju dengan suaminya. Rafael benar-benar bingung dan tidak tahu harus mengatakan apalagi untuk menghentikan niat orangtuanya yang memaksa dirinya untuk menikah. “Pa, ak…..” “Stop rafael,” potong Gabriel. “Papa sama sekali nggak mau denger alasan apapun lagi. Pokoknya kamu harus menikah tahun depan dengan Ketrin tanpa alasan apapun. Kalau kamu bersikeras nggak mau, lebih baik kamu melepaskan gelar dokter kamu dan melanjutkan bisnis keluarga kita menggantikan Sita. Biar dia saja yang menikah dan memberikan cucu untuk Papa dan Mama.” Rafael rasanya benar-benar ingin berteriak murka mendengar Papanya yang bersikeras menginginkan dirinya untuk menikah. Ditambah lagi ia harus menikah dengan Ketrin adik dari Bima sahabatnya, disaat ia bahkan tidak memiliki perasaan pada wanita itu. “Aku nggak bisa menikah dengan Ketrin Pa.” “Papa nggak menerima penolakan Rafael,” ujar Gabriel dengan nada tegas. “Aku nggak bisa menikah dengan Ketrin karena sebenarnya aku sudah punya pacar,” jawab Rafael dengan suara keras. Beberapa detik kemudian ia merutuki kebodohannya dalam hati karena refleks berbohong pada orangtuanya. Wajah Siska Hanum langsung sumringah mendengar perkataan putranya itu. “Kamu beneran udah punya pacar sayang?” tanya Siska yang nampak sangat senang dengan perkataan putranya itu. “Kamu nggak lagi berbohong biar Papa nggak maksa kamu buat nikah sama Ketrin kan?” Tanya Gabriel menatap curiga pada putranya, seakan belum yakin dengan perkataan Rafael barusan. Sudah kepalang basah Rafael akhirnya memberikan gelengan dengan ekspresi serius. “Aku sama sekali nggak bohong pa, sebenarnya aku emang udah punya pacar. Hanya saja hubungan kami masih baru, jadi aku belum berani mengenalkan dia ke Papa dan Mama,” ujar Rafael. Gabriel masih saja menatap curiga pada Rafael, seakan belum yakin dengan perkataan putranya ini. “Jadi siapa namanya?” Rafael terdiam karena tengah berpikir keras harus menyebutkan nama siapa saat ini. Saat itu tiba-tiba sebuah nama terlintas dalam pikirannya. “Namanya Gina Mawardi.” Siska tentu saja sangat terkejut mendengar nama yang tidak asing di telinganya itu. “Gina Mawardi? Apa maksud kamu Argina Mawardi anak perempuan dari Putri Rahmawati?” Tanya Siska memastikan. “Mama kenal sama wanita itu?” Tanya Gabriel menatap istrinya. Siska memberikan anggukan penuh semangat. “Mama cukup kenal sama Mama dri wanita itu. Putri Rahmawati salah satu langganan di butik Mama, akhir-akhir ini juga kami berteman baik loh. Dia sering cerita soal putrinya itu ke Mama, tapi Mama sih nggak pernah ketemu sama gadis itu,” jelas Siska. “Apa dia ini putri bungsu dari keluarga Mawardi yang Papa tahu?” Siska memberikan anggukan. “Iya Pa, Mawardi Corps adalah perusahaan keluarganya,” jelas Siska. Gabriel mengangguk paham mendengar penjelasan isterinya. “Baiklah kalau begitu. Beberapa minggu lagi kenalkan dia pada Papa dan Mama. Kamu harus buktikan kalau ucapan kamu itu bukan hanya bualan semata,” perintah Gabriel. Rafael hanya bisa mengangguk pasrah dan terus merutuki dirinya sendiri. Ia begitu ceroboh menciptakan masalah yang harus ia tanggung kedepannya nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD