Cinta yang Tersisa.

1018 Words
Malam jatuh dengan diam yang menyesakkan saat Hannan memutar kunci pintu apartemennya. Bunyi klik sederhana itu terdengar lebih keras daripada biasanya, menggema di lorong panjang yang sepi. Begitu pintu terbuka, udara dingin menyambutnya, bercampur dengan aroma lembut kayu tua dan debu yang sudah lama tidak terusik. Apartemen itu megah, luas, tetapi kosong. Kosong dalam arti sesungguhnya—tidak ada kehidupan di dalamnya selain bayangan masa lalu. Hannan berdiri sebentar di ambang pintu, menatap ruang tamu yang gelap, lalu masuk perlahan, seolah melangkah ke dalam sebuah makam kenangan. Setiap sudut menyimpan potongan cerita. Sofa panjang di mana Kesha dulu biasa duduk sambil menonton drama favoritnya, meja makan yang pernah penuh dengan tawa, bahkan vas bunga di sudut ruangan masih terisi bunga kering yang tak pernah ia buang. Semua itu seperti menertawakannya dengan sepi. Hannan menjatuhkan tubuh ke sofa, melepas jasnya begitu saja. Kepala terhempas ke sandaran, mata menatap kosong ke langit-langit. Napasnya panjang, berat. Sejak Kesha pergi, rumah ini kehilangan jiwa. Sama seperti dirinya. Entah berapa lama ia duduk begitu. Lelah menelannya, kesepian memagutnya. Kelopak matanya berat, tubuhnya lunglai. Dia terlelap—meski tidak benar-benar menginginkannya. Dalam mimpinya, Hannan mendapati dirinya berdiri di lorong apartemen yang sama, tapi berbeda. Lampu-lampu menyala redup, ada kehangatan samar yang terasa asing tapi sekaligus akrab. Di hadapannya, pintu kecil kamar bayi terbuka sedikit. Pintu itu, yang dalam kenyataan selalu terkunci rapat sejak Kesha meninggal. Hannan melangkah pelan, setiap detak jantung terdengar di telinganya. Ia mendorong pintu perlahan, dan seberkas cahaya kuning temaram mengalir keluar, menyinari wajahnya. Di dalam kamar, dia melihat sosok seorang perempuan. Rambut panjangnya jatuh ke bahu, gaun putihnya sederhana, tetapi bercahaya lembut. Perempuan itu membelakangi Hannan, jemarinya menyentuh dinding yang penuh stiker binatang kecil yang dulu mereka tempel bersama. “Kesha ….” Suara Hannan tercekat. Matanya basah seketika. Sosok itu berbalik. Wajah Kesha tenang, namun ada luka di balik ketenangan itu. Senyum tipisnya tidak membawa bahagia, melainkan getir. “Mengapa kamu meninggalkannya, Hannan?” suaranya lirih, namun menusuk hati. “Kamu berjanji padaku. Kamu bilang akan menjaganya ketika aku tidak bisa. Tapi kamu justru lari.” Tubuh Hannan bergetar. “Aku … aku tidak sanggup, Kesha. Setiap kali aku melihat bayi itu, aku merasa seperti kembali ke hari terakhir bersamamu. Dia—dia yang merenggutmu dariku.” Kesha menggeleng pelan. “Dia tidak bersalah. Dia adalah bagian dari kita. Satu-satunya cinta yang tersisa. Jika kamu menolak dia, berarti kamu menolak aku.” Air mata Hannan menetes tanpa bisa ditahan. “Aku takut … aku benar-benar takut kehilangan lagi. Aku tidak tahu harus bagaimana ….” Kesha mendekat, jemarinya nyaris menyentuh pipinya. “Yang membunuhku bukan bayi itu, Hannan. Tapi kesedihanmu. Ketakutanmu. Jika kamu terus begini, kamu juga akan kehilangan dia. Dan kali ini, tidak ada yang bisa mengembalikanmu.” Hannan meringkuk di kursi kecil di sudut kamar bayi itu—kursi yang dulu mereka beli bersama. Tangisnya pecah, wajahnya tenggelam dalam kedua tangannya. Ketika ia kembali menoleh, sosok Kesha sudah hilang. Yang tersisa hanyalah aroma samar sabun bayi, selimut kecil terlipat rapi, dan kesepian yang menyesakkan d**a. Hannan terlonjak bangun. Nafasnya terengah, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa itu hanyalah mimpi. Namun bagi hatinya, mimpi itu lebih nyata daripada apa pun. Ia menatap ke sekeliling ruang tamu. Sunyi. Gelap. Tapi di dalam dirinya, suara Kesha masih bergema. Dengan suara serak, ia akhirnya mengucap nama yang selama ini ia abaikan. “Maafkan Ayah, Lingga ….” Seketika, dadanya terasa sesak—tapi juga sedikit lega. Untuk pertama kalinya, ia berani menyebut putranya. *** Hari-hari berikutnya tidak serta-merta mengubah Hannan menjadi lelaki penuh kasih. Ia tetap dingin, tetap keras. Namun ada sesuatu yang perlahan mencair di dalam dirinya. Diam-diam, ia mulai datang ke rumah sakit. Tidak lewat pintu utama—ia tidak mau terlihat. Dia memilih lorong sepi, berdiri di balik kaca ruang perawatan bayi. Dari sana, ia menatap sosok mungil dalam inkubator: Lingga. Setiap kali menatap bayi itu, dadanya dihantam rasa bersalah sekaligus rindu. Ia tidak berani menyentuh, bahkan sekadar menyapa. Tapi ia meninggalkan tanda: bingkisan yang selalu datang bersama kehadirannya. Botol s**u impor, selimut berbulu halus, mainan musik yang berdenting lembut. Semua dibungkus rapi tanpa nama. Namun para perawat tahu. Hanya ada satu lelaki yang selalu berdiri diam di lorong itu. “Dari siapa ini, Sus?” tanya Andini suatu pagi, melihat perawat menyusun hadiah baru. Perawat tersenyum samar. “Dari ayahnya Lingga. Pak Hannan.” Andini tertegun. Hatinya seperti diremas pelan. Bayi yang selama ini ia susui, ia dekap, ternyata tidak sepenuhnya sendiri. Ada cinta yang bersembunyi, meski belum berani menampakkan wajahnya. Malam itu, setelah menyusui Lingga, Andini duduk termenung di ranjang. Tangannya mengusap perutnya sendiri yang kosong. Dahulu, di sana ada kehidupan yang ia tunggu, tapi takdir mengambilnya. Kini, bayi yang ia susui justru bukan darah dagingnya. Air matanya menetes. “Kalau aku pergi … siapa yang akan menjaganya?” bisiknya. Seorang perawat masuk, menanyakan apakah ia siap berkemas. Andini hanya diam, sebelum akhirnya bertanya, “Setelah saya pergi, siapa yang akan menyusui Lingga?” Perawat tertegun. “Kami akan mencari donor lain. Tapi … Lingga sangat peka. Entah kenapa, dia seperti sudah memilih Ibu sejak awal.” Kata-kata itu menusuk. Andini terdiam lama. Hatinya berat. Akhirnya ia meminta izin untuk sekali lagi melihat Lingga sebelum pergi. Andini melangkah ke ruang bayi. Di sana, Lingga tertidur pulas, wajah mungilnya damai. Ia menatap lama, lalu berbisik, “Nak … seandainya kamu bisa memilih, apa kamu ingin aku tinggal?” Air mata jatuh membasahi pipinya. Dan seolah menjawab, Lingga menggeliat pelan, jemari mungilnya bergerak seperti ingin menggenggam sesuatu. Andini tersenyum getir. Dalam dadanya, sebuah pertarungan baru lahir. Pergi atau bertahan? Melepaskan atau menggenggam? Di balik kaca lorong, Hannan berdiri diam. Dia menyaksikan Andini menunduk pada bayi itu dengan tatapan penuh kasih. Ada rasa asing yang menjalar di dadanya—cemburu, takut, sekaligus lega. Saat itu, tiga hati terikat dalam sunyi: seorang ayah yang menyesali, seorang bayi yang menunggu, dan seorang perempuan yang bimbang antara pergi atau bertahan. Malam ini berakhir bukan dengan jawaban, melainkan dengan pertanyaan besar yang menggantung di udara: apakah Hannan berani benar-benar datang mendekat, atau akan terus bersembunyi di balik kaca?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD