bc

Together

book_age16+
2.7K
FOLLOW
18.4K
READ
possessive
family
independent
inspirational
dare to love and hate
doctor
sweet
bxg
city
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Laki-laki tigapuluh dua tahun itu sedari tadi terus merutuk pelan. Memegang surat wasiat di tangan kanan dan membacanya puluhan kali.

'Tolong jaga keponakanmu'

Tiga kata di baris terakhir surat wasiat adik tirinya itu bak kemudi yang membelokkan alur hidupnya.

_Abraham Wijaya

'Jadi kamu bakal ngasuh Ayya bareng abang tirinya Syahna?

Kenapa kalian nggak sekalian nikah aja Nin, eh.. dia masih lajang kan?'

'Berhenti dengan hobi mengarang cerita sinetron begitu', balas wanita yang duduk bertopang dagu di depannya.

_Anindya Loraya

Ketika dua orang asing bekerjasama, menyingkirkan ego dan bergantung satu sama lain. Apa yang bisa dielak jika perasaan itu datang tanpa disadari.

_sailenndra

chap-preview
Free preview
Part 1
"Huaaa.....! Mamaaaa!!!" Oh sial! Abra menarik kasar bantal untuk menutup telinganya sambil mengumpat pelan. Setaunya flat disini sudah kedap suara, begitu pula flat-flat lain di penginapan ini. Tapi kenapa bisa suara anak itu menembus gendang telinganya. "Mamaaaaa....!" Kemana ibu anak itu sebenarnya. Tidak bisakah dia menyuruh anaknya diam dan tidak mengganggu tidur orang lain. Kepalanya terasa berat. Dia masih butuh tidur karna jetlag tadi malam. Wait, Tunggu, Kenapa dia bisa jetlag? Dengan mata masih terpejam Abra memaksa kembali ingatannya. Oh, benar. Dia jetlag sepulang dari Hongkong ke Indonesia setelah mengembara delapan tahun lamanya.  Kenapa dia akhirnya pulang ke Indonesia? Pertanyaan lain datang enggan membiarkannya tidur. Abra memaksa berpikir disela kantuknya yang teramat. Dia pulang karena .... "Nggak mauuuu! Mamaaaa!!!" Shit! Segera dia bangun dan berlari keluar kamar ketika teringat alasannya balik kampung. Dilangkahkan kakinya ke pintu kamar yang terbuka dimana asal suara tangisan itu terdengar. Kamar bernuansa pink itu identik dengan pernak-pernik yang girly. Dan disana, di tempat tidur dengan bed cover yang juga berwarna pink, the one and only alasannya pulang. Tengah menangis dengan keras dan menolak dibujuk Bik Nah-yang mengurus rumah ini. "Maamaa...! Huaaa......!" Abra berdiri dengan bodoh tanpa mendekat. Tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Seumur hidupnya dia tidak pernah berurusan dengan bayi. Oh baiklah, dia sudah tidak bayi lagi. Berapa umurnya? 4? 5? entahlah. Yang jelas kemungkinan gadis cilik itu akan berhenti menangis saat dia membujuknya adalah 0,01% mengingat mereka tidak kenal dan tidak pernah bertemu sebelumnya. "Ayya mau sama mama...!!!" Diusap wajahnya kasar ketika gadis cilik itu semakin keras menangis. "Non Ayya sama bibi dulu ya, yuk kita mandi" "Nggak mau! Huaaaa.... mama!!" "Hey kenapa sayang, kog nangis?", suara jernih terdengar berbarengan dengan aroma teh hijau segar tercium oleh Abra. Seorang wanita melewatinya dan langsung menggendong gadis cilik itu. "Mau sama mama, hiks hiks...", katanya sambil menyurukkan wajahnya pada leher wanita itu. "Iya, mandi dulu yuk sama tante" "Bi, tolong siapin sarapan ya, Ayya biar mandi sama saya", tambahnya. "Iya mbak", kata mbok Nah dan segera berlalu ke dapur. Wanita itu mengusap lembut punggung Ayya, membujuknya untuk mandi. Mengetahui ada yang memperhatikan, wanita itu segera berbalik dan menatap Abra dengan kening berkerut. "Anda siapa?", tanyanya. Kali ini kedua wanita berbeda usia itu tengah menatapnya dengan mata hitam jernih mereka yang sama. Abra mengamati keponakannya yang tengah menatapnya. Wajah mungil dengan hidung mungil,mata bulat hitam dan jernih, pipi putih, dan rambut panjang, anak itu adalah keponakannya, anak saudara tirinya, anak Syahna. Dia segera mengalihkan tatapannya ketika mendengar suara wanita yang mengulangi pertanyaannya. Wanita dengan rambut hitam sepunggung, dan mata sejernih air itu menatapnya-menunggu. "Abang tiri Syahna" Suaranya terdengar serak khas orang bangun tidur. Membuatnya kemudian berdehem pelan. Wanita itu tampak masih ingin bertanya, namun diurungkan, dan digantikan dengan anggukan kecil. "Kita lanjutkan nanti setelah Ayya mandi, dan... sepertinya anda juga perlu mandi" Oh shit! Abra segera mengumpat dalam hati ketika mengikuti arah pandang wanita itu ke tubuhnya. Dia hanya mengenakan celana hitam diatas lutut, selain itu tidak ada lagi. ... Diusapnya kasar rambut setengkuknya yang basah sehabis keramas. Beberapa bulan terakhir dirinya memang sengaja membuat rambutnya panjang setengkuk.  Pandangannya mengarah jauh ke langit pagi yang cerah. Berpikir sebentar, kemarin dia masih di negara lain. Menjalani kehidupannya seperti biasa. Nafasnya berhembus kasar. Tidak pernah terlintas sedikitpun untuk kembali ke negara ini. Dia bahkan mulai melupakan negara asalnya ini. Dan berniat mengubah kewarganegaraan Hongkong. Akhir tahun ini dia akan ke Swiss untuk proyek baru perusahaannya. Jabatan sebagai asisten proyek mengharuskannya siap terbang kemanapun tender dimenangkan. Hongkong, negara itu merupakan cerminan dirinya. Bebas. Penuh tantangan. Dan, enggan terkekang. Tapi hidup seperti itu ternyata tidak selamanya menjadi miliknya. Alur hidupnya ternyata berbelok ke arah yang tak pernah diduganya. Kembali ke masa lalu, bukan untuk terjerat, namun meneruskan simpul yang tak diselesaikannya dulu. Syahna, adik tirinya itu gambaran dari kata ceria, penuh semangat, dan berisik. Terlahir dari ayah yang sama. Sama-sama tidak punya ibu, entah kalau ibu anak itu. Sementara ibunya sendiri meninggal saat dia smp.  Anak itu selalu menganggapnya abang.  Menghiraukan Abra yang cuek dan tidak terlalu peduli dengan saudara tirinya itu. Tapi gadis itu selalu saja merecoki hidupnya. Yang menyebalkannya, permintaan Syahna tidak mampu ditolaknya. Dia ingat betul bagaimana anak itu menangis agar Abra menggantikan ayah yang tidak bisa hadir ke wisudanya.  Dan berbagai masalah lain yang ujung-ujungnya Abra lah yang mesti turun tangan. Karena Ayah mereka lebih sering diluar daripada di rumah. Syahna, gadis itu hanya berusaha mengajak Abra mengusir kesepian bersama. Yang ditolak mentah-mentah tanpa dipikir dua kali oleh Abra.  Lalu delapan tahun lalu setelah ayahnya meninggal, Abra memutuskan pergi ke Hongkong, merintis karirnya di perusahaan multinasional. Meninggalkan segala kehidupan lamanya. Meninggalkan Syahna sendirian disini. Delapan tahun dan tidak sekalipun kembali. Sampai kemudian seminggu lalu sebuah panggilan, dari seorang yang mengaku pengacara Syahna memberitahukan kabar yang sontak menghapuskan segala alur hidup yang ditulisnya kedepan.  Gadis berseragam putih abu-abu yang terakhir kali diingatnya itu kini tak akan lagi pernah ditemuinya. Syahna meninggal sebulan sebelum surat itu sampai di tangan Abra. Rasa sesak perlahan menyusup di rongga dadanya. Pada surat itu Syahna memintanya kembali dan menjaga anak semata wayangnya, keponakannya. Tertulis jelas pada surat terakhir saudara tirinya itu. Abra melemparkan handuknya ke kasur. Melangkah keluar tanpa merasa perlu menyisir rambutnya. Memikirkan nasibnya tidak akan mengembalikan kembali kehidupan lamanya. ... Nindya tengah membuatkan susu untuk Ayya ketika mendengar langkah kaki menuruni tangga. Dari ekor mata dia melihat om Ayya yang memilih duduk di depan keponakannya itu. Melihat Ayya menghentikan kunyahan sarapannya ketika om-nya itu mengamati, membuat Nindya menghampiri mereka. "Sudah selesai makannya?", tanyanya setelah duduk di samping Ayya. Nindya menyodorkan segelas susu ke Ayya,"diminum susunya sayang". Kedua orang dewasa disana saling diam mengamati Ayya yang tengah meminum susunya. "Ayya, udah kenalan belom sama om-nya?", mulai Nindya sambil mengusap sudut bibir anak itu yang belepotan susu. Ayya yang tengah menatapnya mengalihkan pandangan ke lelaki yang duduk di depannya, mengamatinya sebentar, kemudian kembali beralih menatap Nindya dan menggeleng pelan. "Ayya pernah lihat foto om sama mama, mama juga banyak cerita tentang om", gadis cilik itu mengambil jeda sebentar untuk bergantian menatap Abra dan Nindya sebelum kembali melanjutkan. "Kata mama om kerja jauh, nanti akan pulang dan bawa banyak oleh-oleh buat Ayya" "Apa om tahu dimana mama?" Keduanya tersentak dengan pertanyaan Abra. Nindya yang akan membuka suara mengurungkan niatnya karna lebih dulu didahului. "Mama Ayya lagi liburan" Nindya menatap Abra was-was. Memberi peringatan atas apa yang akan laki-laki itu katakan. "Sama seperti om liburannya?" Kali ini Abra mengangguk kikuk.  "Nanti kalo Ayya udah gede, bisa ikut liburan jauh" "Mulai sekarang Ayya tinggal sama om Abra dulu, oke?", suara Abra terdengar tidak yakin di telinganya sendiri.  Dia menatap cemas bola mata bulat itu. Memastikan kesediaan gadis cilik itu untuk menerimanya. "Sama tante Nindya juga?" Nindya? siapa? Kening Abra berkerut bingung, siapa Nindya?. Tapi melihat gadis cilik itu beralih menatap wanita yang duduk di sampingnya membuat Abra mengangguk pelan. "Iya, sama... tante Nindya juga," ujarnya kikuk. Abra tahu wanita di samping Ayya itu menatapnya sebentar. Ayya mengangguk kecil. "Apa nanti om bisa ngajarin Ayya berenang, Ayya pengin berenang kayak Aerial?" "Iya, nanti kita belajar berenang" "Belajar naik sepeda juga?" "Iya" "Beli es krim?" Abra kembali mengangguk. Menatap mata bulat hitam yang menatapnya tanpa berkedip. "Roti stroberi?" Abra kembali mengangguk. "Dua" Jari tengah dan jari telunjuk mungil anak itu mengacungkan dua jari. Abra baru saja akan menjawab saat suara lain terdengar lebih dulu. "Jangan makan manis-manis terlalu banyak, nanti gigi Ayya dimakan bakteri", kata Ayya sambil mengusap lembut rambut gadis cilik itu. "Ayya nggak mau giginya berlubang" "Ayya lanjutin mewarnanya kemarin dulu ya", kata Nindya. Anak itu kemudian berlari ke ruang tv yang diubah menjadi area bermain dan belajarnya. Karena barang-barang anak itu tidak boleh melewati ruang tv, begitu peraturan Syahna dulu. Dilakukan supaya mainan Ayya tidak berserakan di seisi rumah. Sepeninggal Ayya, Nindya membawa peralatan Ayya ke dapur dan mencucinya. Sedang Abra hanya diam dengan pikirannya sendiri. "Apa Ayya tidak pernah menanyakan papanya?" Gerakan mencuci Nindya berhenti sebentar ketika mendengar suara Abra. Laki-laki itu menuangkan air ke dalam gelas dan meneguknya sampai habis. "Apa Syahna tidak pernah cerita?", tanya Nindya balik. Mendengar nada datar wanita itu membuat Abra mengerutkan kening. "Syahna hanya mengirim email setahun sekali. Dia hanya cerita saat-saat menyenangkan, waktu dia menikah, hamil, melahirkan. Tidak pernah cerita masalahnya" "Kalau saya jadi Syahna juga akan melakukan hal yang sama. Buat apa repot-repot menceritakan kehidupannya kepada orang yang jelas-jelas tidak peduli padanya untuk sekedar menelpon menanyakan kabar. Apa telepon internasional semahal itu?" Tanpa sadar rahang Abra mengeras mendengar sindiran wanita itu. Dalam pikirannya menebak seberapa dekat saudara tirinya itu dengan wanita ini. "Lalu kenapa menitipkan anaknya padaku?" "Menitipkan? Apa anda pikir Ayya barang?!" Kali ini Nindya berbalik dan menatap Abra tajam. Laki-laki itu hanya menghembuskan nafasnya panjang. Tahu bahwa wanita ini sedang menyemburkan kekesalannya mungkin juga kekesalan Syahna yang tidak tersampaikan. "Kalau anda sudah memutuskan kembali, maka lakukanlah seperti seorang pria, jangan setengah-setengah dan melarikan diri di tengah jalan", tambah Nindya tajam. Abra menatapnya sama tajamnya. Bekerjasama dengan wanita ini untuk menjaga Ayya tidak akan menjadi mudah. Kemudian keduanya mengalihkan pandangan dan saling bungkam beberapa saat.  Kenapa wanita ini begitu berbeda saat di depan Ayya dan di depannya. Abra menekan kekesalannya, mencoba menjadi pihak yang berpikir lebih tenang. Kalau Abra membalas perkataan wanita itu sama sinisnya, hanya akan memperburuk keadaan. Karena jelas wanita itu tidak menunjukkan niatan berhubungan baik dengannya. "Jadi mereka hanya tinggal berdua?", tanyanya kemudian dengan nada yang dicoba tetap tenang.  "Ya", jawab Nindya pendek.  "Apa Ayya masih sering teringat mamanya? Menangis seperti tadi?" Pertanyaan lain kembali muncul dari bibirnya. Jujur begitu banyak pertanyaan yang ada di kepalanya. Dia bahkan tidak tahu harus bertanya yang mana dulu. Situasi ini begitu baru dalam kehidupannya. Dan wanita ini satu-satunya yang mungkin bisa membantunya, dalam menjaga Ayya. "Kadang, Ayya hanya tidak suka sendirian. Jadi sebisa mungkin jangan biarkan dia sendiri. Walau hanya sekedar menemaninya menonton kartun. Dan sepertinya Ayya tidak menganggap anda orang asing, mengingat Ayya beberapa kali sempat menanyakan anda" Abra menatap bingung dan sedikit terkejut dengan perkataan wanita itu. "Syahna sepertinya sengaja menceritakan anda pada Ayya, mungkin dia juga sudah merencanakan ini sejak lama. Jadi Ayya tidak akan asing pada anda. Sedikit miris bukan, di satu sisi Syahna selalu menceritakan dan mencoba mengenalkan anda pada anaknya, dan disisi lain anda berusaha untuk tidak mau mengenal mereka" Abra diam saja, tidak membalas sindiran wanita itu. Toh itu memang yang dilakukannya sebelum hal yang tidak pernah diduganya ini terjadi. Ini tidak akan mudah. Tapi dia sudah memutuskan. Dan tidak akan berlari ditengah seperti yang dikatakan wanita itu. Keduanya kembali terdiam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Dan ruangan itu hanya diisi suara kecil Ayya yang tengah menyanyikan lagu twinkle twinkle little star dari ruang sebelah.   Happy reading _sailenndra

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

His Secret : LTP S3

read
647.3K
bc

Rewind Our Time

read
161.4K
bc

Broken

read
6.4K
bc

Bridesmaid on Duty

read
162.1K
bc

CEO Pengganti

read
71.2K
bc

PLAYDATE

read
118.8K
bc

T E A R S

read
312.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook