Part 2

1604 Words
Hari ini Abra sedang mengurus tempat kerjanya yang baru. Dia paling anti kalau menganggur terlalu lama. Untung perusahaan tempat kerjanya di Hongkong memberinya link di perusahaan yang ada di Bandung dalam lingkup yang sama. Jadi dia tidak perlu repot-repot cari kerjaan baru.  Hanya saja perusahaan ini belum menjadi sebesar perusahaan multinasional seperti tempat kerjanya dulu. Tapi cukup lumayan karena sudah beberapa proyek tersebar di Indonesia dan satu dua di lingkup Asia. Besok dia sudah bisa mulai masuk kerja setelah tadi mengurus kelengkapan berkas. Yang jadi masalahnya dia belum mengatakan ini pada Ayya dan Nindya. Kenapa Nindya? Setelah bertemu dengan pengacara Syahna kemarin, sedikit banyak dia mulai tahu bagaimana kehidupan Ayya dan Syahna selama ini. Mereka hanya tinggal berdua, Syahna bercerai dari suaminya ketika mengandung Ayya. Syahna bekerja sebagai staf keuangan rumah sakit Medica sedang Ayya sudah masuk paud sejak setengah taun lalu. Setelah itu Ayya akan ikut di tempat penitipan anak sampai Syahna menjemputnya. Rupanya Syahna juga sudah menanggung biaya pendidikan dan kesehatan Ayya nantinya dengan mengikutkan asuransi. Juga masih cukup banyak uang untuk keperluan Ayya yang kini akan dimanajemen Abra. Apapun kebutuhan Ayya nantinya baik dari kesehatan, pendidikan, dan biaya hidup telah dijamin Syahna sampai Ayya sudah cukup dewasa untuk menentukan hidupnya. Kemudian apa hubungannya dengan Nindya. Wanita itu sahabat adik tirinya. Sepertinya mereka sangat dekat. Ditambah ketua Paud di tempat Ayya merupakan ibu Nindya. Jadi bisa dibilang setelah Syahna meninggal dia juga meminta Nindya untuk merawat Ayya. Dengan begitu bisa disebut Abra dan Nindya akan berbagi pengasuhan Ayya. Abra tambah pusing memikirkan ini. Karena dia tahu bagaimana sikap wanita itu padanya kemarin. Diliriknya jam tangan hitam di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan angka empat. Dia harus menjemput Ayya di tempat penitipan anak yang memang menjaga seharian, mulai pukul delapan Ayya akan ke sekolah paudnya, lalu dilanjutkan ke penitipan anak di tempat yang masih bersebelahan sampai pukul empat. Paud disana memang merangkap dengan fungsi pengasuhan anak. Dikemudikan mobilnya membelah jalanan Bandung yang cukup ramai. Tinggal lama di luar membuatnya sedikit asing dengan daerah asalnya sendiri. Seolah Abra memang harus memulainya dari awal, baik karir maupun kehidupannya. Tempat kerja, karir, dan para temannya ditinggalkan disana. Disini, semuanya terasa baru dan asing. Abra memasuki lobi ketika seorang security menghampirinya. "Ada yang bisa dibantu mas?" tanya pria dengan seragam putih itu. "Saya cari Ayya" "Oh, non Ayya udah dijemput sama mbak Nindya setengah jam lalu. Kata mbak Nindya nanti kalau ada yang nyari Ayya, suruh ke Rs Medica gedung 3, ditunggu di kantin, begitu katanya" Abra segera saja mengumpat dalam hati. Wanita itu benar-benar mengerjainya. Maaf mas, mas ini siapanya non Ayya ya kalau saya boleh tau?" Pertanyaan security itu kembali membuatnya menoleh. "Saya kakaknya Syahna, Om Ayya" "Oh jadi mas ini yang akan merawat non Ayya" ,Abra mengangguk kecil lalu segera mengucapkan terimakasih dan berlalu pergi. Seharian ini otaknya tidak bisa beristirahat sebentar saja. Abra segera melajukan mobilnya ke Rs Medica yang tidak terlalu jauh. Ketika dia memasuki kawasan rumah sakit dia bertanya pada security dimana letak gedung tiga. Dan dia diarahkan ke bangunan berwarna biru putih yang letaknya paling belakang dibanding bangunan lain. Tulisan obgyn dan anak tertera di dinding bangunan depan. Disampingnya ada kantin yang cukup luas. Dilangkahkan kakinya memasuki kantin dan segera saja dia mengedarkan pandangan mencari Ayya. Gadis cilik itu sedang main ayunan di sudut ruang yang memang terdapat tempat bermain anak.  Di meja sudut dia melihat Nindya tengah berbincang dengan seorang wanita yang sebayanya, lengkap dengan jas dokter. Dan menyebalkannya wanita itu hanya menatapnya dalam diam tanpa rasa bersalah saat Abra berdiri disamping meja. Justru wanita yang satunya menyapa lebih dulu. "Om-nya Ayya?" Abra hanya mengangguk sekilas pada wanita yang tengah tersenyum sopan padanya itu, berbeda dengan Nindya yang menampilkan raut wajah datar dan tidak peduli. "Oh, silahkan duduk" Hanya ada dua sofa panjang di sisi kanan dan kiri meja persegi panjang. Sofa satu ditempati Nindya dan satunya wanita yang menyapanya tadi. Dan dia merasa tidak sopan kalau langsung duduk di sebelahnya di pertemuan pertama mereka. Alhasil Abra balas tersenyum sopan dan duduk di samping Nindya setelah berpikir sebentar.   Nindya menggeser duduknya tanpa berkata apapun. Dan sedetik setelah laki-laki itu duduk di sampingnya dia dapat mencium campuran cologne dan rokok. Hal itu membuat Nindya mengernyit tidak suka. Juga, tidakkah laki-laki itu merasa rambutnya terlalu panjang untuk ukuran pria. Atau memang dia sengaja membiarkan rambutnya gondrong begitu.  Sedetik kemudian Abra menoleh padanya dengan kening berkerut karena merasa diperhatikan. Sedang dia langsung mengalihkan tatapannya ke depan. Kenalkan saya Kalila, teman Nindya dan Syahna" Abra mengangguk kecil dan menyambut uluran tangan wanita itu sambil menyebutkan namanya. "Abraham, Kakak Syahna" "Kalila ini psikiater anak"   Abra menoleh ke asal suara di sampingnya. Dan melihat Nindya menatapnya sekilas sebelum beralih ke Kalila. Rambut panjang wanita itu diikat ekor kuda dengan beberapa helai yang terlepas. Menampilkan leher putihnya. Abra segera mengalihkan pandangan saat tiba-tiba Nindya menoleh karena merasa diperhatikan. "Kondisi seperti ini memang tidak mudah bagi anak seusia Ayya. Kalau tidak dijaga dan di dampingi dengan baik khawatirnya akan berdampak buruk ke psikologis anak. Untuk itu saya sarankan jangan meninggalkan Ayya sendiri, anak seusianya memang harus selalu ditemani, diajak mengobrol, dan beraktivitas seperti biasa” jelas Kalila. "Kadang Ayya masih suka menangis mencari mamanya, dan aku nggak tahu harus menjawab apa ke Ayya” kata Nindya. "Kita memang tidak bisa melarang dan memisahkan ikatan ibu dan anak. Ayya pasti akan terus mengingat mamanya. Jika Ayya bertanya jawab saja apa yang sebenarnya terjadi, justru jangan menyembunyikan. Kalau kita berbohong justru dikhawatirkan Ayya akan memendam apa yang dia pikirkan dan dia rasakan sendiri. Dan lebih buruknya bisa membuat dia tumbuh menjadi tertutup. Untuk itu kalian berdua harus menemani Ayya terus. Misalnya pada saat tidur. Ayya pasti akan menangis kalau dia bangun sendirian dan tidak ada mamanya. Mungkin dengan kalian, emm... maksud saya salah satu dari kalian menemaninya saat tidur dia akan merasa lebih baik dan tidak akan menangis lagi tiap pagi dan mencari mamanya" Abra dan Nindya saling diam, tapi keduanya juga tahu kalau apa yang dikatakan Kalila barusan memang benar. "Kalau begitu saya duluan, ada shift sore. Nin, kalau ada apa-apa hubungi aku ya" Nindya mengangguk pelan,"Makasih Kal" "Kenapa kamu tidak bilang akan menjemput Ayya?" Nindya menoleh ke lelaki yang duduk di sampingnya itu. Tapi masih tidak bersuara. "Saya ke Paud tadi dan Ayya sudah dijemput” tambah Abra. Nindya mengedikkan bahunya pelan, seolah memang itu bukan salahnya. "Saya sudah bilang ke pak Mus, security disana" "Dan kamu tidak bilang ke saya” suara Abra semakin mengeras. "Saya tidak punya nomor ponsel anda” balas Nindya tidak mau kalah. Jawaban wanita itu membuat Abra semakin kesal, terlebih sapaan yang digunakan Nindya padanya begitu kaku. Abra menghembuskan nafas kasar sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Lalu menyerahkan ponselnya pada Nindya. Dengan kening berkerut Nindya menerimanya. "Nomormu” kata Abra pendek. Nidya mengetikkan nomornya sebentar lalu menyerahkannya pada Abra. Laki-laki itu segera menekan tombol panggilan dan suara Brian McNight mengalun lembut dari ponsel Nindya yang tergeletak di meja. "Simpan" Nindya menatap tidak suka mendengar nada perintah laki-laki itu. Dengan kesal diambil ponselnya dan menyimpan nomor yang baru saja masuk di daftar panggilan ponselnya. Ayya berlari kecil menghampiri keduanya dengan senyum merekah. "Tadi Ayya main banyak disana, kenapa disini nggak ada jungkat-jungkit kayak di sekolah? Di sekolah lebih banyak mainannya,” oceh gadis kecil itu pada kedua orang dewasa di depannya. "Ayya ayo kita pulang" ajak Abra sambil berdiri. "Tante Nindya ikut?" mata bulat itu menatap Nindya tanpa berkedip. "Nggak sayang, tante di rumah sakit malam ini" "Besok ya kita main lagi" tambah Nindya melihat wajah cemberut Ayya. Ayya kemudian mengangguk kecil, dan menggendong tas barbienya. Kemudian melambai kecil ke Nindya dan berjalan bersisihan dengan om-nya. "Ayya mau es krim?" "Mauuu” seru Ayya segera setelah mendapat tawaran Abra. "Rasa stroberi, dua ya Om” katanya dengan mengacungkan dua jarinya. "Oke" "Yeayyy!!!" Nindya yang masih mendengar percakapan samar keduanya hanya menggeleng kecil. Dasar laki-laki dan rayuannya, batinnya. Dia harus mengingatkan laki-laki itu untuk tidak memberikan makanan manis terlalu banyak dan sering pada Ayya.   Tangan mungil Ayya mengenggam jari tengah dan telunjuk Abra, membuat laki-laki itu menoleh ke keponakannya yang sedang berjalan riang sambil mengayunkan tangan Abra. Tanpa sadar Abra mengulas senyum tipis. Paling tidak, keponakannya itu sudah mau bicara dan pergi berdua dengannya. ***   Ayya bukan anak yang rewel. Dia hanya tidak suka sendiri, itu saja. Jadi Abra menemani gadis cilik itu dengan segala aktivitasnya, mulai dari makan malam, menggambar, dan sekarang dia tertidur di tengah menonton Frozen. Abra hanya diam dan sesekali menimpali Ayya yang hobi sekali bercerita. Sama persis seperti ibunya. Digendongnya Ayya menuju kamar anak itu. Ayya yang sudah pulas meringkuk nyaman saat Abra menyelimutinya setelah membaringkan di kasur.  Di tepi ranjang Abra duduk dan mengamati wajah mungil itu. Dan tanpa perlu dikomando pikirannya kembali melayang ke tadi pagi, saat dia ziarah ke makam Syahna. Dia masih dua puluh enam, tapi kematian tidak bisa diukur lewat umur. Alasan kenapa Syahna selalu merecokinya karena anak itu merasa sama sepertinya. Hidup dengan ayah yang sama tanpa kasih sayang seorang ibu. Abra sebagai laki-laki mungkin terlihat tidak peduli akan itu. Tapi tidak dengan saudara tirinya itu. Syahna hanya mencoba mengajaknya mengusir kesepian bersama-sama. Tapi hal itu ditolaknya mentah-mentah. Dia meninggalkan Syahna sendiri disini, juga memutuskan hubungan mereka secara sepihak. Abra tahu dia bukan seorang anak yang baik bagi papanya, mengingat hubungan keduanya tidak akur. Juga bukan kakak yang baik bagi Syahna mengingat segala ketidakpeduliannya pada saudara tirinya itu. Sekarang, apakah dia juga akan jadi orang yang sama dengan mengacuhkan permintaan terakhir Syahna. Diamatinya wajah yang terlelap itu. Ayya terlalu kecil untuk kehilangan kedua orang tuanya. Lewat anak ini, dia berharap bisa sedikit saja menebus segala rasa bersalahnya pada Syahna. Mengurangi sedikit saja penyesalan yang kian menebal atas kelakuannya pada ibu anak ini. Abra menyingkirkan rambut Ayya yang menutupi wajahnya sebelum berdiri dan berjalan keluar lalu duduk di bangku dapur. Dikeluarkan kotak rokok di sakunya. Abra menyulutkan korek di sebatang rokok yang terselip di bibirnya.  Menghisapnya panjang dan membiarkan asap putih mengepul di depan wajahnya. Dadanya terasa sesak, bukan... bukan karena asap yang dihembuskannya. Tapi rasa sesal yang seumur hidup tidak bisa dihapuskannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD