BAB 5

2506 Words
Adit terpaku melihat penampilan Nisa yang tampak berbeda dari sebelumnya. Penampilan Nisa sangat sederhana hanya dengan menggunakan rok panjang dan kaos lengan panjang yang menutupi setiap lekuk tubuhnya. Rambut panjangnya yang biasa terurai kini diikat ke belakang. “Maaf membuat Anda lama menunggu, Tuan,” kata Nisa saat tiba di hadapan Adit yang menunggunya di luar klub malam 'STAR NIGHT'. Nisa harus menemui Ronald terlebih dahulu untuk mengambil semua barang-barangnya yang ada di sini. Karena sejak kemarin malam ia tiba di klub malam ini, semua barang-barangnya disita oleh Ronald. Beruntung Ronald tak mengatakan banyak kata saat Nisa berpamitan kepadanya. Dia sudah ingin segera pergi meninggalkan tempat ini. Adit mengangguk menanggapi ucapan Nisa. Dia kemudian berjalan menuju ke tempat mobilnya terparkir di depan klub malam ini. Nisa segera mengikuti langkah Adit di belakangnya. Dia terpana begitu melihat mobil sedan berwarna hitam milik Adit di depan matanya. Dengan sekali melihat saja, Nisa bisa menebak harga mobil ini sangatlah mahal. Adit pastilah orang yang sangat kaya hingga bisa membeli mobil semewah ini bahkan membeli dirinya dengan harga ratusan juta. “Ayo masuk!” ajak Adit karena Nisa hanya berdiri di depan mobilnya saja. “Iya, Tuan,” sahut Nisa mengikuti Adit yang telah masuk ke dalam mobil terlebih dahulu. Dia duduk di kursi depan disamping pengemudi sambil memangku tas besar miliknya. “Pakai sabuk pengamannya!” perintah Adit yang diangguki oleh Nisa. Adit malajukan mobilnya meninggalkan klub malam 'STAR NIGHT'. Nisa memandang tempat itu untuk yang terakhir kalinya. Dia berjanji pada dirinya sendiri tak akan kembali ke tempat itu lagi apapun yang terjadi. Nisa tak mau kembali disiksa dan dipaksa bekerja sebagai wanita penghibur lagi di klub malam itu. Selama perjalanan hanya ada keheningan di dalam mobil. Adit tampak fokus mengendarai mobilnya sementara Nisa menatap keluar jendela mengamati setiap jalan dan pemandangan kota yang dilaluinya. Nisa tak bertanya kemana Adit akan membawanya. Dia sudah cukup bahagia bisa keluar dari tempat terkutuk itu. Nisa hanya berharap Adit membawanya ke tempat yang jauh lebih baik dari tempat yang ditinggalkannya tadi. Hampir dua jam perjalanan yang ditempuh oleh mereka sebelum Adit menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi di hadapannya. Dia membunyikan klakson mobil sebagai tanda kedatangannya. Beberapa menit kemudian tampak seorang pria paruh baya membukakan pintu gerbang dan membiarkan mobil Adit memasuki halaman yang sangat luas menuju sebuah bangunan di depannya. “Ini villa keluargaku,” beritahu Adit sesaat setelah menghentikan mobilnya di depan bangunan bertingkah dua itu. Adit sengaja membawa Nisa ke salah satu villa milik keluarganya yang berada di Bogor. Di villa ini hanya ada mang Ujang, tukang kebun sekaligus penjaga villa yang setiap hari datang ke sini. Keluarganya jarang datang ke villa ini sehingga Nisa bisa tinggal di sini sambil membantu pekerjaan mang Ujang membersihkan villa. Adit melepaskan seat belt yang membelit tubuhnya dan segera turun dari mobil. Nisa juga melakukan hal yang sama kemudian menghampiri Adit yang berdiri di teras villa. “Selamat malam, den Adit, neng” sapa mang Ujang, pria paruh baya yang tadi membukakan pintu gerbang. “Malam, mang,” sahut Adit sementara Nisa hanya tersenyum ramah membalas sapaannya. “Tumben den Adit malam-malam datang ke sini. Ada perlu apa, den?” tanya mang Ujang menatap Adit. Mang Ujang terkejut ketika Adit tiba-tiba meneleponnya dan mengabarkan akan datang ke villa malam ini juga. “Saya mengantar Nisa, mang. Mulai malam ini dia akan tinggal di sini untuk membantu pekerjaan mang Ujang membersihkan villa,” jelas Adit pada Mang Ujang dan Nisa. “Nis, kenalkan ini mang Ujang, penjaga villa ini,” katanya memberitahu Nisa. “Nisa.” “Mang Ujang, neng.” Nisa dan mang Ujang saling berjabat tangan dan menyebutkan nama masing-masing. “Ya sudah kalau begitu kita masuk ke dalam, den, neng. Biar mamang siapkan kamar untuk neng Nisa dulu,” kata mang Ujang berjalan kearah pintu utama villa dan membukanya. Mang Ujang bergegas ke dapur membuatkan minuman hangat untuk mereka berdua sebelum membersihkan kamar yang akan digunakan Nisa selama tinggal disini. Tadi mang Ujang hanya menyiapkan satu kamar untuk Adit karena sebelumnya Adit tidak memberitahu jika akan datang bersama Nisa. “Seperti yang aku katakan tadi, mulai malam ini kamu tinggal di villa ini. Kamu bisa membantu pekerjaan mang Ujang dengan membersihkan villa ini dan juga memasak. Aku akan memberimu uang bulanan untuk membeli keperluan dapur dan kebutuhan villa lainnya,” jelas Adit setelah mang Ujang mengantarkan minuman dan meninggalkan mereka berdua di ruang tamu villa. Adit kini mengganti panggilan ‘gue-elo’ menjadi ‘aku-kamu’ saat berbicara dengan Nisa. “Baik, Tuan,” sahut Nisa, mengangguk mengerti. “Aku sudah membelimu dengan harga yang sangat mahal, jadi aku harap kamu tidak mengecewakanku dan mencoba kabur dari tempat ini. Sesuai janjimu tadi pagi, kamu harus menuruti semua perintahku mulai saat ini,” kata Adit menatap Nisa tajam. “Saya mengerti. Saya janji akan menuruti semua perintah Tuan selama itu tidak melanggar norma dan agama. Saya juga mengucapkan terimakasih karena Tuan telah mengeluarkan saya dari tempat itu,” kata Nisa menatap Adit dengan penuh rasa terima kasih. Adit mengangguk menanggapinya. “Baiklah... Kamu bisa istirahat sekarang. Sepertinya mang Ujang sudah selesai membersihkan kamarmu,” ujar Adit bangkit dari duduknya setelah menghabiskan minuman miliknya. Dia sudah ingin mengistirahatkan tubuhnya yang sangat lelah hari ini. Tanpa menunggu tanggapan dari Nisa, Adit berjalan ke lantai dua menuju kamar yang sering ditempatinya selama berada di villa ini.   oOo   Keesokan harinya Nisa mulai menyibukkan diri di dapur dengan membuat sarapan untuk Adit, mang Ujang dan dirinya sendiri. Didalam kulkas hanya tersedia sosis dan telor saja sehingga Nisa memutuskan untuk membuat nasi goreng dan telor mata sapi. Sebenarnya Nisa merasa tak enak badan saat ini. Semalaman dia tak bisa tidur karena punggung dan bahunya sakit, suhu badannya juga terasa panas. Nisa belum menemukan obat untuk mengobati luka-luka di tubuhnya. Mungkin nanti dia akan meminta bantuan mang Ujang untuk membelikan salep dan obat penurun panas di apotek dekat sini. Adit turun dari lantai dua dengan penampilan yang lebih segar walau masih mengenakan baju semalam. Dia tidak memiliki baju ganti di villa ini karena Adit memang jarang datang ke sini. Dia akan mampir ke apartemen terlebih dahulu sebelum berangkat ke kantornya pagi ini. Adit berjalan ke ruang makan saat mencium aroma masakan dari dapur. Dia mendudukkan dirinya di kursi makan ketika melihat Nisa sedang membagi hasil masakannya ke dalam beberapa piring. Nisa kemudian membawa salah satu piring itu kearahnya. “Sarapan untuk Anda, Tuan,” kata Nisa meletakkan sepiring nasi goreng dan telor mata sapi di hadapan Adit. “Bahan-bahan masakan di dapur sudah habis jadi saya hanya memasak ini untuk sarapan,” jelasnya kemudian. “It’s oke. Aku nggak terlalu rewel soal makanan,” ujar Adit menarik piring nasi goreng itu ke hadapannya. “Nanti kamu bisa minta tolong mang Ujang untuk mengantarmu ke pasar membeli bahan-bahan masakan yang dibutuhkan.” “Baik, Tuan,” sahut Nisa. “Tuan mau minum apa? Teh atau kopi? Biar saya buatkan,” tawar Nisa karena dia hanya menyiapkan air putih saja di meja makan. “Kopi saja. Gulanya jangan terlalu banyak, aku nggak suka manis,” beritahu Adit. Nisa mengangguk kemudian kembali ke dapur untuk membuatkan kopi pesanan Adit. Adit mencicipi nasi goreng buatan Nisa. Harus ia akui nasi goreng ini terasa enak di lidahnya. Adit jarang sarapan di apartemen, biasanya dia hanya makan buah dan minum kopi saja sebelum berangkat ke kantor. Tapi kali ini perutnya akan kenyang dengan sepiring nasi goreng dan telor mata sapi buatan Nisa. Nisa kembali ke meja makan sambil membawa secangkir kopi pesanan Adit. “Ini kopinya, Tuan,” ucapnya meletakkan cangkir itu di samping piring nasi goreng Adit. “Iya. Kamu nggak sarapan juga?” tanya Adit menghentikan suapannya dan menatap Nisa. “Saya akan sarapan setelah membersihkan dapur, Tuan,” jawab Nisa masih berdiri di sebelah Adit. “Kamu sakit?” tanya Adit, memperhatikan wajah Nisa yang terlihat pucat. “Hanya sedikit demam, Tuan,” jawab Nisa pelan. “Sudah minum obat?” tanya Adit lagi. Nisa menggeleng. “Belum, Tuan, nanti saya mampir ke apotek untuk membeli obat saat belanja ke pasar.” “Kamu yakin?” tanya Adit ragu. Dia ingat semalam tubuh Nisa sudah demam. “Iya,” sahut Nisa mengangguk meyakinkan. “Jika tidak ada yang dibutuhkan lagi, saya ke depan dulu untuk memanggil mang Ujang, Tuan,” pamitnya kemudian.  Nisa sudah berbalik badan untuk meninggalkan ruang makan saat suara Adit terdengar. “Tunggu.” “Awh.” Nisa mengaduh kesakitan karena Adit menarik lengannya hingga membuat bahunya yang memar berdenyut sakit. Adit terkejut dan langsung melepaskan tangannya. “Kenapa? Apa yang sakit?” tanyanya menatap Nisa dengan pandangan penuh tanya. Adit yakin tidak terlalu keras menarik lengan Nisa, tapi mengapa Nisa sampai mengaduh kesakitan seperti itu. “Ti-tidak apa-apa, Tuan. Saya hanya terkejut karena Anda tiba-tiba menarik tangan saya,” jawab Nisa berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. Adit menatap Nisa tak percaya. Semalam Nisa juga merintih kesakitan disela ciuman mereka dan mengatakan hal yang sama. Dia yakin ada yang salah pada tubuh Nisa. Adit ingat semalam Nisa merintih kesakitan saat dia— Adit menyingkap kerah baju yang dikenakan Nisa hingga membuat bahunya terekspos. Nisa sangat terkejut melihat tindakan Adit. Tapi Adit jauh lebih terkejut saat melihat bahu sebelah kanan Nisa berwarna biru lebam. “Bahu kamu kenapa?” tanya Adit belum mengalihkan pandangannya dari bahu memar Nisa. Pantas saja semalam Nisa merintih kesakitan. Dia pasti menekan bahu Nisa dengan cukup keras saat mereka berciuman. Bahunya juga pasti sakit ketika ia menarik lengan Nisa tadi. Nisa hanya menundukkan kepala tak menjawab pertanyaan Adit. Walau sekarang sudah tak ada Ronald yang mengancamnya lagi, tapi Nisa merasa tak perlu menjelaskan apa yang telah terjadi di klub malam itu pada Adit. Dia tak ingin mengingat kejadian menyakitkan itu lagi. “Kenapa kamu nggak jawab pertanyaanku?” tanya Adit karena Nisa hanya diam saja sedari tadi. “Ma-maaf, Tuan, kemarin saya terjatuh di kamar mandi dan bahu saya membentur pintu,” kata Nisa memberi alasan yang terdengar masuk akal. Adit menatap Nisa tak percaya. Dia yakin ada yang disembunyikan Nisa darinya. Tapi Adit tak bisa memaksanya bercerita sekarang. Luka di bahu Nisa harus segera diobati sebelum memarnya semakin parah. “Hari ini nggak usah ke pasar. Kamu istirahat saja di kamar, aku akan memanggil dokter untuk mengobati bahu kamu,” kata Adit mengambil keputusan. “Tapi, Tuan—” “Jangan membantah!” Nisa menghentikan kalimatnya saat mendengar perkataan tegas Adit. Adit meninggalkan Nisa di ruang makan sendirian. Niatnya untuk berangkat ke kantor sepertinya harus diundur begitu melihat keadaan Nisa tadi. Dia harus memastikan sendiri memar di bahu Nisa terobati dengan baik.   oOo   Adit duduk di ruang tengah sambil menunggu Nisa yang sedang diobati di kamarnya. Tadi dia meminta bantuan mang Ujang untuk memanggilkan dokter yang membuka praktek di sekitar villa ini. Adit tak mungkin memanggil dokter keluarganya yang berada di Jakarta karena akan memakan waktu yang cukup lama untuk sampai di sini. Sudah hampir satu jam sang dokter mengobati Nisa, tapi sampai saat ini belum keluar kamar juga. Adit mulai khawatir dan berpikir untuk mengetuk pintu kamar Nisa jika dalam waktu sepuluh menit lagi dokter wanita itu belum juga keluar dari sana. Tapi sepertinya hal itu tak perlu ia lakukan karena beberapa menit kemudian pintu kamar Nisa terbuka dan sang dokter berjalan menghampirinya. “Bagaimana keadaannya, dok?” tanya Adit penasaran. “Luka di bahu kanan mba Nisa tidak terlalu parah dan sudah saya obati. Begitu juga luka di pergelangan tangan dan dahinya. Untuk sementara waktu mba Nisa jangan mengangkat barang-barang yang berat terlebih dahulu. Dia juga harus banyak istirahat untuk menyembuhkan demamnya,” kata sang dokter memberikan penjelasan sekaligus peringatan tentang kondisi kesehatan Nisa. Dia menatap Adit dengan pandangan yang sulit diartikan. “Kenapa, dok?” tanya Adit menyadari tatapan sang dokter yang tampak aneh. “Begini, Pak...” dokter itu tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Dia menatap Adit yang masih menanti kelanjutan kalimatnya. “Itu... di punggung mba Nisa terdapat banyak luka seperti bekas cambukan, pak,” ucapnya dengan suara pelan. “APA???” Adit sangat terkejut mendengar informasi ini. Dia tak tahu Nisa juga memiliki luka di bagian punggungnya. Entah apa yang telah terjadi pada Nisa hingga dia mendapatkan luka sebanyak itu dalam satu hari. Tidak mungkin karena terjatuh dari kamar mandi seperti yang dikatakan Nisa padanya tadi pagi. “Saya sudah bertanya pada mba Nisa tentang luka-luka itu, tapi dia tidak mau menjawabnya. Mungkin jika bapak yang bertanya, mba Nisa mau menjelaskannya. Jika melihat luka-luka yang ada di tubuh dan wajahnya, saya curiga ada orang yang telah menganiaya dirinya,” kata sang dokter menyampaikan kecurigaannya pada Adit. Adit terdiam memikirkan kemungkinan itu. Tapi jika benar apa yang dikatakan dokter ini, lalu siapa yang telah menganiaya Nisa? Kesalahan apa yang telah dilakukan Nisa hingga dia mendapatkan luka sebanyak itu? “Baiklah, terima kasih, dok. Saya akan memastikan sendiri kecurigaan Anda,” ujar Adit. “Baik, Pak, kalau begitu saya permisi dulu,” pamit sang dokter kemudian menjabat tangan Adit. Adit mengantar sang dokter hingga teras depan villa. Setelah dokter itu pergi menggunakan mobilnya, Adit kembali masuk ke dalam villa untuk melihat kondisi Nisa. Nisa sedang duduk di pinggir ranjang ketika Adit membuka pintu dan masuk ke dalam kamarnya. “Bagaimana keadaan kamu?” tanya Adit berjalan menghampiri Nisa. “Alhamdulillah jauh lebih baik, Tuan,” jawab Nisa dengan suara pelan. Nisa yakin Adit sudah mengetahui luka-luka di punggungnya dari dokter yang telah mengobatinya tadi. Dan kali ini dia tak bisa menghindar lagi untuk menjawab semua pertanyaan yang akan dilontarkan Adit kepadanya. “Dokter bilang kamu memiliki luka-luka di punggungmu. Apa kamu bisa menjelaskan darimana kamu mendapatkan luka-luka itu?” tanya Adit to the point. Dia sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada Nisa setelah ia tinggal pergi kemarin pagi di klub malam itu. “I-itu...” Nisa bingung harus mulai bercerita darimana. Dia menundukkan kepala tak berani menatap Adit. “Siapa yang melakukannya?” Adit merubah pertanyaannya saat melihat Nisa kesulitan menjawab. “Ro-ronald,” jawab Nisa dengan suara pelan. Adit membulatkan mata, terkejut. Dia tak menyangka Ronald bisa berbuat sekejam itu pada seorang wanita. “Apa saja yang telah dilakukan Ronald terhadapmu?” tanyanya menuntut jawaban dari Nisa. “Di-dia menampar pipi saya dan men-cambuk punggung sa-saya menggunakan sabuk. Kemudian dia mengurung saya di kamar mandi,” jelas Nisa terbata. Air matanya mengalir mengingat kejadian yang sangat menyakitkan itu. “Ji-jika semalam Tuan tidak me-nemui saya, mungkin sa-ya masih dikurung di ka-mar mandi.” Adit mengusap wajahnya kasar. Ada kemarahan yang tiba-tiba bergejolak di dadanya saat mendengar penjelasan Nisa. “Apa yang kamu lakukan hingga Ronald berbuat sekejam itu?” tanya Adit menatap Nisa penasaran. Nisa meremas kedua tangannya gugup. Ini bagian tersulit yang harus Nisa katakan pada Adit. Entah apa yang akan dipikirkan Adit tentang dirinya jika ia mengatakan alasan yang membuat Ronald murka kepadanya. “Kenapa diam? Jawab aku!” tuntut Adit karena Nisa hanya diam saja. “Sa-saya.... Saya mencoba bunuh diri,” ungkap Nisa semakin menundukkan kepalanya. Adit terperangah mendengar jawaban Nisa. Adit tak menyangka wanita sepolos Nisa bisa nekat melakukan percobaan bunuh diri. Satu kejutan yang tak pernah Adit sangka sebelumnya.   oOo        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD