Sore ini Nisa kembali berada di ruang ganti klub malam ‘STAR NIGHT’. Dia sedang menunggu seseorang yang akan merias wajahnya sebagai wanita penghibur di tempat ini. Kondisi tubuh Nisa sudah membaik walaupun bengkak di matanya masih cukup terlihat.
Nisa merasa putus asa saat ini. Satu-satunya orang yang ia harapkan bisa membantunya keluar dari tempat ini telah menolak permintaannya dan meninggalkan dia sendirian di kamar tadi pagi. Nisa tak bisa menyalahkan Adit karena permintaannya memang terkesan tak masuk akal bagi Adit. Apalagi mereka baru bertemu semalam sebagai pelanggan dan wanita penghibur di klub malam ini. Tapi Nisa sudah terlanjur berharap banyak padanya, hingga penolakan yang diucapkan Adit membuatnya sangat kecewa dan putus asa.
Selama menunggu di ruang ganti ini, Nisa tampak memikirkan langkah apa yang harus dilakukannya agar tidak menjadi wanita penghibur lagi. Cukup sekali ia dipaksa menyerahkan kehormatan dan harga dirinya sebagai wanita pada seorang laki-laki yang belum dikenalnya dan tanpa adanya ikatan pernikahan. Nisa tak ingin kejadian semalam kembali terulang. Dia tak mau terus menerus menambah dosa dengan berbuat zina di tempat ini.
Nisa mengamati barang-barang yang ada di sekitarnya. Dia mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk melukai dirinya sendiri. Apa yang akan dilakukannya memang sangat gila, tapi dia lebih memilih mengakhiri hidupnya daripada harus terus menerus menjadi wanita penghibur di tempat ini.
Nisa menemukan pisau kecil yang biasa digunakan untuk mencukur alis tergeletak di atas meja rias. Dia mengambil pisau kecil itu dan menempelkannya pada pergelangan tangan kirinya. Ini adalah tindakan ternekat yang pernah ia lakukan dalam hidupnya. Untuk sesaat Nisa tampak ragu, tapi dia merasa tidak mempunyai pilihan lain.
Sreet...
Nisa terkejut saat pisau kecil yang dipegangnya terlepas dari tangannya. Pisau itu terpental dan jatuh ke lantai dengan meninggalkan goresan luka di pergelangan tangan kiri Nisa. Nisa menoleh dan menatap horor seseorang yang telah berdiri di sampingnya.
“Apa yang lo lakukan, hah?” bentak seorang wanita yang Nisa ketahui bernama Intan dengan wajah murka.
Nisa menundukkan kepala tak menjawab pertanyaan itu. Dia tak menyangka aksinya akan diketahui secepat ini. Padahal Nisa berharap mereka baru menemukan dirinya setelah ia berhasil mengiris pergelangan tangannya.
“Ayo ikut gue!” Intan menarik tangan Nisa dengan kasar.
Nisa meringis kesakitan karena Intan menarik pergelangan tangannya yang terluka. Intan menarik Nisa keluar ruangan, namun langkahnya terhenti saat pintu di depannya tiba-tiba terbuka.
“Ada apa ini? Kalian mau ke mana?” tanya Ronald menatap Nisa dan Intan bergantian. Ronald berdiri di balik pintu bersama dua laki-laki pengawal setianya.
“Maaf, Tuan, saya hanya ingin membawa wanita ini kepada Anda. Tadi saya memergokinya akan melakukan percobaan bunuh diri,” jawab Intan dengan kepala tertunduk.
Ronald melotot mendengar ucapan Intan. Dia mengalihkan pandangannya pada Nisa yang berdiri di belakang Intan.
“Apa ucapan Intan itu benar? Kau mencoba bunuh diri?” tanya Ronald dengan suara menggeram marah.
Nisa tak menjawab. Dia menundukkan kepala tak berani menatap Ronald.
“JAWAB!” bentak Ronald tiba-tiba hingga membuat Nisa terkejut.
“I-iya, Tuan,” jawab Nisa dengan suara terbata.
PLAAAK.
Sebuah tamparan keras dari Ronald melayang ke pipi Nisa, membuatnya terjatuh dengan bahu yang menghantam kaki meja dan kepala membentur dinding. Nisa mengaduh kesakitan merasakan nyeri di bagian bahu sebelah kanannya. Dia juga merasakan darah mengalir dari keningnya yang membentur dinding. Belum lagi nyeri di pipi dan ujung bibirnya akibat tamparan keras dari Ronald.
“Ah...” Nisa menjerit kesakitan saat rambutnya ditarik dengan keras oleh Ronald. Wajahnya dipaksa mendongak menatap wajah Ronald yang sangat murka.
“Kau pikir dengan mencoba bunuh diri akan menyelamatkanmu dari siksaanku, hah?” bentak Ronald di depan wajah Nisa.
Nisa bungkam. Dia memejamkan mata merasakan sakit pada pangkal rambutnya akibat tarikan yang cukup kuat dari Ronald. Dia yakin beberapa helai rambutnya telah terlepas dari kulit kepalanya.
“Kau tahu, kan, tubuhmu sangat berharga di tempat ini? Kau tidak boleh memiliki bekas luka sedikitpun di tubuhmu. Tapi dengan sengaja kau malah melukai tubuhmu sendiri,” kata Ronald dengan suara tajam yang menyeramkan. “Kau harus mendapatkan hukuman karena berani melakukannya. Akan kubuat kau memiliki bekas luka yang menyakitkan hingga membuatmu jera dan tak akan mengulangi perbuatanmu lagi.”
Nisa bergidik ngeri. Perkataan Ronald terdengar sangat menakutkan di telinganya. Nisa tak tahu hukuman apa yang akan diberikan Ronald kepadanya.
Nisa melotot saat melihat Ronald melepaskan sabuk yang mengikat pinggangnya. Dia tak sempat menghindar ketika Ronald mengayunkan sabuk itu kearah punggungnya. Nisa menjerit kesakitan merasakan cambukan sabuk itu menghantam punggungnya berkali-kali.
“Ah... Am-pun, Tu-tuan. To-long hen-ti-kan. Ah...” Nisa memohon disela jerit kesakitannya. Wajahnya sudah bersimbah air mata menahan sakit di punggungnya.
“Sakit, hah? Kau ingin merasakannya lagi?” tanya Ronald menghentikan cambukannya dan menatap Nisa.
Nisa menggeleng dengan cepat. Punggungnya terasa sangat sakit dan perih setelah mendapat cambukan berkali-kali.
“Ini belum seberapa. Kau akan mendapatkan hukuman yang lebih sakit dari ini jika berani mengulangi perbuatanmu lagi. Kau mengerti?” kata Ronald memberi peringatan sekaligus ancaman pada Nisa.
“I-iya, Tuan,” sahut Nisa dengan suara pelan.
“Ikut aku!”
Ronald menarik tangan Nisa hingga membuatnya berdiri. Dia menyeret tubuh Nisa kearah kamar mandi di ruangan itu.
“Ah...” Nisa berteriak kesakitan karena Ronald mendorong tubuhnya dengan kasar ke dalam kamar mandi.
Ronald kemudian menyalakan air shower hingga membasahi seluruh tubuh Nisa yang berdiri di bawahnya.
Nisa menggigil merasakan air dingin yang mengguyur tubuhnya. Rasa sakit dan perih semakin ia rasakan di sekujur tubuhnya yang penuh luka. Isak tangisnya terdengar menggema di kamar mandi berukuran kecil ini.
“Jangan ada yang mengeluarkannya dari sini sebelum aku memberi perintah! Kalian mengerti?” ucap Ronald pada Intan dan dua orang pengawal setianya yang masih berada di sana, menyaksikan semua perbuatan Ronald pada Nisa.
“Baik, Tuan,” jawab mereka bertiga dengan kompak menuruti perintah Ronald.
oOo
Malam ini Adit kembali datang ke klub malam ‘STAR NIGHT’. Dia sengaja datang kesini untuk menenangkan diri dengan meminum beberapa gelas alkohol. Semua pekerjaannya hari ini kacau karena perasaannya mendadak tidak enak sejak tadi siang.
Adit langsung berjalan kearah meja bar dan memesan minuman favoritnya di tempat ini. Dia sudah menelepon Rama untuk menyusulnya kesini. Mungkin dengan bercerita kepada sahabatnya bisa membuat perasaannya sedikit lebih tenang.
“Selamat malam, Tuan Adit. Apa Anda ingin ditemani seseorang lagi?” tanya Ronald, menghampiri Adit yang asyik menyesap minumannya sambil memandang orang-orang yang menari di dance floor.
Adit mengalihkan pandangannya pada Ronald. Seperti biasa Ronald selalu datang bersama dua orang pengawal setianya.
“Di mana wanita yang semalam menemaniku?” tanya Adit pada Ronald.
Sejak datang ke tempat ini, Adit belum melihat Nisa di antara wanita-wanita penghibur yang ada di klub malam ini. Dia penasaran dengan ketidakberadaan Nisa, tapi merasa segan untuk bertanya pada mereka.
Ronald terkejut mendengar pertanyaan Adit. Beruntung pencahayaan di tempat ini cukup redup hingga Adit tidak melihat perubahan ekspresinya. “Mohon maaf, Tuan, malam ini dia tidak ada di sini,” jawab Ronald, setenang mungkin.
“Kenapa?” tanya Adit mengernyitkan alisnya bingung. Pasalnya Nisa baru bekerja di klub malam ini semalam, rasanya mustahil jika malam ini dia tidak ada di tempat ini.
“Malam ini dia sedikit tidak enak badan, Tuan,” kata Ronald berbohong. Dia tak mungkin menjelaskan alasan yang sebenarnya pada Adit, kan?
“Benarkah? Bukankah tadi pagi dia masih baik-baik saja?” ucap Adit tak percaya.
Sepanjang hari ini Adit selalu memikirkan Nisa yang ia tinggalkan di kamar sendirian dalam keadaan menangis. Permintaan Nisa tadi pagi terus terngiang di kepalanya hingga membuat ia tidak bisa berkonsentrasi dalam bekerja. Adit ingin memastikan sendiri kondisi Nisa saat ini agar hatinya lebih tenang dan bisa berhenti memikirkannya.
“Iya, Tuan, dia mendadak meminta ijin pada saya untuk bisa beristirahat lebih awal,” kata Ronald memberi alasan. “Bagaimana jika Anda ditemani oleh wanita lain yang berada di sini? Penampilan mereka juga tak kalah menarik dan cantik dari Nisa. Saya pastikan Anda tidak akan kecewa,” kata Ronald memberikan pilihan lain pada Adit.
“Tidak. Aku hanya ingin ditemani oleh Nisa,” ujar Adit tegas. “Jika kamu tidak bisa membawanya ke sini, kamu bisa pergi sekarang,” usirnya pada Ronald. Suasana hatinya sudah cukup buruk sepanjang hari ini dan dia tidak mau memperburuk suasanya hatinya dengan kehadiran wanita penghibur yang selalu bertingkah agresif kepadanya.
Ronald merasa tersinggung dengan pengusiran Adit. Tapi dia tidak bisa berbuat apapun karena Adit merupakan pelanggan tetap di klub malam miliknya. “Baiklah, Tuan. Jika itu keinginan Anda, saya akan memanggilnya ke sini untuk menemani Anda,” kata Ronald menyetujui permintaan Adit. Dia kemudian pergi dari hadapan Adit bersama dua pengawalnya.
Adit menatap kepergian Ronald dalam diam. Sejak awal dia menjadi pelanggan di klub malam ini, Ronald tak pernah berhenti menawarkan wanita-wanita penghibur yang berada di sini kepadanya. Adit selalu menolak dengan tegas semua penawaran itu, tapi entah mengapa semalam dia malah terpancing dengan ucapan Rama hingga menerima tawaran Ronald.
Adit harus mengakui bahwa dia tidak menyesali keputusannya semalam. Apa yang telah terjadi antara dirinya dan Nisa semalam menjadi pengalaman pertama bagi mereka berdua dan Adit sangat menikmatinya.
oOo
Ronald berjalan ke ruang ganti tempat ia mengurung Nisa di kamar mandi sejak sore tadi. Dia tak punya pilihan lain selain menuruti permintaan Adit. Ronald tak ingin kehilangan pelanggan setia seperti Adit di klub malam ini jika ia mengabaikan permintaannya. Apalagi baru semalam Adit menerima tawarannya untuk ditemani salah seorang wanita penghibur miliknya setelah bertahun-tahun menolak.
Ronald meminta salah satu anak buahnya untuk membuka pintu kamar mandi. Dia melihat Nisa terduduk di lantai kamar mandi dengan tubuh menggigil.
Nisa yang mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, mendongak. Dia melihat Ronald berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menatapnya.
“Ganti pakaianmu dan bersiaplah. Tuan Adit menunggumu di dekat meja bar,” kata Ronald memberi perintah.
Nisa terkejut mendengar perintah tersebut. Dia pikir Ronald akan melepaskan dirinya, tapi ternyata malah memintanya menjadi wanita penghibur lagi. Dan yang membuat Nisa tak percaya adalah Adit kembali datang ke klub malam ini dan ingin bertemu dengannya. Padahal tadi pagi Adit meninggalkannya sendirian di kamar setelah menolak permintaanya.
“Dengar ya, kamu harus tutup mulut atas semua yang telah terjadi di tempat ini. Jika sampai aku mendengar kamu bercerita atau mengadu pada Tuan Adit, aku pastikan kamu akan mendapatkan hukuman yang jauh lebih menyakitkan daripada tadi,” kata Ronald menahan lengan Nisa yang akan keluar dari kamar mandi.
Nisa meneguk ludah susah payah mendengar ancaman Ronald. Dengan sangat terpaksa dia mengangguk menuruti perintah Ronald. Nisa tak ingin kembali mendapatkan cambukan dan dikurung di dalam kamar mandi lagi selama berjam-jam. Saat ini saja tubuhnya sudah menggigil kedinginan dengan rasa sakit dan perih di bagian punggung dan bahunya.
oOo
Nisa berjalan menghampiri Adit yang telah menunggunya di dekat meja bar. Kali ini dia mengenakan baju yang lebih tertutup namun tetap terlihat seksi untuk menutupi luka dan memar-memar di tubuhnya. Nisa juga memakai make-up yang cukup tebal untuk menyamarkan bengkak pada pipi dan bibirnya akibat tamparan Ronald.
“Selamat malam, Tuan Adit,” sapa Nisa begitu tiba di depan Adit. Tak lupa dia memberikan senyum tipis kepadanya.
Adit menatap Nisa, memperhatikan penampilannya dari atas hingga bawah. “Ronald bilang lo lagi nggak enak badan. Sakit apa?” tanya Adit setelah mempersilakan Nisa duduk di sebelahnya.
“Hanya sedikit pusing,” jawab Nisa memberi alasan.
Ronald sudah memperingatkannya untuk tidak bicara macam-macam di depan Adit. Dia harus bersikap baik-baik saja walau kenyataannya punggung dan bahunya masih sangat sakit. Nisa belum mengobati luka-luka di tubuhnya karena Adit telah menunggunya. Dia hanya sempat membersihkan diri dan mengobati luka di pergelangan tangan dan kepalanya.
“Lo mau minum apa?” tanya Adit menawarkan minuman pada Nisa yang hanya duduk diam di sebelahnya.
“Air putih saja,” jawab Nisa. Dia tak tahu minuman apa saja yang disediakan di klub malam ini selain alkohol.
“Lo nggak minum alkohol?” tanya Adit mengernyitkan dahi heran. Orang-orang yang berada di tempat ini biasanya selalu memesan minuman-minuman beralkohol, entah dengan kadar alkohol yang sedikit maupun banyak, apalagi seorang wanita penghibur seperti Nisa.
Nisa menggeleng menjawab pertanyaan Adit. Minuman beralkohol merupakan minuman yang diharamkan dalam ajaran agama Islam, dan Nisa tak ingin menambah dosa dengan meminum minuman haram itu. Dosanya sudah terlalu banyak dengan bekerja sebagai wanita penghibur di tempat maksiat ini dan berbuat zina dengan Adit semalam. Jika bisa memilih Nisa tak ingin mengulang perbuatan hina itu lagi.
Adit kemudian memesankan air putih untuk Nisa pada bartender. Nisa mengucapkan terimakasih saat menerima gelas dari Adit. Dia langsung meminum isi gelas itu hingga tersisa separuh.
Adit kembali menyesap minumannya sambil memperhatikan Nisa. Dia merasa ada yang aneh dengan penampilan Nisa saat ini, entah apa itu.
“Apa lo selalu seperti ini?” Adit melontarkan tanya pada Nisa setelah lama hening.
“Maksud Tuan?” Nisa balik bertanya tak mengerti.
“Diam dan tak pernah menatap lawan bicara lo saat bicara,” jelas Adit.
“Maaf, Tuan, saya pikir Anda tidak mau menemui saya lagi setelah kejadian tadi pagi,” ucap Nisa tak enak hati.
Nisa memang tak menyangka Adit akan kembali menemuinya. Dia merasa tak punya muka untuk berhadapan dengan Adit setelah permintaannya tadi pagi ditolak olehnya.
“Emang enggak,” sahut Adit membuat Nisa mendongak menatapnya. “Tapi seharian ini gue terus kepikiran elo yang nangis waktu gue tinggal pergi tadi pagi,” ungkap Adit jujur.
Adit mungkin sudah gila karena mengungkapkan hal ini pada Nisa. Tapi dia memang merasa bersalah karena telah meninggalkan Nisa sendirian dalam keadaan menangis tadi pagi. Terlepas dari permintaan Nisa yang sangat konyol menurutnya, semalam Adit sangat menikmati kegiatan panas mereka berdua. Dia merasa seperti p*******a anak gadis orang karena meninggalkannya dalam keadaan menangis setelah menikmati tubuhnya. Atau memang seperti itu anggapan Nisa terhadapnya? Adit ingat semalam Nisa menolak sentuhannya sebelum akhirnya pasrah dalam kuasanya. Adit menghela nafas kasar mengingat hal itu.
Nisa mengerjapkan mata, terperangah. Ucapan Adit jelas sangat mengejutkan dirinya. Nisa juga tak tahu harus menanggapinya bagaimana hingga ia hanya mampu menatap wajah Adit tanpa berkedip.
Adit menatap wajah Nisa yang masih terpaku memandangnya. Harus dia akui Nisa memiliki wajah yang lumayan cantik, apalagi bibir merahnya yang sangat menggoda untuk dicium.
Perlahan Adit mendekatkan wajahnya pada wajah Nisa hingga bibir mereka bertemu. Nisa yang terkejut dengan tindakan Adit tak bisa menghindar jika tak ingin kembali mendapat amukan dari Ronald karena telah mempermalukan pelanggannya.
Adit yang merasa tak mendapat penolakan dari Nisa mulai melumat bibir merah itu dan sesekali menggigit bibir bawahnya agar mulutnya terbuka. Satu tangannya memegang tengkuk Nisa untuk memperdalam ciuman mereka sementara tangan yang lain menarik pinggang Nisa agar mendekat padanya.
Nisa berusaha menahan diri agar tak berteriak kesakitan karena Adit melumat bibirnya yang bengkak dan menyentuh punggungnya yang sakit. Namun dia tak bisa menahan ringisannya saat Adit menekan bahu kanannya yang terluka.
“Ah...” suara rintihan Nisa terdengar di telinga Adit hingga membuatnya melepaskan ciuman mereka. Dia sedikit menjauhkan tubuhnya dan menatap Nisa penuh tanya, “kenapa?”
“Maaf, Tuan, sa-saya hanya terkejut,” jawab Nisa, menundukkan kepalanya. Dia tak ingin Adit menangkap kebohongan dari tatapan matanya.
Adit menatap Nisa tak percaya. Jelas-jelas dia mendengar Nisa merintih kesakitan saat ia menciumnya tadi.
Nisa masih terus menunduk dengan kedua tangan yang saling meremas di atas pangkuannya. Dia berusaha tetap tenang meski bahunya terasa berdenyut sakit setelah ditekan cukup keras oleh Adit.
“Ayo ikut denganku!” ucap Adit tiba-tiba berdiri. Dia menarik tangan Nisa agar berjalan mengikuti langkahnya.
“Kita mau ke mana, Tuan?” tanya Nisa saat Adit membawanya menjauhi keramaian bar menuju lorong yang mengarah ke lantai dua klub malam ini. Nisa tak ingin kejadian semalam terulang lagi, apalagi dengan kondisi tubuhnya yang saat ini penuh luka. Nisa tak mau Adit sampai melihatnya.
Adit tak menjawab pertanyaan Nisa. Dia terus berjalan sambil menarik tangan Nisa untuk mengikutinya.
Nisa mulai cemas saat Adit membawanya masuk ke dalam sebuah kamar dan mengunci pintunya. Dia berdiri di tengah ruangan dengan perasaan was-was, menanti apa yang akan dilakukan Adit kepadanya.
Adit menatap Nisa yang berdiri di hadapannya. Penerangan kamar yang cukup terang membuat ia bisa mengamati penampilan Nisa dengan jelas dari ujung kaki hingga ujung rambut. Wajah Nisa tampak sedikit pucat dan terdapat luka di dahi serta bengkak di bibirnya walau telah ditutup make-up yang cukup tebal. Suhu tubuh Nisa juga sedikit panas saat ia menggenggam tangannya tadi. Padahal Adit tidak merasakan hal itu saat ia mencium Nisa, atau karena dia terlalu menikmati ciuman mereka?
“Apa yang terjadi denganmu? Bukankah tadi pagi kamu masih baik-baik saja?” tanya Adit saat melihat luka lain di pergelangan tangan kiri Nisa. Dia sangat penasaram darimana Nisa mendapatkan luka-luka di tubuhnya. Bahkan Adit tak sadar telah mengganti panggilan 'elo' menjadi 'kamu' pada Nisa.
Nisa menundukkan kepala tak berniat menjawab pertanyaan Adit. Dia mengingat ancaman Ronald untuk tidak bercerita atau mengadu pada Adit tentang apa yang terjadi dengannya.
Adit yakin Nisa belum memiliki luka-luka itu saat ia meninggalkannya di kamar tadi pagi. Tapi siapa yang telah melukai Nisa? Tidak mungkin Nisa sengaja melukai dirinya sendiri, kan? Adit mengingat perkataan Nisa tadi pagi yang ingin pergi dari tempat ini. Apa Nisa berada di sini bukan karena kemauannya sendiri? Apa ada seseorang yang sengaja mempekerjakannya disini?
Adit menghela nafas panjang memikirkan kemungkinan itu. Dia mengambil handphone di saku celananya kemudian menelepon seseorang.
“Aku mau membeli wanita ini,” ucap Adit saat seseorang di seberang sana menerima panggilannya.
DEG.
Nisa langsung mengangkat kepalanya begitu mendengar ucapan Adit. Dia memperhatikan Adit yang sedang berbicara dengan seseorang di telepon.
“Aku nggak suka ditolak,” Adit kembali bersuara setelah mendengarkan perkataan lawan bicaranya.
“Wanita itu merupakan penghuni baru di klub malam ini dan baru Anda yang memakainya. Tentu Anda mengerti bahwa saya tidak ingin dirugikan jika wanita itu dibeli oleh Anda.”
“Aku mengerti. Bagaimana jika tiga ratus juta? Aku rasa penawaran itu sudah sangat tinggi. Belum tentu kau mendapatkan uang sebanyak itu dengan mempekerjakan dia setiap malam di klub malam ini,” kata Adit pada si penelpon.
Nisa melotot mendengar ucapan Adit. Tiga ratus juta bukanlah nominal yang sedikit. Bahkan jumlah itu lebih banyak dari jumlah uang yang diterima Paman Ahmad dari Ronald.
“Oke. Kirimkan nomor rekeningnya,” ucap Adit sebelum mengakhiri pembicaraannya di telepon.
Adit kemudian mengalihkan pandangannya pada Nisa yang sedang menatap kearahnya. “Mulai sekarang kamu ikut denganku. Ambil semua barang-barang kamu yang ada di sini. Aku akan menunggumu di luar,” jelas Adit menjawab tanya di wajah Nisa.
Ini keputusan tergila yang pernah dibuat Adit sepanjang hidupnya. Baru tadi pagi dia menolak permintaan Nisa untuk membawanya pergi dari tempat ini. Tapi malam ini dia sendiri yang berinisiatif membeli wanita di hadapannya ini dengan harga yang fantastis.
Nisa mengangguk mendengar perintah Adit. Dia tak bisa menyembunyikan senyum bahagianya karena akhirnya bisa keluar dari tempat ini.
“Terima kasih, Tuan.”
oOo